Menjelang berakhirnya Ramadhan, kesibukan konsumsi rumah tangga pada hampir sebagian besar masyarakat negeri ini mengalami pergeseran. Jika menyambut Ramadhan atau awal Ramadhan lalu masyarakat rumah tangga sibuk dengan kegiatan belanja penyiapan menu buka puasa dan sahur yang agak berbeda dari makan biasanya, pada akhir Ramadhan ini atau menjelang Lebaran beralih pada kegiatan belanja baju baru, perlengkapan baru, kue/ makanan lebaran, persiapan mudik dan deretan rencana transaksi ekonomis lainnya. Entah itu merupakan kegiatan benar atau salah, disarankan atau tidak namun demikianlah potret besar masyarakat negeri ini menjelang lebaran.
Pola konsumsi yang demikian kuat diiklankan di berbagai media baik cetak, elektronik maupun media sosial serta komunitas pergosipan di lingkungan mendorong potret sosial tersebut sebagai suatu budaya yang seolah terlembagakan dan memiliki pola siklus tahunan yang teratur. Siklus ini pula yang seakan akan mendorong segenap masyarakat rumah tangga negeri ini “harus” mempersiapkan diri baik moril maupun materiil menjelang program nasional “LEBARAN”.
Pola konsumsi ini tentunya akan membengkakkan belanja rumah tangga, paling tidak, total transaksi bulanan yang harus dikeluarkan agak berbeda dan cenderung lebih banyak. Bahkan, beberapa mungkin “besar pasak dari pada tiang” (sedikitnya itu kira kiranya). Beberapa rumah tangga ada yang mempersiapkan secara apik dengan menabung khusus untuk menyambut lebaran ini, atau bahkan tidak sedikit yang pergi ke Pegadaian demi memperoleh dana tunai untuk membiayai program nasional ini. Tidak sedikit pula yang berhutang, entah pada sanak saudara, kas kantor, koperasi pegawai atau sumber lainnya demi pula lancarnya program nasional ini.
*******
Cerita satire untuk semua, bermula dari ketika sore tadi dengan seorang kawan yang berprofesi sebagai pegawai kantoran ngobrol di beranda masjid setelah Shalat Ashar. Betapa hal tersebut tidak bisa dihindarkan, dengan penghasilan gaji pegawai biasa beserta tunjangannya apalah daya yang bisa dilakukan oleh seorang, katakan lah pegawai biasa dengan kira kira penghasilan bulanan sekian jutaan dengan seorang istri dan 2 orang anak. Barangkali boro boro untuk beli baju baru, kue dan tetek bengek lebaran lainnya, malah mungkin tidak cukup untuk biaya rutin bulanan lainnya. Cicilan rumah, air, listrik, sekolah anak, trasport harian dlsb. Kalau lah ada peluang dan kemampuan untuk memperoleh penghasilan sampingan tentu telah dilakoni kawan ini, in fact tidak ada.
Secara kebetulan pula ada sepotong koran tergeletak dan sempat terbaca oleh kami. Kamipun mendiskusikannya. Dimana terdapat tulisan yang mengutip pengumuman tentang mengenai larangan bagi pegawai menerima parcel lebaran sebagai gratifikasi, semakin menggenapkan kerisauan kawan satu ini.
Pertanyaan demi pertanyaan akankah THR masih akan ada dan berapa besarannya? cukupkan untuk membiayai lebaran kali ini? Dan lain lain seolah mudah terjawab oleh potongan Koran tadi.
Belanja baju baru, perlengkapan baru, kue/ makanan lebaran, mudik ke kampung sebagaimana tentunya harapan anggota keluarganya merupakan beban yang seolah harus dipenuhinya. Sampai kemudian entah sadar atau tidak dia pun berucap,” Lebaran Bikin Pusing.”
*******
Potret sosial lainnya dengan mudah terlihat, pegawai kantoran sebagai salah satu kelompok masyarakat rumah tangga Indonesia pun seolah mesti mendukung program nasional ini. Kesibukan demi kesibukan seperti kelompok masyarakat lainnya juga dilakukan oleh mereka yang berstatus pegawai biasa. Pegawai yang kebetulan ibu-ibu mulai sering tampak berkeliaran di pasar, mall dan pertokoan hanya demi mensukseskan program ini. Pemandangan ini tampak agak mencolok mungkin karena mereka menggunakan seragam dinas harian atau dari ID Card yang mudah dikenali oleh orang kebanyakan.
Seolah ingin berkompetisi dalam mensukseskan lebaran nasional, mereka berlomba berbelanja. Tentengan belanjaan betapa banyak dan besarnya sebagai persiapan hari yang istimewa.
*******
Behavioral belanja persiapan lebaran yang sangat mencolok yang ditampilkan oleh ibu ibu pegawai tadi tampaknya agak berseberangan situasi dengan kawan pegawai lainnya sebagaimana yang saya temui di masjid tadi. Mungkin saja para ibu tadi tidak bermasalah dengan bagaimana memperoleh biaya belanja persiapan Lebaran. Wallahualam.
(Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk sentimen Lebaran sebagai peringatan hari besar agama, namun lebih pada potret sosial yang secara kebetulan penulis lihat tadi sore)