Selasa, Oktober 8, 2024

Logika Tata Kelola Kontekstual

M. Rizki Pratama
M. Rizki Pratamahttp://pratamarizkim.wordpress.com
Tenaga Pengajar Prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Difusi model tata kelola pemerintahan sebenarnya adalah aksi replikasi dari Negara-Negara maju (developing countries). Kita memiliki birokrasi kaku Weber peninggalan Belanda eksis hingga saat ini. Adanya berbagai suntikan reformasi dari berbagai lembaga donor, ternyata hanya bermakna ganda yaitu sebagai alat dan tujuan sekaligus, reformasi hanya menyentuh aturan tanpa intensi aktualisasi perubahan.

Kita sendiri bahkan memiliki sugesti bahwa rekomendasi dari yang lebih berpengalaman (yang lebih baik, yang lebih maju) adalah yang paling benar, tanpa perdebatan, tanpa modifikasi. Padahal tak semua resep mujarab. Seakan-akan Republik kita bukan menjadi dirinya sendiri, karakter tata kelola kita hilang, padahal di tingkat regional kultur kita diakui. Mahbubani (2017) bahkan mengungkap ASEAN selama ini dapat bertahan karena mengakar pada budaya musyarawah dan mufakat (consultation and consensus) dari Indonesia. Jelas Republik ini mempunyai logika tata kelola sendiri yang kontekstual.

Menghadapi diversitas ekstrim, populasi besar dan kompleksitas geografis tentu membuat berbagai kebijakan publik di Indonesia harus benar-benar memiliki ciri khas berbeda, sayangnya urgensi formulasi kebijakan publik berbasis klaim Nusantara ternyata masih jauh panggang dari api, faktanya terlalu sering muncul kebijakan publik sepihak, menjauhkan diri dari alternatif lain baik dalam level pemerintahan pusat hingga daerah akibatnya Republik ini masih dalam zona merah kebijakan publik yang kurang bermutu, visi dan misi kesejahteraan lewat kebijakan publik yang benar-benar merepresentasikan Indonesia masih menjadi imajinasi bersama.

Bahkan kesadaran policy maker juga masih terbatas terbukti sedikitnya perdebatan untuk menjembatani kebijakan publik yang adaptif menghadapi variabel khas nusantara. Semua kebijakan harus menjadi generalisasi dalam kerangka negara kesatuan, itu memang sangat perlu akan tetapi perlu perdebatan untuk mencapainya, bukan klaim sepihak, apalagi kita belum berdebat intens soal seberapa besar kadar keadilan kekuasaan antar intervensi terpusat dan akomodasi nilai lokalitas. Kini kita belum mencapai orisinilitas dalam kebijakan publik kita.

Logika one size fits all sudah ketinggalan zaman dan tak terbukti solutif, kini arus rekomendasi sebuah studi tidak lagi menjustifikasi klaim paling benar akan tetapi membuka pada debat selanjutnya untuk memberikan pembelajaran bersama alhasil sudah waktunya kita membuang pendapat sepihak berbau politik kelompok dengan akal dangkal saatnya belajar bersama untuk menghasilkan keputusan kebijakan publik yang komprehensif dan visioner, tentu sulit apalagi hingga kini belum dipraktekkan. Publik dibuat bingung dengan kebijakan publik yang seakan-akan tidak jelas asal-usulnya, para legislator sering mengkritik akan tetapi minim pendalaman, payahnya kritik selalu dianggap kebenaran oleh kelompoknya sendiri, sama-sama anti kritik.

Meminjam istilah “keterbatasan kelembagaan” milik Andrews (2013), tentu dalam konteks tata kelola perubahan kita selalu ada batasnya, reformasi harus dilaksanakan akan tetapi lihat dulu kelemahannya, konsekuensi implementasinya, tidak hanya berfokus pada hasil yang seringkali mengkhianati proses.

Rasionalisme memang dapat melipatgandakan hasilnya, akan tetapi efektivitas dan efisiensi tak dapat mencapai keadilan bersama. Perlu rumusan bersama dengan kadar-kadar yang jelas mana area-area tak tersentuh dan mana area yang harus diklaim bersama, bukan menciptakan ruang abu-abu untuk korupsi bersama. Kita memang perlu mengundang berbagai pakar akan tetapi juga sintesa maupun konstruksi pemikiran baru yang lebih adaptif lokalismenya, tak menghancurkan nilai-nilai kebijakan lokal yang seringkali lebih responsif hadir daripada entitas Negara sendiri.

Kebijakan publik era hari-hari ini menjadi contoh betapa kurangnya pengetahuan kita dalam mengelola Republik kita sendiri. Ribut aplikasi transportasi daring, kenaikan administrasi kendaraan bermotor, full day school, dan mungkin masih banyak lainnya. Karena pemerintah sedang hobi menguji coba kebijakan yang berakhir dengan pembatalan tanpa peningkatan. Jangan samakan bekerjanya kebijakan publik di Negara lain akan juga bekerja di Indonesia, sama halnya, Indonesia bukan hanya dikelola via Jakarta apalagi oleh segilintir kelompok dan individu.

Logika ini harus didobrak bahwa lokal adalah pusatnya bukan sebaliknya. Kita hidup di desa-desa yang beragam, berbeda dengan karakter masyarakat urban. Hampir-hampir tidak ada rumusan kolektif untuk menjembatani problem diversitas esktrim kita, semua intervensi bersifat general tanpa memaknai limitasinya.

Aksi-aksi penyeragaman kebijakan publik bukanlah hal yang dilarang akan tetapi dalam rumusan kolektif kebijakan publik harus dilihat genealogi kebijakan publik itu diperuntukkan? Tak dapat klaim sepihak pemerintah tanpa analisa historis dan basis data digunakan untuk menjustifikasi sebuah kebijakan publik itu baik dan benar, yang ada hanya pemaksaan, dan ketika pemerintah dituduh memaksa alternatif yang keluar adalah “harap pahami aturannya” seakan-akan publik telah dicap kurang pintar untuk memahami kebijakan publik.

Padahal marketing kebijakan publik pemerintah seringkali buruk penyampaiannya, di tengah masyarakat kita yang sangat reaktif perilakuknya tentu kita berharap pemerintah dapat bersikap dingin dan tidak merespon dengan reaktif pula, kita ingat bahwa hanya pemerintah tanpa kapabilitaslah yang selalu reaktif dalam menghadapi masalah.

Parahnya secara individual, edukasi kebijakan publik di level individu pemerintah masih dianggap sangat kurang, hanya sedikit bapak ibu menteri yang memahami logika kebijakan publik seperti kebijakan publik adalah aksi kolektif dan tentu tidak dapat memuaskan semua pihak, kita lihat seringkali kebijakan publik yang dikeluarkan sangat berbau status quo anti perubahan, bahkan memaklumi rent-seeking. 

Logika tata kelola miliki kita sendiri lah yang sedang kita cari, yaitu tata kelola nusantara. Berproses panjang sangatlah penting asalkan dengan tujuan yang jelas. Tata kelola kita yang rumit harus menjadi model pembelajaran antar Negara, setidaknya bisa sekelas dengan Nordic Model yang mampu menjaga keselarasan antara karakter, kebijakan publik dan kesejahteraan.

Referensi 

Andrews, Matt. 2013, The Limits of Institutional Reform in Development. Cambridge University Press: Cambridge.

Mahbubani, Kishore. 2017, ASEAN 50, www.project-syndicate.org.

M. Rizki Pratama
M. Rizki Pratamahttp://pratamarizkim.wordpress.com
Tenaga Pengajar Prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.