Tanggal 9 Juni lalu, baru saja kita memperingati Hari Laut Sedunia. Indonesia sebagai negara maritim dengan kepulauan terbesar di dunia seharusnya mampu menunjukkan kepada dunia tentang keunggulannya ini.
Namun, di hari spesial itu terdapat kabar yang menyedihkan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali berulah dalam kebijakannya. Jika beberapa waktu lalu mengizinkan ekspor benih lobster, saat ini kementerian tersebut mengeluarkan kebijakan terbaru mengenai penggunaan alat tangkap ikan yang sempat dilarang periode Menteri sebelumnya.
Berdasarkan hasil kajian tindak lanjut Menteri KP Nomor B.717/MEN-KP/11/2019 Tentang Kajian terhadap Peraturan Bidang Kelautan dan Perikanan, terdapat keputusan mengizinkan kembali penggunaan alat tangkap ikan seperti pukat hela atau trawl dan cantrang. Hal ini sekaligus mencabut keputusan Menteri KP No.86/KEPMEN-KP/16 yang melarang penggunaan alat tangkap tersebut.
Kecaman Berbagai Pihak
Keputusan ini tergolong kontroversial, sebab cantrang dan trawl dianggap sebagai alat penangkap ikan yang merusak lingkungan karena pengoperasiannya bisa menimbulkan kerusakan ekosistem dasar bawah laut. Banyak pihak yang kontra dengan pelegalan kembali alat tangkap tersebut. Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menganggap bahwa kebijakan ini hanya menunjukkan keberpihakan pihak kementerian terhadap pengusaha cantrang bukan nelayan tradisional.
Kemudian, ia menambahkan bahwa pelegalan kedua alat ini bisa menimbulkan konflik horizontal. Para nelayan kecil akan berhadapan dengan para nelayan besar dimana kebanyakan nelayan kecil hanya memiliki kapal kecil di bawah 10 GT, berbanding terbalik dengan para nelayan besar yang memiliki kapal berukuran lebih dari 10 GT.
Sebelum terbitnya keputusan ini, medio bulan Februari lalu sebenarnya sudah banyak penolakan untuk memberikan izin kembali penggunaan Cantrang. Salah satunya dari masyarakat Natuna, Kepulauan Riau. Bahkan penolakan masyarakat Natuna didukung juga oleh pemerintah daerah dan DPRD setempat. Mereka beralasan bahwa cantrang memang berpotensi besar merusak terumbu karang dan ekosistem laut sehingga bakal mempengaruhi hasil laut yang mereka dapatkan nantinya.
Setali tiga uang, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti beranggapan bahwa kebijakan ini merupakan langkah keliru karena selain alat tangkap tersebut merusak ekosistem laut, dampaknya bakal banyak juga kapal asing yang berlayar di Indonesia sehingga mereka membuat kekayaan alam Indonesia di laut terkuras habis.
Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan mempunyai alasan yang berbeda. Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP, Trian Yunanda, beranggapan bahwa keputusan ini merupakan langkah tepat guna mendorong iklim investasi di Indonesia dan mengatur pengendalian alat tangkap. Selain itu, dalam pelegalan kembali alat tangkap tersebut sudah ada peraturan atau standar yang ditetapkan oleh KKP guna menjaga ekosistem lingkungan laut. Mereka beranggapan semua ini sudah aman dan bisa dikendalikan sehingga tidak ada dampak buruk yang dihasilkan.
Poros Maritim Dunia
Kebijakan demi kebijkan kontroversial dikeluarkan oleh KKP. Kebijakan ini tentu saja kontradiktif dengan cita-cita Presiden RI, Joko Widodo. Pada periode pertamanya, Presiden Jokowi pernah berorasi di East Asia Summit ke-9 Myanmar. Beliau mengemukakan sebuah visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Perwujudan dari visi tersebut dimulai dari pemberantasan illegal fishing seperti penenggelaman kapal asing ilegal dan pembangunan tol laut. Hal ini konsisten berlangsung selama beberapa tahun terakhir dan dianggap sebagai sebuah langkah maju bagi Indonesia di mata dunia.
Akan tetapi, dalam beberapa bulan terakhir KKP tidak menampakan sikap segarang dahulu. KKP seakan berjalan mundur ke belakang. Membuat berbagai kebijakan yang sangat kontroversial menjadi citra KKP saat ini. Mereka berdalih bahwa melakukan semua ini guna membuka ruang investasi sebesar-besarnya.
Padahal dengan potensi lautan yang sangat besar, masyarakat menginginkan sebuah kebijakan yang menguntungkan nelayan sebagai tuan serta mengarah pada keberlanjutan. Jikalau semua kebijakan beralasan hanya untuk investasi, lantas siapakah pihak yang diuntungkan? Apakah ekspor lobster yang tempo hari kembali diizinkan memberi keberpihakan kepada nelayan kecil? Atau hanya kepada segelintar pengusaha besar yang punya kuasa? Semoga saja pihak KKP menyadari dan mau kembali berbenah.