Di beberapa tempat, terlebih khusus di daerah pedalaman, pengembangan literasi mengalami stagnasi sebagai akibat dari minimnya sarana-prasarana dan fasilitas yang menunjang pengembangan literasi.
Keterbatasan akses pemenuhan fasilitas dan sarana-prasarana terwujudnya literasi tentu menjadi masalah dasar yang dalam banyak aspek berpengaruh terhadap pembentukan aspek kognitif dan pembentukan karakter siswa. Sementara disisi lain tugas negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 harus mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun apa yang terjadi ialah ketimpangan pemenuhan pendidikan yang berkualitas jauh panggang dari api. Pandemi covid-19 membongkar dan menunjukan dengan jelas bagaimana kesenjangan pendidikan diberbagai daerah begitu terasa. Banyak guru kesulitan dalam memberikan materi ajar bagi siswa ditengah kebijakan pemerintah belajar dari rumah (work from home).
Sementara banyak siswa dengan latar belakang ekonomi kurang mampu terpaksa harus mengikuti gaya belajar dari rumah dengan membeli gadget. Bahkan tidak hanya itu, kesulitan mengakses internet menjadi masalah yang dihadapi guru dan siswa di daerah pedalaman.
Di Kabupaten Manggarai Timur, misalnya, banyak sekolah terpaksa harus belajar diluar ruang kelas mencari akses internet yang dapat membantu mereka mengikuti ujian nasional. Inilah potret pendidikan di Indonesia hari ini.
Tanggungjawab Negara
Sebagai negara dengan kesadaran literasi rendah, Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara lain, seperti Finlandia, China, Jepang, Korea, Singapura, Malaysia dan beberapa negara tetangga. Kompetisi pasar yang semakin terbuka dan tidak terbendung saat ini membuat Indonesia kewalahan dalam memenuhi tuntutan pasar.
Masalahnya, desain pendidikan di Indonesia bahkan ditentukan oleh kepentingan politik rezim. Artinya, rotasi kepemimpinan di republik ini selalu berpengaruh terhadap desain kebijakan pendidikan, bergantung pada siapa yang memimpin. Tolak ukur dan desain kebijakan yang kerap berubah-ubah inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa sampai saat ini pendidikan di Indonesia terus tertinggal.
Karena itu, menurut saya, situasi yang demikian membutuhkan tanggungjawab negara sebagai pihak yang mesti terlibat aktif mendorong lembaga pendidikan berkembang dan mampu berkompetisi. UUD 1945 telah mewariskan bahwa tugas negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang berarti negara harus mampu merealisasikannya.
Kita mengakui bersama bahwa pola pendekatan dan desain kebijakan pendidikan di Indonesia tentu tidak sama, sebab harus mempertimbangkan aspek kultur di masing-masing daerah. Namun, bukan berarti hal ini menjadi masalah, sebab tanggungjawab negara yakni memfasilitasi iklim belajar yang kondusif dan sarana-prasarana belajar serta kualitas guru harus mendapat prioritas negara.
Pembangunan sumber daya manusia ditentukan oleh kualitas pendidikan. Sementara pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh kesadaran dan akses terhadap literasi. Tugas dan tanggungjawab negara ialah menyediakan fasilitas bagi pengembangan literasi agar sistem pendidikan dapat menjadi wahana yang mampu mentransformasikan pengetahuan dan pembentukan karakter.
Pendidikan transformatif tentu didesain melalui penguatan literasi. Jika akses terhadap pemenuhan literasi tidak mendapat prioritas dan bermasalah maka pendidikan transformatif sulit dicapai.Respon dan sikap tanggap negara sangat penting sekaligus menentukan kemana arah pendidikan republik ini dikemudian hari. Kepentingan politik, apapun itu tidak boleh berpengaruh terhadap desain kebijakan pendidikan. Negara harus memiliki indikator desain pendidikan yang jelas, terarah, terukur dan dengan tujuan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penguatan Literasi
Praktik plagiarisme yang marak di dunia pendidikan sebetulnya merupakan sebab dari miskin dan lemahnya kesadaran literasi. Literasi yang rendah berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Karena itu, penguatan literasi merupakan sebuah upaya menjawab masalah rendahnya kesadaran literasi.
Penguatan literasi harus dimulai dari bawah atau yang saya sebut ‘literasi dari pinggir’. Literasi dari pinggir merujuk pada suatu pendekatan dengan memprioritaskan masyarakat yang kesulitan memperoleh akses dan sarana-prasarana pemenuhan literasi. Dengan dimulai dari wilayah pinggir, artinya kita mendekatkan diri kepada masyarakat bawah, mengenali lingkungan mereka dan memahami mengapa kesadaran literasi rendah.
Menurut saya, penguatan literasi harus dimulai dan titik tolaknya berangkat dari wilayah pinggir. Sebab, menurut saya, wilayah pinggir inilah yang sebetulnya selama ini mengalami kesulitan mengakses informasi. Jika kita mengelompokan suatu kelas dalam masyarakat, sebetulnya masyarakat diwilayah pinggir inilah yang rentan mengalami masalah terutama mendapatkan kualitas pendidikan yang bagus dan layak.
Bagi saya, penguatan literasi perlu menyasar masyarakat dengan kategori kurang mampu. Sebetulnya kita bisa memperdebatkan topik ini lebih jauh, apakah masyarakat dalam kategori ini kesadaran literasinya rendah atau karena sebab dari akses mereka terhadap literasi yang minim?
Karena itu, penguatan literasi adalah langkah yang tepat dalam menciptakan suatu iklim pendidikan yang mampu berkompetisi dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Dengan pendekatan dari wilayah pinggir, hemat saya, langkah ini memungkinkan masyarakat kelas bawah mampu mengakses sekaligus mendapatkan informasi. Ini pula langkah yang tepat dalam mengurangi kesenjangan antara kelas yang mampu mengakses pendidikan dengan kelas yang tidak mampu mengaksesnya.
Pendidikan Transformatif, Apakah Itu?
Pendidikan transformatif merupakan desain pendidikan yang lebih terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan zaman. Dalam iklim pendidikan transformatif, ruang belajar dan mengajar antara siswa dan guru selalu mengedepankan aspek keterbukaan terhadap berbagai pandangan.
Tidak hanya itu, pendidikan transformatif lebih mendorong ide, gagasan dan kreativitas siswa ditingkatkan, serta pembentukan karakter selalu diutamakan. Semua ini dicapai melalui penguatan literasi.Karena itu, penguatan literasi merupakan langkah yang tepat dan penting bagi institusi pendidikan.
Mustahil bahwa pendidikan transformatif dapat dicapai jika penguatan literasi mandeg atau tidak mendapat prioritas. Disinilah pentingnya mengapa penguatan literasi perlu mendapat perhatian negara, dalam rangka memfasilitasi institusi pendidikan terutama sekolah di daerah pedalaman yang kesulitan mengakses segala fasilitas pengembangan literasi.
Jika negara dan semua pihak menyadari dan berkontribusi dalam pengembangan literasi, menurut saya pendidikan transformatif dapat dicapai dengan hasil maksimal.