Selasa, April 30, 2024

Literasi Tekstual Vs Literasi Sosial di Pendidikan Tinggi

Adhitiya Prasta
Adhitiya Prasta
Pegiat Sosial, Tim Riset SosioLab Unesa, Kontributor Media Massa, Writer.

Perdebatan tentang literasi, baik itu literasi tekstual maupun literasi sosial, telah menjadi topik yang krusial di Pendidikan Tinggi. Pemahaman literasi bagi kaum muda dan mahasiswa, hingga kini masih mengalami kebuntuan. Gejolak pendidikan yang tidak menentu, membuat anak muda menjadi asing dengan literasinya.

Selama ini, kita memang selalu disuguhi bahwa makna literasi, khususnya dalam ranah pendidikan fiksional maupun ilmiah, sering diartikan hanya sebatas praktik membaca, memahami, dan menulis secara tekstual.

Dengan bahasa yang lebih mudah, literasi tekstual sering kali dianggap sebagai kemampuan untuk memahami, dan menafsirkan teks secara efektif.

Di tengah perkembangan teknologi dan munculnya berbagai media massa, mahasiswa menjadi sorotan dalam diskusi tentang literasi ini. Pasalnya, literasi memiliki arti yang tidak sesempit itu. Bahkan, secara sosiologis, literasi yang paling dekat dengan kehidupan bukanlah literasi tekstual, melainkan literasi sosial.

Berbagai penelitian-penelitian pun menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara literasi tekstual dan literasi sosial di kalangan mahasiswa. Dengan kata lain, perbedaan ini memiliki dampak besar terhadap pemahaman mahasiswa tentang dunia di sekitar.

Pertama, penting untuk memahami perbedaan antara literasi tekstual dan literasi sosial.

Literasi tekstual mencakup kemampuan dasar dalam membaca, menulis, dan memahami teks. Misalnya, seperti kemampuan menganalisis informasi, menyusun argumen, dan mengevaluasi kebenaran suatu pernyataan. Di sisi lain, literasi sosial melibatkan pemahaman tentang bagaimana konteks sosial, budaya, dan politik mempengaruhi penyampaian dan pemahaman informasi.

Maksudnya, sesuatu yang dibaca oleh mahasiswa seharusnya bukanlah berisfat tekstualis saja (reading the word). Akan tetapi, juga bagaimana individu menginterpretasikan kondisi dunia sosialnya (reading the world).

Dalam konteks pendidikan tinggi, kedua jenis literasi ini menjadi kunci penting dalam pembentukan pemikiran kritis dan partisipasi aktif dalam kehidupan sosial. Namun, data menunjukkan bahwa meskipun mahasiswa “mungkin” memiliki tingkat literasi tekstual yang cukup tinggi, literasi sosial mereka sering kali kurang memadai.

Hasil penelitian yang pernah saya lakukan di Kota Surabaya pada 2023 menunjukkan sekitar 60% mahasiswa perguruan tinggi memiliki tingkat literasi tekstual yang memadai. Akan tetapi, hanya terdapat 40% mahasiswa yang memiliki literasi sosial yang kuat.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mahasiswa mampu membaca dan memahami teks, mereka mungkin kesulitan dalam menerapkan pembacaan dan pemahaman mereka ke dalam konteks sosial dan budaya yang relevan. Mahasiswa sulit menghayati dan menafsirkan fenomena yang terjadi di sekitar mereka.

Salah satu penyebab utama kesenjangan antara literasi tekstual dan literasi sosial mahasiswa adalah dominasi media massa digital dalam kehidupan Mahasiswa. Mengingat, peran media massa selain menyediakan informasi adalah sebagai pertarungan ideologi, budaya, dan opini.

Sebagian besar mahasiswa menghabiskan banyak waktu mereka untuk kegiatan menatap layar ponsel. Bahkan, hasil penelitian dari Data.Ai tahun 2023 menjabarkan bahwa masyarakat Indonesia menduduki peringkat pertama dalam menatap gawai, yakni 6,05 jam per hari. Kegiatan ini menciptakan efek destruktif keterhubungan dengan berbagai platform media sosial dan konsumsi konten digital.

Tidak ada yang salah dalam mengakses informasi melalui gawai. Sebab hal ini dapat meningkatkan akses mahasiswa terhadap informasi yang tersedia. Namun, kurangnya kesadaran akan konteks sosial dan politik dari informasi yang mereka konsumsi, kenyataannya dapat mengurangi efektivitas literasi sosial mereka.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim SocioLab Universitas Negeri Surabaya tahun 2023 menemukan bahwa mahasiswa cenderung kurang kritis terhadap informasi yang mereka temui di media sosial. Mahasiswa sering kali tidak mempertimbangkan sumber, tujuan, atau potensi bias dari informasi yang mereka terima.

Selain itu, kurangnya pendidikan formal tentang literasi sosial juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap kesenjangan ini. Banyak program pendidikan tinggi yang masih fokus pada pengembangan literasi tekstual. Sementara literasi sosial sering kali diabaikan.

Padahal, Henry Giroux, tokoh pedagogi kritis asal Amerika, dalam bukunya “Border Crossing: Cultural Workers and The Politics of Education” (2005) menyatakan bahwa literasi sosial berperan dalam menawarkan pentingnya pemaknaan dan sikap kritis terhadap dunia sosial secara bebas dan demokratis.

Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Higher Education pada tahun 2021 juga menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil universitas di dunia yang memiliki kurikulum terstruktur untuk mengajarkan literasi sosial kepada mahasiswa. Akibatnya, banyak mahasiswa tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang bagaimana informasi disajikan, diproduksi, dan dikonsumsi dalam konteks sosial dan budaya.

Tentu saja, upaya untuk meningkatkan literasi sosial mahasiswa bukanlah hal yang mudah. Namun, beberapa langkah-langkah konkret dapat diambil untuk mengatasi masalah ini.

Pertama, perguruan tinggi perlu meningkatkan fokus pada literasi sosial dalam kurikulum mereka. Penerapan ini bisa mencakup pengembangan mata kuliah khusus tentang literasi sosial, serta integrasi konsep literasi sosial ke dalam mata pelajaran. Seperti studi media, sosiologi, fenomenologi, atau ilmu politik.

Selain itu, berbagai upaya harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa tentang pentingnya literasi sosial dalam kehidupan mereka sehari-hari. Workshop, seminar, dan kampanye penyuluhan dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang bagaimana dunia sosial bekerja.

Dengan meningkatnya literasi sosial, mahasiswa akan menjadi lebih mampu untuk memahami dan menginterpretasikan informasi yang mereka temui di kehidupan sehari-hari. Tentunya dalam konteks yang lebih luas. Mahasiswa akan menjadi lebih kritis terhadap berbagai sumber informasi, fenomena, dan ornamen kultural di masyarakat.

Oleh sebab itu, kesenjangan antara literasi tekstual dan literasi sosial mahasiswa merupakan tantangan yang perlu diatasi secara serius. Lantaran hal ini adalah upaya meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang dunia di sekitar.

Dengan mengambil langkah-langkah konkret untuk meningkatkan literasi sosial melalui pendidikan formal dan upaya kesadaran, kita dapat membantu mahasiswa menjadi lebih terampil dalam menghadapi informasi kompleks dan beragam dalam era ini.

Hanya dengan demikian mahasiswa dapat menjadi agen perubahan yang aktif dan bertanggung jawab dalam masyarakat yang semakin terhubung dan kompleks.

Adhitiya Prasta
Adhitiya Prasta
Pegiat Sosial, Tim Riset SosioLab Unesa, Kontributor Media Massa, Writer.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.