“Terkait isu Myanmar, para menteri luar negeri ASEAN menegaskan kembali pendekatan bersama dalam implementasi Konsensus Lima Poin”. Demikianlah pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam sebuah konferensi pers usai pertemuan para menteri luar negeri ASEAN pada ASEAN Foreign Ministers Retreat (AMM), di Jakarta, Sabtu (4/2/2023). Hal ini kemudian diindikasikan sebagai bentuk persatuan ASEAN dalam mendorong implementasi Konsensus Lima Poin (5PC) untuk mengatasi isu Myanmar.
Upaya untuk memperkuat sentralitas ASEAN kini dihadapkan dengan krisis Myanmar yang disebabkan oleh kudeta militer yang belum usai. Isu Myanmar sepertinya menjadi pekerjaan rumah yang akan merepotkan Indonesia dan organisasi regional tersebut. Terhitung sejak kudeta dimulai dari februari 2021 hingga sekarang, implementasi 5PC di Myanmar nihil hasilnya. Wajar saja, jika kemudian sejumlah akademisi dan aktivis pesimis isu Myanmar dapat diselesaikan selama setahun ini.
Krisis Myanmar adalah isu yang urgen untuk segera diselesaikan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Sidharto R Suryodipuro, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, krisis Myanmar menjadi isu yang mendesak untuk segera diselesaikan. Kudeta militer menyebabkan krisis politik dan kemanusiaan yang dapat berdampak secara luas bagi kawasan.
Kawasan yang stabil adalah kunci bagi ASEAN dalam mewujudkan pusat pertumbuhan ekonomi. Stabilitas keamanan dapat berdampak pada stabilitas pasar. Secara makro, berdasarkan data dari International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2022 total Produk Domestik Bruto (PDB) ASEAN mencapai US$ 3,9 Triliun atau sekitar 3,6% dari PDB global. Krisis yang terjadi di Myanmar
Fenomena internasional ini dapat dianalisa menggunakan perspektif konstruktivisme dalam ilmu Hubungan Internasional. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Bernett dan Finnemore,2005, organisasi internasional memiliki kekuasaan yang mutlak dalam mengatur sumber daya material yang dapat digunakan untuk mempengaruhi negara lain. Salah satunya melalui sumber daya normatif (Sorensen George 2013)
ASEAN sebagai sebuah organisasi yang mewadahi negara-negara Asia Tenggara sudah seharusnya kembali kepada spirit genealogi pembentuknya. ASEAN memiliki kerangka sendiri dalam mengambil sikap mengatasi krisis Myanmar. Dalam mengatasi persoalan Myanmar, ASEAN memiliki komitmen sebagaimana yang dijelaskan dalam KTT ASEAN di Hanoi 2010, ASEAN sebagai arsitektur kawasan yang berdasarkan kerangka kerja di kawasan yang saling mendukung dan memperkuat dengan menjadikan ASEAN sebagai penggerak utamanya.
ASEAN Butuh Evaluasi
Mendorong implementasi 5PC dalam mengatasi isu myanmar adalah sebuah upaya yang patut diapresiasi. 5PC dapat menjadi sumber daya normatif, yang berisikan: menyerukan penghentian kekerasan, dialog dengan semua pemangku kepentingan, menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi mediasi dan dialog, mengizinkan ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Myanmar, serta mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk berkunjung dan bertemu dengan seluruh pemangku kepentingan di Myanmar.
Namun, dalam penerapan 5PC, ASEAN butuh evaluasi. Dua tahun berlalu kudeta Myanmar, Implementasi Konsensus Lima Poin belum menunjukkan hasil, bahkan pihak junta Myanmar terkesan mengolok-olok 5PC tersebut. Kesatuan ASEAN dalam menyikapi krisis Myanmar merupakan angin segar. Namun hal ini belumlah cukup, sejumlah persoalan lain yang harus dievaluasi seperti; Utusan Khusus ASEAN yang belum maksimal, meninjau ulang piagam ASEAN serta mempertimbangkan opsi terakhir untuk menangguhkan Myanmar dari keanggotaan ASEAN
Pertama, terkait Utusan Khusus ASEAN perlu untuk dipermanenkan. Hal ini perlu dilakukan, mengingat mengatasi persoalan Myanmar adalah masalah yang kompleks dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sehingga, dibutuhkan Utusan Khusus Tetap ASEAN yang bertugas untuk membantu ASEAN mengatasi krisis Myanmar. Hal ini juga diafirmasi oleh Dewi Fortuna Anwar, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyarankan agar ASEAN menunjuk utusan tetap, Karena utusan tetap dapat membantu menguraikan dan memahami masalah lebih dalam lagi.
Kedua, terkait Piagam ASEAN, ASEAN perlu membahas mengenai mekanisme pemberian insentif ASEAN agar junta militer Myanmar mempunyai iktikad baik dalam implementasi 5PC. Pemberian sanksi kepada Myanmar tidak dapat memberikan efek jerah. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh UGM Randy Nandyatama, Pengamat hubungan internasional UGM, Selama ini sanksi pengucilan Myanmar tidak cukup menghentikan langkah negara itu untuk mematuhi konsensus. Jadi ketimbang sanksi, insentif bisa membantu Myanmar lebih membuka diri.
Ketiga, jika upaya diatas belum bisa mengatasi krisis Myanmar, dengan kata lain Myanmar tidak memiliki iktikad baik dalam mengimplementasikan 5PC, maka ASEAN perlu untuk bersikap tegas dengan menangguhkan keanggotaan Myanmar di ASEAN. ASEAN harus melepaskan ambisinya bahwa mereka bisa menyelesaikan masalah Myanmar, dan mengembalikan masalah tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk ditangani.
Hal ini menjadi alternatif terakhir, mengingat krisis Myanmar adalah persoalan internal Myanmar, persoalan yang disebabkan karena tidak adanya “credible commitments” di kalangan militer Myanmar. Sementara itu, ASEAN juga memiliki prinsip non-interferensi, sehingga tidak dapat mengintervensi secara mendalam krisis yang terjadi di Myanmar.
ASEAN masih memiliki agenda lain, yang sama pentingnya dengan Myanmar. Masalah seperti; resesi global, ketegangan di Laut Tiongkok Selatan, Perang Rusia-Ukraina, persaingan AS-Tiongkok dan mempromosikan ASEAN Outlook Indo Pacific (AOIP). Semua ini perlu menjadi pertimbangan oleh ASEAN jika ingin tetap relevan dan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan.