Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis.
Sementara itu, kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mengartikan gender adalah peran-peran sosial yang di kontruksikan oleh masyarakat. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, emosional, keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap perkasa, rasional, dan jantan meskipun ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Dari uraian sebelumnya dapat dengan jelas dibedakan antara perbedaan jenis Kelamin (seks) dengan perbedaan gender. Dalam kondisi saat ini masih menunjukkan bahwa perbedaan kelamin dapat menimbulkan perbedaan gender (gender differences).
Dalam berbagai bentuk aspek kehidupan, baik aspek sosial, ekonomi, agama, hukum serta budaya, kaum laki-laki masih saja berperan penting dan sentral dalam aspek tersebut. Kedudukan laki-laki yang lebih super power dianggap mampu mengemban segala hal berbeda halnya dengan kedudukan perempuan yang masih dianggap “tidak bisa” dan dimarjinalkan dibawah dominasi kaum laki-laki (Simanungkalit & Ilyas, 2020) yang mengakibatkan peran perempuan menjadi sangat dibatasi dan hanya dianggap mampu beradaptasi di lingkup rumah tangga saja.
Marginalisasi perempuan yang sering muncul menujukkan bahwa adanya penurunan peran perempuan menjadi the second sex yang juga sering disebut sebagai warga kelas kedua yang keberadaanya tidak begitu diperhitungkan (Faizain, 2012). Hal ini lah yang menimbulkan berbagai ketidakadilan bagi perempuan. selama berabad-abad, perempuan telah ditindas, hak-hak mereka diabaikan sebagai manusia, mereka diperlakukan sebagai bagian masyarakat yang lebih rendah dan peran mereka terbatas pada pekerjaan rumah tangga dan persalinan.
Penindasan yang berkepanjangan mengangkat banyak suara dan secara kolektif memunculkan konsep feminisme yang memulai gerakan terpanjang dalam sejarah dan masih berlanjut hingga saat ini. Gerakan feminisme pada awalnya bertujuan untuk menyudahi dan mengakhiri status “pemasungan” terhadap kebebasan perempuan.
Mary.E. Hawkesworth menyebutkan dalam bukunya yang berjudul “Globalization and feminist activism” pada tahun 2006, bahwa feminisme adalah keseluruhan gerakan sosial politik dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama untuk menggambarkan, membangun, dan mencapai kesetaraan politik, ekonomi, pribadi, dan sosial dari jenis kelamin. Dengan banyaknya penganut feminis diseluruh dunia termasuk Indonesia membuat kaum perempuan menciptakan sebuah gerakan baru yang bernama gerakan ekonomi feminis dimana dalam gerakan ini kaum perempuan ingin membuktikan bahwa mereka memiliki peranan penting dalam tatanan masyarakat seperti kaum laki – laki.
Ekonomi feminis itu sendiri adalah suatu gerakan yang meliputi studi peran gender dalam perekonomian dari perspektif pembebas dan bekerja kritis yang diarahkan pada penerapannya dalam kegiatan ekonomi.
Ekonomi feminism bersifat altruism artinya mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan dirinya. Dalam perkembanganya ekonomi feminim terbagi menjadi dua bagian yakni domestic (ibu rumah tangga) dan go public (wanita karir). Dari adanya gerakan ekonomi feminis ini, tak bisa dipungkiri juga memiliki peran besar dalam suatu negara untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di negara tersebut.
Untuk menggerakkan perekonomian nasional Indonesia misalnya, tentunya dibutuhkan tenaga kerja, tetapi kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, sedangkan untuk perempuan banyak yang menganggur untuk mengurusi rumah tangga akibat adanya perbedaan gender yang menyebutkan bahwa sebagai wanita kodratnya hanya dirumah saja mengurus suami dan anak. Akibatnya, pendapatan nasional hanya akan berasal dari kaum laki-laki. Bilamana perempuan memiliki kontribusi lebih pada perekonomian nasional, tentunya ini akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nasional.
Analoginya, di dalam sebuah keluarga ekonomi menengah, jika yang bekerja hanyalah sang suami, tentunya pendapatan keluarganya tidak akan terlalu besar, karena pendapatannya akan dibagi dengan biaya pendidikan anak-anaknya, kebutuhan sehari-hari, asuransi kesehatan, pajak, dll.
Namun, jika sang istri ikut bekerja, paling tidak bisa membantu memenuhi biaya kebutuhan sehari-hari. Tapi dalam kenyataannya perempuan masih harus mengurusi anak-anak dirumah dan melayani suaminya, apalagi sang anak masih berumur balita dan benar-benar tidak bisa ditinggalkan ibunya, apakah masih memungkinkan perempuan untuk bekerja?
Kita tentu tidak bisa memaksakan perempuan seperti itu untuk bekerja, tetapi hal ini akan berbeda jika seorang perempuan yang benar-benar bisa bekerja, terkendala oleh sistem sosial keluarga dan masyarakat yang memaksanya harus dirumah saja dan tidak boleh ikut bekerja.
Padahal, peran perempuan dalam ekonomi Indonesia tidak perlu diragukan lagi. sekitar 54% pelaku UMKM didominasi oleh perempuan. Bahkan, pada bidang investasi, peran perempuan mencapai angka 60%. Situasi tersebut menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki kapasitas yang sama sebagaimana laki-laki, baik dari segi kecerdasan hingga kemandirian. Bahkan kemampuan perempuan dalam mengelola keuangan rumah tangga juga membantu mereka untuk lebih produktif berinvestasi.
Peran perempuan dalam ekonomi juga tampak dari sektor kewirausahaan. Tak bisa dipungkiri bahwa hingga kini, laki-laki masih mendominasi dalam dunia kerja. Oleh sebab itu, banyak perempuan yang mulai membuka mata dan melihat peluang besar di sektor kewirausahaan. Para perempuan pun banyak yang membuka usaha hingga menjadi karyawan. Bahkan 54% dari para pelaku UMKM dan 97% pegawai didominasi oleh perempuan.
Keberadaan UMKM ini merupakan wujud nyata dari kemandirian perempuan dan pembuktian diri bahwa kaum wanita tidak selalu bergantung kepada orang lain. Bertambahnya sektor UMKM ini juga diharapkan mampu meningkatkan peran perempuan dalam ekonomi di Indonesia.