Hingga akhir Mei 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima 95 permohonan pengujian undang-undang. Angka ini mengejutkan karena sudah hampir separuh dari total perkara sepanjang 2024 yang mencapai 189 perkara. Lonjakan ini bukan sekadar statistik. Ia adalah cerminan dari krisis dalam proses legislasi nasional, baik dalam aspek prosedural maupun substansial.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa MK semakin sering difungsikan sebagai “tempat cuci piring”. Tempat membersihkan kekacauan hasil legislasi yang kotor atau terburu-buru. Padahal, MK bukanlah tempat pembersih dosa politik hukum yang dibuat tanpa etika konstitusi.
Tercatat, setidaknya ada 36 undang-undang yang telah memantik gelombang pengujian ke MK. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI bahkan memecahkan rekor dengan 17 permohonan uji materi. Ini belum termasuk UU BUMN, UU Pemilihan Kepala Daerah, UU Kepolisian, UU Pemilu, hingga UU Cipta Kerja yang sebelumnya telah diputus inkonstitusional bersyarat.
Ledakan permohonan ini sejatinya merupakan bentuk judicial backlash terhadap kegagalan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya secara bertanggung jawab. Jika legislasi berkualitas, masyarakat tidak perlu ramai-ramai menggugat ke MK. Dalam banyak kasus, akar persoalan terletak pada ketiadaan atau minimnya meaningful participation dalam proses pembentukan undang-undang. Padahal, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa partisipasi publik merupakan syarat konstitusional yang melekat pada setiap proses legislasi demokratis.
Sayangnya, pelibatan publik lebih banyak bersifat formalitas, sekadar memenuhi kewajiban administratif, bukan sebagai proses deliberatif yang membentuk konsensus hukum. Masyarakat seringkali hanya menjadi penonton dalam proses pembentukan hukum yang kelak mengikat hidup mereka. Apa yang terjadi kini mencerminkan bahwa pembentukan undang-undang tak ubahnya kerja borongan dengan target kuantitatif, bukan kualitas. Seolah ada prinsip diam-diam yang berlaku, “Kalau ada yang tak puas, ajukan saja ke MK.” Ini adalah bentuk pelecehan terhadap konstitusi sebagai dokumen hidup bangsa.
Dalam teori judicial policy making, Mahkamah Konstitusi memang dapat menjadi pembuat kebijakan dalam arti memperbaiki atau bahkan menciptakan norma hukum ketika lembaga legislatif gagal. Namun, ini seharusnya menjadi pengecualian, bukan kebiasaan yang dilembagakan.
Ketika MK terpaksa terus-menerus “membetulkan” produk undang-undang, maka ini menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah tidak belajar dari koreksi hukum yang pernah dibuat. Fungsi legislative learning tidak berjalan. Bahkan seringkali MK dicap sebagai pengganggu stabilitas, padahal ia hanya menegakkan konstitusi.
Terlebih, beberapa putusan MK seperti dalam kasus UU Cipta Kerja sudah memberikan early warning terhadap perlunya penyusunan undang-undang yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Tetapi sayangnya, pola kerja yang serampangan tetap dipertahankan. Dalam kerangka negara hukum, judicial review semestinya menjadi jalur korektif terakhir, bukan rute pelarian utama. Ketika jumlah permohonan pengujian membengkak seperti sekarang, maka itu alarm serius bahwa fungsi legislasi negara kita sedang dalam kondisi darurat mutu.
Kondisi ini juga membebani MK sebagai lembaga yudisial. Beban perkara yang berlebihan dapat mengganggu fokus Mahkamah dalam menata sistem hukum secara menyeluruh, karena energi tersedot untuk membedah satu per satu norma undang-undang yang semestinya sudah melalui saringan legislasi yang cermat. Lebih jauh lagi, ketika legislasi asal jadi menjadi kebiasaan, maka akan muncul ketidakpastian hukum. Dunia usaha, masyarakat sipil, bahkan birokrasi negara menjadi bingung dengan kepastian norma, karena setiap tahun selalu ada pasal-pasal yang dibatalkan, direvisi, atau diubah melalui putusan MK.
Dalam perspektif constitutional governance, pengujian undang-undang harus dilihat sebagai refleksi dari kegagalan membangun democratic deliberation. Legislasi yang tertutup, penuh lobi kepentingan, dan minim diskursus publik akan terus menghasilkan produk hukum yang lemah secara konstitusional.
Oleh karena itu, langkah pembenahan harus dimulai dari hulu, yaitu perbaiki mekanisme legislasi di DPR dan pemerintah. Buat prosedur penyusunan RUU yang benar-benar melibatkan publik secara otentik, bukan hanya melalui uji publik sehari di hotel bintang lima. Pemerintah dan DPR juga harus menjadikan constitutional impact assessment sebagai prasyarat penyusunan RUU. Artinya, setiap RUU yang disusun harus terlebih dahulu dievaluasi dampaknya terhadap hak konstitusional warga negara.
Sudah saatnya kita berhenti menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai tempat “cuci piring” atas kekacauan legislasi. Kita tidak bisa terus bergantung pada hakim konstitusi untuk membetulkan kesalahan sistemik yang seharusnya dicegah sejak di meja legislatif.
Mahkamah Konstitusi adalah penjaga konstitusi, bukan pemadam kebakaran setiap kali DPR dan pemerintah lalai. Jika kualitas legislasi terus merosot, maka yang terancam bukan hanya kredibilitas hukum nasional, tetapi juga legitimasi demokrasi itu sendiri.