Jumat, Maret 29, 2024

Korupsi Gaya Baru

Janwan Tarigan
Janwan Tarigan
Peneliti Malang Corruption Watch

Puluhan tahun lalu Bung Hatta pernah berucap bahwa “Korupsi sudah membudaya di Indonesia”. Ucapan yang kemudian menuai kehebohan dan tak sedikit kritik tajam terhadap Bung Hatta yang dianggap pesimis. Setelah puluhan tahun lamanya, ungkapan Bung Hatta itu tampak relevan karena korupsi tiada henti menggerogoti sendi bangsa dan Negara kita. Namun apakah tepat kita menyebut korupsi telah membudaya? Untuk itu kita perlu membedah makna frasa dan realitas hari ini.

Perlu dicatat bahwa Bung Hatta mengatakan “membudaya” bukan “budaya”. Kata membudaya dapat dipahami sebagai gambaran praktik korupsi di Indonesia kala itu yang terus berulang dari satu era pemimpin ke era pemimpin berikutnya. Sekilas memang mirip arti kebudayaan yakni diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau sering disebut tradisi. Sampai di sini tentu belum cukup meyakinkan kita membenarkan korupsi sebagai tradisi bangsa. Untuk itu lebih jauh perlu dipahami kondisi kontekstual yang melatari ungkapanBung Hatta tersebut (Edward Nainggolan, 2021).

Saat itu, pungutan liar (Pungli) marak terjadi di berbagai lini pemerintahan, bahkan karena terus berulang dan tidak ada upaya serius dan konkret dalam memberantasnya seperti sudah menjadi hal lumrah. Atas dasar kondisi itulah Bung Hatta menilai “Korupsi sudah membudaya” atau “terus menerus terjadi” dan “dianggap lumrah”. Ungkapan Bung Hatta ini harus diakui memiliki kedalaman makna yang tidak dapat disimpulkan sepintas.

Saya meyakini Bung Hatta tidak sedikit pun bermaksud “pesimis” lalu ikut arus menganggap korupsi “lumrah” dan perlu “dibudayakan”, sebaliknya ungkapannya merupakan sebuah kritik betapa kronisnya praktik korupsi di Indonesia. Bagaimana pun juga falsafah budaya bertitik tolak pada kebaikan bagi peradaban, sementara korupsi jelas tidak membawa sesuatu apa pun kebaikan, sebalinya justru sangat merugikan bangsa. Terang bahwa korupsi bukan budaya kita.

Jika pun terpaksa dianggap budaya, maka lebih tepatlah ia disebut “budaya koruptor”. Sebab meski sudah memahami konsekuensi dari tindakannya merugikan orang banyak, tetap saja keserakahan selalu menggerakkannya mencari keuntungan secara tidak sah dan berulang.

Hari-hari ini jika kita refleksikan tampak ungkapan Bung Hatta nyata terjadi. Korupsi. Kita menyaksikan sendiri hampir setiap minggu bahkan dalam hitungan hari, ada saja kasus korupsi yang berhasil terungkap dan diberitakan bermacam media massa. Situasi yang kemudian memengaruhi pandangan publik saat mengetahui suatu kasus korupsi bukan lagi menjadi suatu yang “mengagetkan”. Mungkin masyarakat sudah bosan menonton beragam kasus korupsi yang tak hentinya-hentinya terjadi. Meski demikian tentu rasa geram masyarakat pasti ada ketika “uang rakyat” ditilap oleh mereka yang seharusnya memperjuangkan kepentingan publik.

Dari Pungli ke Korupsi Politik

Membaca fenomena korupsi belakangan ini berbeda dengan kesaksian Bung Hatta puluhan tahun lalu. Sebenarnya perbedaannya tidak mencolok, hanya saja korupsi saat ini lebih kronik. Jika dulu paling banyak korupsi jenis Pungli dan tersentral di pusat pemerintahan, sekarang ini banyak terjadi korupsi paling berbahaya, yakni korupsi politik dan tersebar di semua sektor institusi negara.

