Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah melengkapi konstelasi pemerintahan di jajaran eksekutif dengan dilantiknya 38 pejabat setingkat Menteri ke dalam susunan yang diberi nama Kabinet Indonesia Maju, kemudian dilengkapi dengan pelantikan 12 Wakil Menteri. Beragam respons muncul, sebagian besar menganggap konstelasi yang terbentuk tidak begitu baik, sebab terdiri dari sebagian besar unsur partai, elit pengusaha, militer dan minim rekam jejak.
Di sisi lain, polarisasi dan inkonsistensi peta politik yang terjadi sejak Pemilihan Umum hingga pelantikan presiden juga punya pengaruh besar terhadap sentimen publik pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Dalam studi politik, maka menarik untuk membandingkan konstelasi eksekutif yang dibentuk melalui penyusunan pada dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo; Kabinet Kerja (2014 – 2019) dan Kabinet Indonesia Maju (2019 – 2024).
Tidak hanya untuk memetakan kalkulasi politik yang diambil, namun juga memproyeksi kualitas dan kinerja pemerintahan ke depan. Secara sederhana, analisis komparatif dapat dilakukan dalam aspek proporsi gender, latar belakang, partai politik, serta konstelasi nomenklatur yang dibentuk.
Berkurangnya Menteri Perempuan
Dalam aspek gender, terjadi penurunan representasi perempuan dalam struktur kabinet. Jika Kabinet Kerja memiliki 8 orang perempuan (20,5 persen) dan 31 laki-laki, dalam Kabinet Indonesia Maju hanya terdapat 5 orang perempuan (12,2 persen) yang menempati posisi menteri di antara 33 orang laki-laki. Kemudian hanya ada 1 orang wakil menteri perempuan di antara 11 wakil menteri laki-laki.
Hal ini patut disayangkan, sebab semangat penguatan keterwakilan perempuan yang dikuatkan pada pembentukan kabinet periode pertama Presiden Joko Widodo justru dilemahkan pada periode kedua. Kondisi ini juga kontradiktif jika dibandingkan tren keterwakilan perempuan dalam parlemen pada tiga periode terakhir.
Menurunnya afirmasi keterwakilan perempuan dalam kabinet patut dikhawatirkan, sebab penguatan representasi perempuan selama ini diharapkan menjadi peluang untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan berbasis gender dan kesetaraan. Proporsi gender yang semakin timpang berpotensi mengancam tidak terprioritaskannya kepentingan gender dalam mekanisme pemerintahan.
Dominasi Partai Politik dan Militer
Latar belakang figur-figur yang masuk dalam Kabinet Indonesia Maju juga menarik menjadi sorotan. Masuknya eks Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri menambah keragaman unsur/latar belakang dalam konstelasi kabinet, yang sebelumnya (dalam Kabinet Kerja) hanya terbentuk dari unsur profesional, partai, dan militer (Purnawirawan TNI).
Secara proporsi, terjadi dinamika penguatan dan penurunan pada masing-masing unsur. Proporsi figur yang berlatar belakang profesional menurun dari 53,8 persen di Kabinet Kerja, menjadi 42,1 persen pada Kabinet Indonesia Maju. Sebaliknya, terjadi peningkatan proporsi dari figur yang berlatar belakang partai dan militer.
Dalam Kabinet Kerja, unsur partai berproporsi 41 persen, sementara dalam Kabinet Indonesia Maju latar belakang partai berproporsi 47,4 persen. Sedangkan terkait unsur militer, 3 figur Purnawirawan TNI memperkuat proporsi sekitar 2,8 persen dibandingan unsur militer dalam Kabinet Kerja yang berjumlah 2 orang.
Situasi di atas juga memicu beragam interpretasi dan analisis. Meningkatnya figur berlatar belakang partai, mengentalkan nuansa politik transaksional antar koalisi partai pengusung. Sementara menguatnya representasi unsur militer memunculkan anggapan adanya penguatan militerisme dalam pemerintahan eksekutif. Hal ini berbeda dengan narasi yang dibangun dalam konstelasi Kabinet Kerja yang didominasi oleh figur berlatar belakang sipil, independen dan profesional.
Berubahnya Peta Partai Politik
Meski diwarnai oleh partai politik yang cenderung sama dan masih didominasi oleh PDI Perjuangan, konfigurasi partai politik yang terbentuk dalam konstelasi Kabinet Indonesia Maju memiliki perbandingan yang signifikan dibandingkan Kabinet Kerja. Keberadaan Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo merubah peta politik kabinet sebelumnya. Hal ini menarik secara politik, karena posisi Partai Gerindra sebagai partai pesaing dalam kontestasi Pemilihan Umum bermanuver secara ekstrim masuk ke dalam konstelasi eksekutif.
Proporsi masing-masing partai politik mengalami dinamika, ada yang menguat, ada pula yang menyusut. Warna partai politik juga sedikit berubah, karena Partai Hanura yang sebelumnya masuk dalam konstelasi, tidak muncul dalam Kabinet Indonesia Maju. Warna baru dibawa oleh representasi Perindo yang masuk jajaran wakil menteri.
Barisan Petahana
Dalam konstelasi kabinet periode kedua, Presiden Joko Widodo memposisikan 13 orang petahana (34,2 persen) di antara figur baru. Namun demikian, hanya 8 orang menteri yang ditempatkan pada nomenklatur yang sama. Sementara 5 orang lain mengisi nomenklatur yang berbeda dengan yang diemban dalam Kabinet Kerja.
Meninjau lebih jauh terkait konstelasi nomenklatur yang dibentuk dalam konstelasi Kabinet Indonesia Maju, terdapat dua nomenklatur baru yaitu; Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Jika dikomparasi, hanya terjadi efisiensi dengan menggabungkan nomenklatur ekonomi kreatif (yang sebelumnya berada pada Badan Ekonomi Kreatif) ke dalam nomenkatur Kementerian Pariwisata.
Secara naratif, beragam dinamika yang terjadi dalam konstelasi kabinet sebetulnya relevan jika dikaitkan dengan substansi pidato Presiden Joko Widodo saat pelantikannya yang menyatakan, “Jangan sampai kita terjebak rutinitas yang monoton”. Namun demikian, langkah-langkah di luar “monoton” yang dilakukan dalam pembentukan kabinet, agaknya patut dikritisi.
Konstelasi baru membentuk kerangka kemunduran dalam kualitas kabinet dalam berbagai aspek. Nuansa yang kental dengan politik transaksional dan kepentingan golongan patut dicermati. Karena inovasi yang baik dalam tata kelola pemerintahan harus tetap bertumpu pada kepentingan rakyat, bukan tersandera pada kepentingan-kepentingan partai politik dan militerisme.