Sabtu, April 20, 2024

Lingkungan Hidup dan Pola Pikir Tersumbat

Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Staff Peneliti Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, dan Head of Research and Development Jong Indonesische Progam (JIP)

Lingkungan hidup merupakan unsur yang sangat penting dalam melangsungkan kehidupan. Bahkan, baik itu unsur biotik yang terdiri dari berbagai jenis makhluk hidup dan unsur abiotik sangat memerlukan lingkungan hidup.

Manusia sebagai makhluk yang mendominasi bumi dengan jumlah populasi melebihi 7 milyar jiwa sangat bergantung pada lingkungan hidup. Sehingga adanya permasalahan lingkungan hidup akan sangat berdampak pada kualitas kehidupan makhluk hidup didalamnya tidak terkecuali manusia.

Isu permasalahan lingkungan tidak muncul begitu saja. Permasalahan lingkungan umumnya disebabkan oleh kerusakan lingkungan akibat bencana alam serta pencemaran dan perusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas manusia.

Permasalahan lingkungan mulai muncul sejak 200 Masehi, dimana sektor pertanian semakin maju dan populasi manusia semakin meningkat. Hal tersebut menyebabkan erosi tanah dan menarik serangan serangga sehingga menyebabkan kelaparan pada masanya. Bahkan isu lingkungan masuk menjadi isu ekonomi politik internasional pada saat Conference on the Human Environment 1972 di Stockholm.

Pada abad ke 21 ini, permasalahan lingkungan tidak kunjung menurun. Justru permasalahan lingkungan menjadi semakin kompleks akibat berbagai kegiatan manusia yang menjadi sumber pencemaran dan perusakan lingkungan.

Takdir Rahmadi (2013: 1) menyatakan dalam berbagai litelatur masalah lingkungan hidup dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara salah (land misuse) dan pengurasan habis sumber daya alam (natural resource depeletion).

Permasalahan Lingkungan Hidup

Jika kita melihat realitas lingkungan saat ini, maka menjadi sangat jelas bahwa ketiga bentuk masalah lingkungan hidup tersebut benar-benar telah terjadi. Berdasarkan data dari BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2016 jumlah timbulan sampah di Indonesia mencapai 65.200.000 ton per tahun dengan jumlah penduduk pada saat itu 261.115.456 orang.

Permasalahan tersebut diperparah dengan data kualitas pengelolaan sampah yang dihimpun oleh ourworldindata.org yang menunjukkan bahwa pengelolaan sampah kita berada di posisi kedua terbawah di dunia setelah China.

Mulai dari permasalahan sampah di Indonesia yang tergolong dalam bentuk pencemaran lingkungan menimbulkan berbagai permasalahan serius lainnya seperti menyebabkan saluran air mampet yang berujung banjir hingga pemukiman yang tidak sehat.

Kemudian, berdasarkan data dari mongabay.co.id menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, saat ini diperkirakan mencapai luas 1,7 juta hektar, antara lain di  Kalimantan 770.000 hektar,  35,9%  di lahan gambut.

Sedang, Sumatera 593.000 hektar terbakar, dengan 45,5% lahan gambut dan Sumatera Selatan 221.704 hektar. Belum lagi, pengalih fungsian berbagai lahan yang seharusnya menjadi daerah resapan air menjadi pemukiman dan sebagainya.

Bentuk masalah lingkungan selanjutnya adalah eksploitasi sumber daya alam besar-besaran atas nama pemenuhan kebutuhan manusia. Pemanfaatan sumber daya alam memang bukanlah hal yang dilarang karena bagaimanapun berbagai aspek kebutuhan kita dicukupi lewat kegiatan pemanfaatan sumber daya alam.

Akan tetapi eksploitasi dan dominasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan yang ekstraktif, seperti seperti tambang batu bara dan lain-lain berdampak pada degradasi ekologis.

Berbagai persoalan diatas belum cukup untuk mewakili semua permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini. Meski begitu, terlihat gambaran seberapa seriusnya permasalahan lingkungan sehingga perlu kita lakukan langkah pasti untuk menganggulanginya.

Pola Pikir yang Tersumbat

Berbagai permasalahan lingkungan mulai dari polusi udara dan air yang tinggi, penumpukan sampah hingga impor sampah serta eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhitungkan upaya konservasi dan rehabilitasi lingkungan. Dipengaruhi besar oleh kesalahan kita dalam berpola pikir terkait kehidupan.

Saat ini pola pikir yang masih sering dipahami oleh masyarakat luas bahwa kita hidup terpisah dengan lingkungan, sehingga nilai yang dianggap tertinggi  adalah manusia dan segala kepentingan hidupnya. Sementara alam dan isinya hanya ditempatkan menjadi obyek untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pola pikir semacam ini disebut sebagai antroposentris yaitu menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan.

Dampak dari pola pikir antroposentris adalah timbulnya egosentris dari manusia dalam hal pemenuhan kebutuhannya. Ekspolitasi besar-besaran, produksi sampah berlebih, pengalih fungsian lahan secara tidak tepat hingga penggunaan kendaraan pribadi yang berlebih merupakan permasalahan nyata pola pikir antroposentris yang tidak beretika lingkungan.

Bahkan menurut Maftuchah Yusuf dalam pola pikir antroposentris manusia memandang alam dan bumi sebagai sumber penyedia sumber kehidupan yang tidak terbatas dengan keyakinan akan selalu ada lagi dan perlu untuk dikuasai.

Kehidupan yang Berkelanjutan

Dalam perkembangannya pola pikir antroposentris mendapat perlawanan karena dianggap tidak beretika lingkungan dan hanya mengedepankan egosentris manusia. Sehingga lahirlah pola pikir ekosentris sebagai antitesis antroposentris yang menempatkan seluruh aspek kehidupan baik biotik maupun abiotik sebagai bagian yang satu dalam ekosistem. Pola pikir ekosentris inilah yang dianggap sebagai pola pikir yang sangat penting untuk diterapkan dalam berkehidupan.

Sebagaimana dalam sistem hukum Indonesia perihal hak atas lingkungan yang sehat diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Hak atas lingkungan hidup yang sehat adalah hak asasi semua makhluk hidup, tidak hanya manusia. Sehingga menjadi aneh apabila kita menuntut hak atas lingkungan yang sehat akan tetapi masih berpola pikir antroposentris. Seolah-olah kita mengeluh sembari tidak peduli dengan apa yang kita perbuat terhadap lingkungan.

Oleh karena itu pola pikir ekosentris sebagai suatu paradigma yang beretika lingkungan secara holistik harus mulai dikenalkan kepada masyarakat luas dan mulai untuk diterapkan. Sebagai suatu acuan dalam membuat suatu aturan hukum ataupun kebijakan yang berkaitan erat dengan lingkungan.

Prinsip pembangunan berkepanjangan (sustainable development) haruslah menjadi pegangan dalam segala tindakan, baik itu oleh negara, perusahaan hingga individu. Akan menjadi sangat kejam apabila kita hanya meninggalkan berbagai masalah lingkungan hidup kepada generasi mendatang. Saatnya merubah pola pikir yang semula antroposentri menjadi ekosentris demi kehidupan yang berkelanjutan.

Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Staff Peneliti Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, dan Head of Research and Development Jong Indonesische Progam (JIP)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.