Ia berteriak lantang, “Hanya satu kata: Lawan!” Teriakannya itu diikuti oleh barisan-barisan di belakangnya bahkan termasuk anak-anak yang belum lahir saat ia meneriakkan kalimat itu. Sebuah kalimat yang sampai saat ini masih menjadi kutukan menakutkan. Meskipun tidak ada satupun yang tahu di mana dirinya sekarang namun kata-katanya masih terus hidup, tetap ada untuk terus melakukan perburuan dan perlawanan.
Dialah Wiji Thukul. Penyair cungkring yang matanya cacat. Ia juga dikenal cedal meskipun ke-cedal-an itu tak membuat dirinya minder untuk membacakan “puisi-puisi perlawanannya” (baca: kutukannya). Perlawanan kepada siapa dan untuk siapa? Perlawanan terhadap ketidakadilan demi lahirnya keadilan sosial.
Kata-kata dalam setiap puisi Wiji Thukul sampai detik ini masih terus bergema. Wajah dan puisinya telah menjadi simbol perlawanan. Serupa kutukan yang masih terus bergentayangan, puisi-puisinya kadang menjadi sebuah Martil dan Peluru yang siap digunakan untuk melakukan perlawanan. Bahkan rupa-rupanya gairah perlawanan Wiji mengalir di darah anak-anaknya salah satunya Fajar Merah.
Jika Wiji melakukan perlawanan dengan puisi maka anaknya memilih jalan permusikan. Lewat lagu-lagunya ia kembali membangkitkan kutukan Sang Ayah. Lihat saja salah satu lirik lagunya yang berjudul “Kebenaran Akan Terus Hidup” berikut ini:
“Suaraku tak bisa berhenti bergema/ di semesta raya suaraku membara/ walau kau terus saja coba membungkamnya/ namun suaraku takkan bisa kau redam.”
“Karena kebenaran akan terus hidup/ sekalipun kau lenyapkan/ kebenaran takkan mati/ aku akan tetap ada dan berlipat ganda/ persiapkan barisan dan siap tuk melawan/ aku akan tetap ada dan berlipat ganda/ akan terus memburumu seperti kutukan.”
Kutukan Wiji Thukul rupa-rupanya telah diprediksi sebelumnya oleh Alexsander Solshenistyn. Ia pernah berujar, “Bagi sebuah negeri, mempunyai seorang penulis besar adalah seperti mempunyai sebuah pemerintahan yang lain.”
Sebagai seorang penyair, Wiji Thukul dianggap sebagai seorang oposisi yang berbahaya. Meskipun tidak memiliki senjata, tidak memiliki pasukan militer dan tidak memiliki riwayat di dunia militer, Wiji dianggap sebagai sosok yang mampu ‘menyihir’ masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap rezim kala itu. Oleh sebab itu pula ia diburu hingga tidak diketahui batang hidungnya saat ini.
Putri Wiji Thukul, Fitri Nganthi Wani sampai pernah mengeluarkan pernyataan, “Kalau kami, selama mayat ayah tak ada, selama belum ada pernyataan ini loh yang bunuh Wiji Thukul, maka kami masih meyakini bapak masih hidup.”
Keyakinan keluarga Wiji tersebut nampaknya sudah terjawab. Meski secara fisik Wiji tak terlihat namun peninggalan-peninggalannya berupa kutukan terhadap ketidakadilan serta kediktatoran nyata-nyata masih hidup. Seperti namanya, “Thukul” yang berarti tumbuh. Kutukan Wiji bahkan terus tumbuh dan beranak-pinak.
Tentu kutukan ini akan tetap hidup selayaknya kebenaran yang akan terus hidup meski berulangkali dilenyapkan. Jika saja saat ini Wiji Thukul masih ada, ia tentu akan menjadi orang terdepan yang akan mengungkap seluruh kejahatan HAM di masa lampau. Sebuah kejahatan yang sampai detik ini masih terus disembunyikan kebenarannya itu.
Maka mari kita bacakan kutukan paling menakutkan dari seorang Wiji Thukul berikut ini:
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat berani mengeluh
itu artinya sudah gasat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!