Topik gentrifikasi di Indonesia memang menjadi perbincangan yang hangat dan kontroversial. Pertanyaan yang sering muncul adalah, “Kemana lagi penduduk asli akan berpindah?” Apakah mereka harus kembali ke kehidupan nomaden dan mengikuti seleksi alam seperti teori Darwin?
Pergusuran, peralihan lahan wilayah perindustrian secara besar-besaran, hingga pembuatan kebijakan peruntukan tanah yang lebih menguntungkan kalangan atas, mengharuskan kita membuka mata lebar-lebar dan menyadari hilangnya cita-cita bangsa untuk menjunjung tinggi kemerdekaan.
Apa itu gentrifikasi?
Secara sederhana, gentrifikasi adalah proses perpindahan penduduk berpenghasilan tinggi ke wilayah yang sebelumnya dihuni oleh penduduk berpenghasilan rendah. Proses ini sering kali menggeser penduduk asli dan membawa dampak perubahan struktur harga, gaya hidup, serta demografi kota.
Di Yogyakarta, misalnya, kawasan seperti Malioboro dan Prawirotaman mengalami gentrifikasi yang signifikan. Kenaikan harga tanah yang drastis dan peningkatan standar hidup menjadi hal yang tak terhindarkan.
UMR dan harga tanah
Fakta menariknya, harga tanah di pusat Yogyakarta kini mencapai sekitar Rp 10 juta per meter persegi, sementara Upah Minimum Provinsi (UMR) Yogyakarta pada tahun 2025 hanya sebesar Rp 2.264.080,95. Dengan kata lain, penduduk lokal yang bergantung pada UMR tersebut sangat sulit untuk membeli tanah, bahkan satu meter persegi pun.
Lalu, siapa yang mampu membeli? Penduduk lokal lambat laun akan berpindah dan mencari alternatif tempat tinggal yang lebih terjangkau, sementara para pendatang dengan pendapatan tinggi berlomba-lomba membeli tanah untuk mencari keuntungan, seperti mendirikan hotel, kost, hingga perumahan.
Gentrifikasi memang memiliki sisi positif dan negatif. Di satu sisi, kenaikan harga tanah dan properti dapat berpengaruh negatif, seperti munculnya sikap diskriminatif dan hilangnya identitas lokal. Di sisi lain, gentrifikasi juga dapat meningkatkan lapangan kerja, investasi, dan pembangunan, serta revitalisasi lingkungan. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa mempertahankan tempat tinggal penduduk asli di tengah arus gentrifikasi yang semakin kuat?
Salah satu solusi yang bisa diambil adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam era digital ini, memanfaatkan teknologi dengan baik menjadi sangat penting.
Mengikuti pelatihan kerja, mengamati dan berpikir kritis terhadap setiap kebijakan yang dibuat pemerintah, serta mengasah soft skill dan hard skill adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan. Dengan cara ini, penduduk asli dapat bersaing dan tetap memiliki peluang untuk membeli properti atau rumah impian mereka.
Kesadaran
Kita dihadapkan pada dua pilihan: apakah ingin menjaga keberlanjutan (sustainability) atau menerima kenyataan dan tersingkir begitu saja? Jika kita memilih untuk menjaga keberlanjutan, maka kita harus berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan adil bagi semua.
Gentrifikasi tidak harus menjadi hal yang menakutkan, tetapi bisa menjadi peluang untuk menciptakan kota yang lebih baik, asalkan kita semua berperan aktif dalam proses tersebut.
Dengan demikian, mari bersama-sama membuka mata dan hati untuk memahami dinamika gentrifikasi di Indonesia. Gentrifikasi bisa menjadi tantangan, tetapi juga bisa menjadi kesempatan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua.