Krisis lapangan pekerjaan di Indonesia semakin terasa di berbagai daerah. Meski pertumbuhan ekonomi nasional diklaim stabil oleh pemerintah, nyatanya banyak masyarakat masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Para lulusan baru, pekerja informal, hingga korban pemutusan hubungan kerja (PHK) mengaku sulit bersaing di dunia kerja saat ini.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 menunjukkan angka pengangguran terbuka mencapai 5,6%, atau sekitar 8,2 juta jiwa. Jumlah ini naik dibandingkan tahun lalu yang berada di angka 5,1%.
Sektor industri dan manufaktur yang sebelumnya menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja, kini justru banyak mengurangi jumlah karyawan akibat tekanan ekonomi global dan otomatisasi.
Selain itu, banyak perusahaan beralih ke sistem kerja digital dan otomatis, yang membuat kebutuhan tenaga kerja manusia semakin menurun. Sementara itu, pendidikan dan pelatihan kerja belum sepenuhnya mampu menyesuaikan dengan kebutuhan pasar saat ini. Banyak lulusan tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja modern.
Pemerintah sebenarnya telah menjalankan beberapa program seperti pelatihan digital, insentif wirausaha, dan dukungan UMKM. Namun, program tersebut dinilai belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara merata.
Para ahli ekonomi mengingatkan bahwa krisis lapangan kerja bisa menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani serius. Selain berdampak pada kondisi ekonomi keluarga, tingginya pengangguran juga bisa menimbulkan masalah sosial seperti kriminalitas dan ketimpangan.
Krisis ini menjadi tantangan besar bagi masa depan Indonesia. Dengan jumlah penduduk usia produktif yang terus meningkat, dibutuhkan langkah nyata dan cepat agar bonus demografi tidak berubah menjadi beban sosial.
