Meletusnya peristiwa WTC 11 September 2001 (9/11) menyebabkan kehidupan komunitas muslim di United Kingdom (UK) ikut terkena dampaknya. Dengan berbagai macam kebijakan pemerintah, komunitas muslim di UK mendapatkan pengawasan ketat karena dianggap menyimpan sel-sel radikalisme yang memungkinkan suatu saat bisa melahirkan ledakan-ledakan yang sama. Peristiwa bom 7/7 di London mempertegas prasangka tersebut.
Timbulah kemudian berbagai prejudice mengenai tumbuh-kembangnya komunitas muslim di UK. Banyak yang beranggapan bahwa identitas muslim di UK tidak akan mampu berasimillasi dan hidup berdampingan dalam kohesi identitas yang cukup beragam di United Kingdom.
Berdasarkan sensus tahun 2011 oleh The Muslim Council of Britain (MCB), muslim di UK berjumlah 2.706.066. Jumlah ini mengalami kenaikan sebanyak 47.2 % sejak tahun 2001. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tersebut. Pertama ialah meningkatnya jumlah immigran dari berbagai negara muslim. Kedua, tingkat kelahiran penduduk muslim di UK jauh lebih tinggi dibandingkan angka kematian.
Namun demikian, tidaklah mudah untuk membedah anatomi komunitas muslim di atas dan menemukan di mana sel-sel radikalisme itu tumbuh. Briggs dan Birdwell (2009) dalam artikelnya yang berjudul The Radicalisation among Muslim in the UK, mencoba menelisiknya dengan memetakan beberapa organisasi Islam yang ada di UK. Mereka menegelompokkan organisasi muslim di UK menjadi tiga katagori utama: Non-political religious group, religious and political group, dan yang terakhir ialah non-religious political group.
Non-political Religious Group
Ada tiga kelompok yang masuk dalam kategori ini. Ketiga kelompok tersebut antara lain Tabligh Jamaat, Deobandism, dan Salafism. Disebut non-political religious group karena tiga kelompok ini tidak secara terbuka mengampanyekan misi politik mereka. Ray (2010) menyebutkan bahwa, ketiga kelompok tersebut lebih menekankan pada proliferasi dan purifikasi ajaran-ajaran dasar keislaman.
Meskpiun mereka dianggap tidak memilki misi politik, tidak berarti aktifitas mereka tidak memilki dampak politik. Pada kenyataannya, pandangaan keagamaan ketiga group ini tidak cukup moderat untuk bisa hidup berdampingan dengan masyarakat UK. Tablight Jama’at dikenal sebagai anti-western, isolationist, dan cukup ‘kaku’ dalam pendirian keagamaan mereka. Bahkan, beberapa anggota dari jamaahnya diduga terlibat dalam kegiatan terorisme. Deobandism juga diduga memiliki koneksi yang kuat dengan beberapa organisasi radikal seperti Taliban dan Al-Qaeda sebagaimana juga yang dituduhkan kepada kolompok Salafism.
Religious Political Group
Organisasi-organisasi muslim yang masuk kategori ini secara tegas mendeklarasikan misi politiknya. Ada beberapa organisasi semacam ini di UK. Namun, diantara yang cukup signifikan ialah Hizbut-tahrir (HT) dan Jamaati Islami (JI). Meskipun jumlah keanggotaanya lebih sedikit dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain, namun HT memiliki keanggotaan yang sangat militan.
Sejak tahun 1990 ia mulai aktif menyebarkan propaganda khususnya di kalangan mahasiswa. Sebagaimana yang telah diketahui, misi utama organisasi ini ialah membangkitkan lagi kesadaran khilafah Islamiyah. Namun, di dalam praktiknya, beberapa anggota HT juga terlibat aksi kekerasan hingga terorisme. Salah satunya terjadi pada tahun 2003 di Tel Aviv. Terduga peledak bom, Asaf Hanif dan Omar Sharif merupakan anggota HT. Organisasi ini telah resmi dilarang khususnya di lingkungan kampus oleh National Union of Student, namun mereka masih terus bergerak secara diam-diam.
