Senin, April 29, 2024

Literasi dan Akses pada Sekolah Terpencil

Agung Iranda
Agung Iranda
Dosen Psikologi dan Peneliti Literasi Universitas Jambi.

Literasi masih jadi prioritas Kemendikbudristek, salah satu persoalan literasi yaitu belum tersedianya akses yang memadai di sekolah terpencil. Di era digital dengan kelimpahruahan informasi, setiap pelajar harusnya mendapat kesempatan yang sama untuk mengakses informasi.

Akses tak hanya soal internet, tapi juga infrastruktur, dan ketersedian sarana dan prasarana sekolah. Potret nyata keterbatasan akses bisa dilihat di sekolah terpencil.

Kemendikbudristek menetapkan 9.449 desa di Indonesia sebagai daerah khusus berdasarkan kondisi geografis. Keputusan ini dikeluarkan pada  tahun 2021, yang mana sekolah pada wilayah tersebut dikategorikan terpencil dan mendapat kebijakan pendidikan yang afirmasi.

Kami melakukan riset ke salah satu sekolah terpencil Kabupaten Merangin, Jambi. Sekolah yang menjadi tujuan kami SMPN 53 Desa Ngaol Ilir, Kecamatan Tabir Barat. Kami berpetualang melewati perbukitan sepanjang 69 kilometer atau sekitar 2,5 jam dari Bangko. Jarak Jambi ke Bangko 321,5 kilometer. Perjalanan dengan motor trail itu, bertujuan mengeksplorasi aktivitas literasi siswa SMP di sana.

Setibanya di sekolah, saya berdiskusi dengan kepala sekolah. “Aktivitas literasi di sini terhambat karena tak ada internet, di sini hanya mengandalkan buku teks di perpustakaan. Guru harus mengarah siswa untuk membaca. Kita kasih tugas baru mereka datang ke perpustakaan, hampir semua siswa di sini tak membeli buku.” Ucap Jamal, Kepala SMPN 53 Merangin.

Beberapa siswa kemampuan literasi dasar (baca, tulis, dan berhitung) masuk dalam kategori rendah. Mereka harus belajar calistung dulu, sebelum menyesuaikan dengan pembelajaran SMP.

Guru menyediakan waktu khusus mendidik siswa agar mampu mengejar ketertinggalan. “Siswa yang kemampuan baca, tulis, dan berhitung rendah harus jadi prioritas, kita tak tahu nanti, kadang orang seperti inilah yang punya motivasi tinggi untuk lanjut studi hingga Perguruan Tinggi.” Sambung Kepala Sekolah SMPN 53 tersebut.

Apa yang penulis amati di salah satu sekolah terpencil tersebut menjadi tantangan untuk kita membangun budaya literasi dalam memajukan pendidikan pada wilayah yang belum memadai akses jalan, telepon, dan internet.

Michael B. Eisenberg and Robert E. Berkowitz, pakar literasi informasi menyebut di era digital dan informasi, keterampilan dalam literasi dan teknologi sebagai salah satu bentuk pendidikan dasar yang perlu diajarkan di sekolah.

Pihak sekolah harus mendorong keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan berbasis informasi, dengan cara itulah sekolah mampu  meningkatkan kemampuan literasi siswa.

Dalam upaya meningkatkan literasi di sekolah terpencil, penulis merujuk pada model literasi  “Pathways to Knowledge” yang dikembangkan oleh Marjorie Pappas dan  Ann. E. Tepe, yang intinya menjelaskan bagaimana  mencari dan memahami informasi, menggunakan cara dan sumber informasi yang tepat.

Jika kita merujuk pada model ini, ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk mengembangkan literasi di sekolah. Pertamaapresiasi, yaitu bagaimana kita membuat siswa mengapresiasi pengetahuan, menimbulkan minat dan rasa ingin tahu, senang mencari informasi baik dalam bentuk teks, gambar, dan video.

Kedua, presearch. Guru mengajak siswa diskusi tentang topik yang ingin mereka pelajari, memberi tahu sumber informasi yang bisa diakses agar siswa tertarik belajar tantang topik  yang sesuai standar pembelajaran mereka.

Ketigapencarian. Ini berkaitan dengan rencana dan aksi dalam mengakses informasi, guru mengajarkan siswa mencari dan mengidentifikasi sumber pengetahuan. Pihak sekolah menyediakan fasilitas literasi baik dalam bentuk buku, koran, media sosial, dan media lain lewat saluran internet.

KeempatinterpretasiSiswa belajar mencerna informasi, dan memahaminya sebagai pengetahuan baru. Siswa juga diajarkan kemampuan menyaring dan mengorganisasi informasi.

Kelima, komunikasi, yaitu mengkomunikasikan pengetahuan lewat presentasi dan diskusi. Siswa butuh pengetahuan dari guru dan teman-teman mereka. Mereka akan menyimak, merefleksikan pengetahuan, dan mempraktikkan dalam pembelajaran dan kehidupan sehari-hari.

Keenam, evaluasi. Siswa memperbaiki pengetahuan yang mereka dapatkan jika terdapat kekeliruan, belajar secara mandiri dan independen, mengembangkan kemampuan berfikir kritis terhadap konten pengetahuan yang mereka dapatkan.

Model di atas mencerminkan literasi yang ideal untuk pelajar di sekolah, walaupun untuk menerapkan model tersebut pada sekolah terpencil terasa begitu sulit.

Pengembangan literasi pada sekolah terpencil merupakan keputusan besar untuk menentukan masa depan siswa, diperlukan terobosan untuk membangun akses internet yang merata. Ini memerlukan anggaran  fantastis agar internet bisa menjangkau wilayah-wilayah terpencil di Indonesia.

Di samping itu, pemerintah harus menyuplai buku yang mendorong minat baca siswa, tak harus buku pelajaran, bisa dalam bentuk buku cerita yang diperkaya oleh visual dan kata-kata yang menumbuhkan motivasi siswa untuk membaca.

Konsep literasi harus matang dengan melibatkan para ahli dan mereka yang kenyang pengalaman di bidang literasi, menyediakan modul literasi yang sistematis dan strategis dengan mengakomodir kebutuhan siswa dan sekolah.

Komitmen pemerintah dan pihak sekolah dalam membangun budaya literasi dengan kebijakan yang regulatif sangat dibutuhkan untuk memajukan pendidikan.  Kesediaan kita untuk mengampanyekan hidup yang melek literasi dan teknologi akan mengubah paradigma dan mind-set siswa tentang pentingnya literasi di sekolah terpencil.

Agung Iranda
Agung Iranda
Dosen Psikologi dan Peneliti Literasi Universitas Jambi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.