Jumat, Maret 29, 2024

Lebaran Berlalu, Si Miskin tetap Pilu?

Zulkifli Fajri Ramadan
Zulkifli Fajri Ramadan
Editor buku, Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Kurang lebih sebulan yang lalu kita merasakan keriuhan serta kehangatan berkumpul bersama dalam satu momen hari raya. Hari raya atau lebaran selalu memunculkan dua muka kontradiktif. Selain kemeriahan menyambut hari kemenangan, harga bahan pokok melambung tinggi di antara meningkatnya kebutuhan masyarakat. Sementara, melihat sesaknya kerumunan orang berebut pembagian zakat dan uang santunan menjelang hari raya, menunjukan masih tingginya tingkat kemiskinan.

Lalu, kenapa hari raya selalu memunculkan anomali sosial seperti itu? Bukan malah menjadi ajang penyucian diri dan peningkatan kesejahteraan bangsa. Padahal jelas sekali makna hari kemenangan adalah kembali ke firah atau ke kesuciannya. Maka menjadi pertanyaan besar, apakah setelah lebaran berlalu si miskin tetap pilu?

Kepekaan Sosial
Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 3 Januari 2017 melaporkan: meski selama periode Maret 2016 hingga September 2016 persentase kemiskinan menurun, namun jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik sebanyak 0,15 juta orang, dari 10,34 juta orang pada Maret 2016 menjadi 10,49 juta orang pada September 2016.

Booth dan Me Cawley menyatakan (Dalam Moeljiarto T., 1993) di banyak negara terjadi kenaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang diukur dari pendapatan perkapitanya, tetapi itu hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, sedangkan masyarakat miskin kurang memperoleh manfaat apa-apa, bahkan sangat dirugikan.

Kemiskinan memang menjadi isu utama yang diangkat oleh para pejuang kesejahteraan bangsa kita, mulai dari masa pergerakan nasional hingga reformasi. Pada masa awal pergerakan nasional, narasi yang diangkat oleh Multatuli (Eduard Douwes Dekker) dalam magnum opusnya Max Havelar adalah kepekaan sosial terhadap sistem tanam paksa yang diterapkan oleh imperialis Belanda terhadap kaum bumi putera di daerah Lebak, Banten.

Lebaran yang telah kita lewati mesti kita jadikan parameter kepekaan sosial. Maka menjadi heran apabila lebaran disebut sebagai hari kemenangan, sementara kemiskinan masih merajalela. Kita lihat, Nabi Muhammad Saw. rela berkontemplasi di Gua Hira demi mendapatkan solusi atas bermacam anomali sosial di sekitarnya, hingga Tuhan melalui Jibril menurunkan wahyu kepadanya. Dengan landasan wahyu dan tingginya kepekaan sosial, Nabi Muhammad melakukan perubahan besar, baik dalam bidang teologis maupun peradaban dunia.

Apatisme dan Pendidikan
Ada beberapa teori yang biasa dipergunakan untuk membedah kemiskinan, salah satunya yaitu teori marginalisasi (Soetrisno, 1993: 23-27). Dalam teori itu, kemiskinan dianggap sebagai akibat dari tabiat apatis, fatalisme, tergantung, rendah diri, pemboros dan konsumtif serta kurang berjiwa wiraswasta.

Mengenai tabiat apatis, semangat bangsa kita saat ini jauh dari semangat yang telah ditanamkan oleh para Founding Father. Lihat saja, untuk merebut kemerdekaan, seorang Soedirman rela bergerilya naik-turun lembah melawan penjajah dalam kondisi tubuh yang payah. Juga ketika melihat Soekarno muda, demi menghadapi kejumudan berpikir dan apatisme diri—di bawah asuhan “Sang Guru Bangsa,” Cokromaninoto—ia rela meluangkan banyak waktu untuk membaca dan menulis. Maka tak heran, setelah dewasa Soekarno disegani banyak golongan karena wawasannya yang mempuni, hingga pada Agustus (Ramadhan) tahun 1945 ia dengan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Soemardjan (dalam Sumodingrat 1999: 81), memaparkan berbagai macam cara pengukuran kemiskinan dengan standar yang berbeda-beda, namun tetap memperhatikan dua kategori tingkat kemiskinan, sebagi berikut:

Pertama, kemiskinan absolut adalah suatu kondisi ketika tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti pangan, sandang, papan, dan pendidikan; Kedua, kemiskinan relatif adalah perhitungan kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan dalam suatu daerah. Kemiskinan jenis ini dikatakan relatif karena berkaitan dengan distribusi antar lapisan sosial.

Melihat faktor pertama, kita soroti masalah ketidakmampuan masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang cukup. Kemiskinan yang tengah terjadi, menandakan masih lemahnya sistem pendidikan kita. Oleh sebabnya, pemerintah harus lebih memperhatikan dan memperbaiki kualitas pendidikan demi terwujudnya kesejahteraan bangsa. Dengan pendidikan yang baik, masyarakat dapat mecurahkan buah pikirannya untuk kemajuan peradaban. Bukankah ayat pertama yang Tuhan perintahkan kepada Muhammad melalui Jibril adalah Iqra’? yang berarti Bacalah!

Mengenai ayat tersebut, Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah (2011: 454), menjelaskan bahwa kalimat pertamanya diawali dengan fi’il amr (kata kerja perintah) yaitu Iqra’. Iqra’ memiliki beragam makna antara lain: membaca, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu.

Lebaran telah berlalu, jangan sampai kondisi nestapa si miskin bertambah berat bahkan menguat sedemikian rupa. Ketika berbicara kemiskinan, banyak kategori yang dapat disangkut pautkan dengannya. Entah itu miskin harta, miskin batin dan nurani, hingga miskin spirit untuk menggali ilmu. Pemerintah dengan kekuasaannya yang ada, mestilah ekstra menggunakan batin dan nuraninya demi menghapuskan segala bentuk kemiskinan rakyatnya. Jangan hanya mengurusi skandal pejabat yang semakin hari semakin menjijikan, walau itu secara sistematis bersangkutan dengan bermacam kemiskinan di negeri ini.

Melihat kemiskinan yang tengah terjadi, lebaran mesti menjadi titik awal seseorang memperbaiki kapasitas diri serta kepekaan sosial. Karena sesungguhnya batin patut dipertanyaakan tatkala kita bergembira menyambut hari raya, namun masih banyak tetangga yang kelaparan. Maka tak heran jika Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Seandainya kemiskinan itu berwujud seseorang manusia, maka niscaya akan kubunuh kemiskinan tersebut.”

Zulkifli Fajri Ramadan
Zulkifli Fajri Ramadan
Editor buku, Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.