Praktik Pungli lebih menyasar pelayanan publik, seperti pengenaan biaya administrasi yang tak sesuai peraturan saat masyarakat mengurus layananan. Hubungannya antara birokrasi dan masyarakat. Hingga saat ini pun korupsi jenis Pungli masih ada, namun tren korupsi politik saat ini lebih dominan, yaitu korupsi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri dan golongannya (Alkostar, 2015: 19). Pembeda dengan korupsi pada umumnya, korupsi politik berakibat luas tidak sebatas kerugian keuangan Negara tetapi juga mencederai sistem politik-pemerintahan, merusak tatanan keadilan sosial-ekonomi, dan pada gilirannya pasti melanggar hak asasi manusia (HAM).

Salah satu contoh yang cukup sering terjadi adalah, ijon politik, yaitu korupsi dengan cara pertukaran kepentingan. Biasanya terjadi dalam proses Pemilu antara calon pemimpin dengan Parpol dan pengusaha, melalui kesepakatan atau kontrak politik di awal sebelum calon pemimpin diusung Parpol atau  didukung pendanaannya oleh korporasi tertentu. Sebagai imbalannya, pemimpin terpilih nantinya harus memenuhi kemauan Parpol dan pengusaha sesuai perjanjian kontrak politik.

Bukan rahasia lagi, pemimpin terpilih harus melunasi “ongkos kontestasi” kepada Parpol yang telah memberikan tiket dan bersedia menjalankan mesin partainya. Lain hal kaitannya dengan pengusaha yang telah mendanai proses pemilihan sang calon, biasanya meminta jatah “proyek pembangunan”. Dalam ilmu biologi proses ini sifatnya simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan; calon pemimpin mendapat “tiket kontestasi” dan dukungan dari Parpol, dan Parpol mendapat “mahar politik” dari calon pemimpin; calon pemimpin memperoleh dana untuk proses pemilihan dari pengusaha, lalu pengusaha mendapat “jatah proyek” saat calon terpilih.

Sama-sama mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri dan golongannya melalui penyalahgunaan kekuasaan, inilah yang dimaksud korupsi politik. Akibatnya, sistem demokrasi tidak berjalan secara substansial, melainkan dipenuhi money politic (politik uang) yang berkutat pada demokrasi procedural semata. Rakyat merugi bertubi-tubi, selain demokrasi tidak menghasilkan pimpinan berkualitas, uang rakyat atau sumber daya publik lainnya juga akan dipergunakan untuk memenuhi “kontrak politik” antara Pemimpin pemerintahan, Parpol dan Pengusaha.

Jika ditelaah lebih dalam, dampak korupsi politik ini berujung pada pelanggaran hak asasi manusia akibat pelayanan publik tidak berjalan optimal karena anggarannya “disunat”. Pembangunan pun tak lagi berorientasi kepentingan publik, proyek yang dikerjakan oleh korporasi yang “dimenangkan” akan berusaha memulihkan uang yang keluar saat proses kampanye sang calon. Lebih-lebih sang pengusaha akan mencari keuntungan (berburu rente) dari proyek-proyek tersebut sehingga kualitas pembangunan otomatis menajadi buruk. Tak heran, fasilitas publik cepat rusak, lalu dianggarkan setiap tahunnya.

Langkah serius ke depan harus dimulai dari aparat hukum pemberantas korupsi yang seimbang menjalankan penindakan, pencegahan, dan pengembalian kerugian keuangan negara. Kemudian secara perlahan mengubah mental korup menjadi mental berintegritas.

Daftar Pustaka

Alkostar, Artidjo. 2015. Korupsi Politik Di Negara Modern. Yogyakarta: FH UII Press.

Edward Nainggolan. 2021. Budaya Korupsi Atau Korupsi Membudaya. Artikel DJKN Kemenkeu. diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13755/Budaya-Korupsi-atau-Korupsi-Membudaya.html pada 27 Februari 2022.

Janwan Tarigan
Janwan Tarigan
Peneliti Malang Corruption Watch
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.