Korupsi dalam birokrasi masih menjadi wabah tak berujung di Indonesia. Dari tahun ke tahun, masa ke masa praktik korupsi masih menjadi topik highlight di media massa.
Menurut Prof. Mahfud MD, korupsi mencakup tindakan yang tidak selalu berupa pengalihan dana ke saku pribadi, tetapi juga kebijakan yang menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau perusahaan tertentu.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, terdapat 30 jenis tindakan korupsi dengan 7 tindakan yang paling umum di dalamnya termasuk suap, gratifikasi, penggelapan, pemerasan, penipuan dan pencurian, dan konflik kepentingan.
Korupsi dalam birokrasi sering terjadi dalam lingkup pelayanan publik. Contohnya adalah perilaku pegawai birokrasi yang memperumit proses administrasi untuk menciptakan peluang bagi suap atau biaya tambahan. Fenomena ini merugikan masyarakat, mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan menghambat pembangunan.
Secara umum, penyebab korupsi dalam birokrasi dibagi menjadi dua faktor, internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam institusi birokrasi sendiri. Pegawai yang tidak profesional atau memiliki niat buruk dapat memperumit prosedur pelayanan publik untuk menciptakan peluang korupsi.
Selain itu, kurangnya pengawasan dan evaluasi yang efektif juga memberi ruang bagi praktik korupsi. Motivasi pribadi, seperti keinginan memperbesar anggaran atau meningkatkan status individu dalam birokrasi, juga menjadi penyebab utama korupsi.
Sedangkan, faktor eksternal berasal dari masyarakat atau pihak tertentu yang ingin memperoleh pelayanan istimewa secara cepat dengan memberikan imbalan kepada oknum birokrasi. Fenomena ini menciptakan hubungan timbal balik antara pemberi dan penerima suap, yang semakin mengakar dalam budaya birokrasi.
Salah satu teori yang relevan dalam memahami korupsi birokrasi adalah Bureaucratic Oversupply Model. Teori ini, yang didasarkan pada pemikiran ideologi liberalisme, mengkritik birokrasi yang dinilai terlalu besar dan tidak efisien. Menurut teori ini, birokrat sering kali memperbesar anggaran dan memperluas kewenangan untuk kepentingan pribadi atau organisasi mereka.
William Niskanen, salah satu pengusung teori ini, menyatakan bahwa birokrat bertindak sebagai “pengusaha anggaran” yang menciptakan kebutuhan palsu atau melebih-lebihkan kebutuhan anggaran. Dampaknya adalah pembengkakan biaya proyek (mark-up), penciptaan proyek yang tidak diperlukan (oversupply), dan penggunaan dana publik untuk kepentingan politik. Struktur birokrasi yang tidak efisien serta kurangnya pengawasan memperbesar peluang korupsi.
Korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral yang memerlukan perubahan budaya dan kesadaran kolektif. Dengan komitmen semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, harapan untuk menciptakan Indonesia yang bebas korupsi bukanlah hal yang mustahil.