Suatu karya sastra terlihat indah dengan penggunaan bahasa yang baik, bahasa sebagai sistem semiotik primer. Bahasa merupakan sistem tanda sebagai unsur bahasa yang mempunyai arti tertentu yang secara konvensi disetujui dan diterima oleh masyarakat. Konvensi merupakan suatu kesepakatan yang sudah diterima orang banyak dan sudah menjadi tradisi. Konvensi dalam sastra sangatlah penting, sebagai nilai estetika, keindahan, serta keunikan dalam sebuah karya sastra.
Konvensi bahasa merupakan teks sastra pertama yang digunakan sebagai media karya sastra, seperti sastra lisan dan tulisan, sehingga bahasa tidak bisa dipisahkan oleh sastra. Teeuw (1991) mengatakan, konvensi bahasa sanggup dimengerti saat kita memaknai bahasa sehari-hari yang tidak dimilikinya: deretan tutur, pemanfaatan morfem bahasa, irama, dan sebagainya. Konvensi bahasa dengan ciri khasnya yaitu bebas, tidak terikat aturan dalam memahami bahasa sastra, kita juga harus mampu memosisikan diri kita untuk bersifat netral.
Konvensi bahasa pada kali ini akan menilai suatu karya satra berbentuk puisi yang berjudul “Tiga Lembar Kartu Pos”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
Puisi “Tiga Lembar Kartu Pos” adalah sebuah karya sastra dari Sapardi Djoko Damono yang ditulis pada tahun 1975, puisi ini termasuk ke dalam manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” walau puisi ini tidak familier seperti sajak “Aku Ingin”, namun puisi dengan tema ketuhanan ini memiliki makna yang dalam bagi pembacanya.
Pada naskah puisi Tiga lembar Kartu Pos, menceritakan surat kabar yang dikirim entah di mana keberadaan nya saat ini. Dalam puisi ini memiliki makna kehidupan dan makna perjuangan.
“suratmu dulu itu entah di mana, tidak di antara
bintang-bintang, tidak di celah awan, tidak di sela-sela sayap malaikat”.
Kalimat diatas merupakan penggalan puisi “Tiga lembar Kartu Pos”, yang menurut saya puisi ini terdapat makna tersurat, dengan keindahan estetika bahasanya. Seperti Makna dari “di antara bintang-bintang” bukanlah bintang yang berada di angkasa, melainkan menggambarkan tidak terlihatnya surat tersebut walau sudah dicari.
Kemudian pada kata “tidak di celah awan” di celah awan adalah di sela-sela awan yang berada di langit, bukanlah mencari surat di sela-sela awan tetapi mencari hingga ke sela-sela ruang namun surat tersebut tetap saja tidak ditemukan. Selanjutnya “tidak di sela-sela sayap malaikat” pada kata “malaikat” terdapat kekeliruan, bahwa malaikat merupakan makhluk halus yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, namun pada kalimat ini, menggambarkan malaikat seperti yang tergambar diilustrasi dengan badan yang besar dan memiliki sayap, mengartikan tetap saja meski dicari ke tempat yang mustahil sekalipun surat tersebut masih sulit ditemukan.
Kemudian puisi ini memiliki makna pengabdian kepada tuhan yang terdapat di kalimatnya
”siasatnya pasti siasatmu juga; menatap tajam sambil
menuduh bahwa kunfayakun-Ku sia-sia belaka”.
Pada kalimat Kunfayakun-Ku terdapat pertanyaan, karena kalimat ini mengambil dari potongan ayat Al Quran, pada surat Yasin di ayat 82. Kalimat ini memiliki arti “jadi, maka jadilah!”. Pada kalimat puisi ini memiliki makna usaha penuh yang dilakukan hamba kepada tuhannya, segala kekuasaan dan segala sesuatu dikembalikan kepada-Nya. Kunfayakun pada kalimat puisi ini memiliki makna usaha atau ikhtiar yang dilakukan oleh manusia hanya sia-sia belaka, bila tanpa ada pertolongan-Nya.
Dalam menulis tentu perlu banyak yang harus diperhatikan, salah satunya bahasa. Konvensi bahasa yang merupakan bentuk kreativitas seorang penulis dalam mengembangkan karyanya. Bahasa yang sifatnya unik, memiliki ciri khasnya yang tidak dimiliki bahasa lain. Bahasa juga sifatnya arbiter; manasuka, sesuka hati bahasa yang kita tuangkan dalam karya merupakan gambaran isi hati yang sedang dirasakan.
Bahasa merupakan sistem tanda sebagai unsur bahasa, yang memiliki arti tertentu, secara konvensi disetujui dan harus diterima oleh masyarakat. Adanya konvensi bahasa selalu berubah atas faktor-faktor tertentu, adanya konvensi di masyarakat membuat bahasa terus berevolusi, memiliki makna tersendiri di waktu dan tempat yang berbeda.