Kamis, April 25, 2024

Kurdishtan, Ironi Bangsa Terbesar Tanpa Negara

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi

Menjelang akhir tahun lalu, konflik Kurdi yang melibatkan berbagai kepentingan dan negara sekitar kembali menguat. Berbagai pemberitaan internasional menyorot hal ini. Al Jazeera (2/12) melaporkan bahwa PKK (Partai Pekerja Kurdi, Turki) berkonflik terbuka dengan tentara Peshmerga, sayap militer KDP (Partai Demokratik Kurdi, Irak) di beberapa wilayah pegunungan Irak hingga menelan beberapa korban.

Meskipun skalanya masih terbatas pada beberapa checkpoint, konflik bersenjata ini memantik ingatan perang saudara sesama Kurdi yang terjadi pada tahun 1994 – 1997. PKK, setelah dicap sebagai kelompok teroris oleh pemerintah Turki, banyak melepaskan diri menuju wilayah Syria dan Irak, menghindarkan diri dari kejaran tentara Turki.

Yang paling diuntungkan dengan friksi dan konflik Kurdi vs Kurdi tentu saja adalah ISIS. Kurdi adalah lawan tangguh yang telah berhasil membumihanguskan mereka. Saga pertempuran hebat di Raqqa, Irbil, Kobane, dan terakhir di Dar El Fouz di ujung Sungai Efrat menunjukkan betapa Peshmerga, Syrian Democratic Forces (SDF), PKK, dan unit petempur Kurdi lainnya sangat kuat dan terlatih dengan baik.

Dengan potensi keributan dan konflik antarmilisi Kurdi, sel-sel ISIS sangat mungkin menggeliat lagi. Pasalnya, keberadaan sel-sel tersebut pasa dasarnya tidak sepenuhnya mati. Beberapa aksi pengeboman di Karbala dan Damaskus selepas pernyataan musnahnya ISIS oleh Donald Trump dengan jelas diakui sendiri oleh ISIS sebagai pelakunya.

Indikasi lainnya, serangan-serangan terbuka yang diklaim ISIS dalam skala kecil telah mulai kembali dilakukan di Baghdad dan daerah lainnya. Meskipun bukan merupakan satu-satunya kunci penumpas ISIS, pasukan Peshmerga dan YPG (sayap militer PKK di Syria) sangat berperan dalam menekan dan menghancurkan ISIS selama ini.

Di balik konflik sesama Kurdi tersebut, terdapat lanskap panjang nan rumit mengenai perjuangan kemerdekaan Kurdistan, perlakuan diskriminatif yang menimpa mereka, dan jalan panjang upaya rekonsiliasi internal mereka.

Kontestasi Nasionalisme Kurdistan

Sejarah perjuangan Kurdi dijelaskan dengan baik oleh Stefano M Torelli dalam Kurdistan, An Invinsible Nation (2017).  Tonelli menyampaikan bahwa upaya nasionalistik etnis Kurdi sudah jauh dimulai sebelum runtuhnya Dinasti Ottoman pada 1920. Pada tahun 1879 – 1881, Syaikh Ubayd Allah memimpin gerakan nasionalis Kurdi melawan pemerintah Ottoman di Konstantinopel dan pemerintahan Persia.Beberapa tahun kemudian, upaya ini diteruskan oleh Shimko Shikak, masih di wilayah Kurdistan Iran.

Selanjutnya, Sharif Pasha mengumandangkan pentingnya kemerdekaan Kurdi di Konferensi Paris pada 1919.Sayangnya, semua upaya itu lebih bermotif personal ketimbang kolektif dan komunal. Ubayd Allah, Shimko Shikak, dan Sharif Pasha lebih didorong motif pribadi untuk kepentingan ekonomi dan kebanggaan klan daripada memperjuangkan etnis Kurdi secara umum.Keruntuhan Dinasti Ottoman pada 3 Maret 1924 menjadi titik penting sejarah keberadaan dan “nasib” Kurdistan hingga kini.

Dinasti Ottoman sudah mulai mengalami berbagai tekanan dan kekalahan politis dan militer sebelumnya ditandai dengan berbagai perjanjian.  Perjanjian Sevres dan pembahasan Mandat Inggris, Prancis, dan  Italia untuk membagi wilayah Utsmaniyah sangat mempengaruhi nasib etnis Kurdi.