Non-religious Political Group
Berbeda dengan dua kelompok sebelumnya, organisasi-organisasi ini bisa dikategorikan sebagai organisasi politik yang non-violent and non-religious movement meskipun beranggotakan muslim. Mereka tidak terlibat dalam gerakan-gerakan terror maupun tindakan-tindakan intolerant.
Organisasi-organisasi ini berdiri umumnya untuk mengatasi masalah-masalah domestik yang dialami oleh masyarakat muslim di UK, atau atas response terhadap isu-isu global. Sifatnya lebih banyak regional dibandingkan nasional. Di anatara organisasi-organisasi tersebut ialah: the Stop the War Coalition, Workers Power, Permanent Revolution (UK), Socialist Worker dan atau Globalise Resistance.
Dekulturasi Generasi Muda Muslim UK
Penjabaran kelompok-kelompok muslim diatas seolah memberikan gambaran besar bahwa memang ada sel-sel radikalisme yang menjalar di tubuh komunitas muslim di Inggris. Namun demikian, tentu kita tidak akan menelan mentah-mentah bahwa kelompok-kelompok diatas menjadi representasi wajah muslim di United Kingdom. Pada kenyataannya, memahami muslim di UK lebih complicated dari sekedar mengkotak-kotak mereka dalam sebuah kelompok.
Daniel Nilsson DeHanna dalam bukunya London Youth, Religion, and Politics (2016) juga memberikan gambaran betapa tidak mudahnya ‘memetakan’ muslim di UK. Menurut Nilsson, generasi muda muslim hari ini (generasi ke 2 atau ke 3) sangat berbeda dengan muslim generasi pertama.
Mereka cenderung mengalami apa yang ia sebut dengan Deculturation; bahwa generasi muda muslim di UK mencoba me-redifinisi identitas mereka sebagai muslim yang tinggal di Britain. Mereka mencoba melepas doktrin agama –yang tak jarang bercampur dengan budaya- yang dibawa oleh orang tua mereka, kemudian mencari pemahaman yang lebih kontekstual dengan kehidupan mereka di Britain. DeHanna menyebut fenomena ini sebagai Elastic Orthodoxy.
Secara fundament ia tetap mencari pegangan terhadap ajaran Islam (orthodoxy), namun ia mencoba menyesuaikan diri sebagai masyarakat Britain dengan segala aturannya (Elastics). Mungkin ini merupakan jalan tengah atas persoalan Integrasi dan atau kohesi sosial yang selama ini terjadi antara Muslim dan pemerintah Britain.
Jika kita tarik esensinya, Elastic Orthodoxy yang dimaksud oleh DeHanna mungkin sejalan dengan Islam Washatiyah yang digalakkan oleh Nahdhatul Ulama (NU), atau Muhammadiyah di Indonesia yang cenderung moderat. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, hubungan antara agama dan negara sudah selesai. Kita patut bangga menjadi negara muslim terbesar dunia yang berhasil menjalankan sistem demokrasi dengan baik.
Semua itu terjadi karena peran besar organisasi-organisasi Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Seperti halnya di Inggris, Elastic Orthodoxy yang terjadi di kalangan pemuda muslim didukung oleh beberapa organisasi yang terbilang moderat seperti East London Mosque, dan Darul Ummah. Semakin banyak organisasi-organisasi semeacam ini muncul, maka image muslim radikal di UK lambat laun akan terkikis.
Sebentar lagi masjid Islam Indoneisa di London akan segera diresmikan. Saya berharap masjid ini kelak menjadi pusat umat Islam di London bukan hanya untuk warga Indonesia, namun juga untuk warga Britania Raya. Semoga masjid ini menjadi corong dakwah untuk menyampaikan gagasan Islam moderat yang kelak bisa mengubah wajah Islam di United Kingdom menjadi lebih baik.