Eugene Rogan dalam The Fall of The Ottomans, The Great War in the Middle East  (2015) menjelaskan bahwa pertemuan antara Perdana Menteri Inggris, Prancis, dan Italia di San Remo pada April 1920 dilakukan untuk mensinkronkan Perjanjian Husain-McMahon, Perjanjian Sykes-Picot, dan Deklarasi Balfour.Hasil pertemuan tersebut membagi beberapa mandat: Inggris untuk Palestina (termasuk Trans Yordania dan Mesopotamia), Prancis untuk Suriah dan Lebanon, dan Italia untuk Anatolia.Salah satu poin krusial bagi komunitas Kurdi dalam pembagian mandat tersebut adalah diberikannya kesempatan kepada mereka untuk mendirikan negara berdaulat sendiri, lepas dari kekuasaan Dinasti Ottoman, di perbatasan Selatan zona Armenia, berbasis di sekitar Kota Diyarbakar.

Lebih lanjut, dalam Perjanjian Sevres disebutkan bahwa kesempatan tersebut harus segera direalisasikan dengan pembicaraan lebih mendalam dengan otoritas Ottoman dan Liga Bangsa-Bangsa.

Dalam artikel 62 dan 64 Perjanjian Sevres disebutkan bahwa batas wilayah yang diberikan kepada etnis Kurdi berada di sebelah timur dari Sungai Efrat, sebelah selatan Armenia, dan sebelah utara berbatasan dengan Turki, Suriah, dan Mesopotamia.

Mustafa Kemal bereaksi keras terhadap berbagai isi dan maksud perjanjian tersebut seraya mengumandangkan gerakan “Turkifikasi”, gerakan yang berupaya menyelamatkan sisa-sisa kejayaan kekuasaan Turki di tengah tekanan bangsa Eropa dan melemahnya Ottoman.

Usaha Kemal berhasil hingga disepakatinya Perjanjian Lausanne pada tahun 1923. Perjanjian Lausanne inilah yang menjadi penghalang kesempatan kepada Kurdi untuk memerdekan diri. Selain itu, konsolidasi internal juga tidak cukup memelihara kesempatan yang diberikan dalam Perjanjian Sevres.Perjuangan politik selanjutnya terus dilakukan etnis Kurdi.

Dengan dukungan Soviet, etnis Kurdi mendirikan Republik Mahabad pada tahun 1946. Upaya ini hanya bertahan beberapa bulan setelah pemerintah Iran dengan tegas mengembalikan wilayah ini ke negara kesatuan mereka. Usaha pemisahan diri juga dilakukan Kurdistan Turki dengan mendirikan PKK (Partiya Karkeren Kurdistan/Partai Pekerja Kurdi) tahun 1970an dibawah kepemimpinan Abdullah Ocalan. Ocalan ditangkap otoritas Turki pada tahun 1999.

Habis Manis Sepah Dibuang?

Kurdi secara tradisional akan mengalami kesulitan besar untuk upaya menyatukan diri karena beberapa hal. Pertama, perbedaan dan friksi di antara mereka menyulitkan kemungkinan untuk bersatu. Pada titik ini, para ahli dan pengamat Kurdi meyakini bahwa faktor terberat yang menghalangi terbentuknya negara Kurdi adalah perbedaan kepentingan internal mereka.

Kedua, framing konsolidasi pemerintah resmi dan Kurdi di masing-masing wilayah. Misalkan Turki mampu menemukan solusi atas problem internal mereka dengan Kurdi di wilayah selatan mereka, juga andaikata Kurdistan Irak yang makin diberikan kewenangan untuk mengelola daerah mereka sendiri tanpa harus merdeka, atau Kurdistan Syria yang makin memiliki area administratif sendiri, upaya kemerdekaan Kurdistan bisa makin mereda.

Ketiga, resiko dan dampak lanjutan yang menyulitkan berbagai pihak. Hal demikian karena kemerderkaan Kurdi pada masing wilayah Turki dan Irak akan menyebabkan beberapa hal krusial, seperti penentuan ulang batas wilayah, hilangnya wilayah kekuasaan, hilangnya sumber pendapatan, dan dorongan kemerdekaan etnis Kurdi di wilayah lain.

Menimbang tingkat kesulitan seperti itu, Kurdistan menghadapi dilema dan beban sejarah yang tidak mudah. Amanah Perjanjian Sevres membuka kesempatan baik untuk upaya kemerdekaan, namun sejarah mencatat kegagalan Kurdistan untuk mengelola hal itu. Pada kelanjutannya, konflik silih berganti pada internal dan eksternal  Kurdistan dalam banyak hal melemahkan perjuangan mereka. Padahal, jasa dan keberanian mereka dalam menumpas ISIS jelas terlihat dan diakui dunia

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.