Sabtu, April 27, 2024

Komcad, Pengabaian Sejarah Kelam Militer Terhadap Perempuan

Fauzan Dewanda
Fauzan Dewanda
Mahasiswa Kriminologi UI 2019

Dalam upaya meningkatkan peran masyarakat sipil dalam membela negara dan rasa cinta tanah air, beberapa waktu lalu Kementrian pertahanan menggagas pembentukan komponen cadangan (Komcad). Ide mengenai pembentukan Komcad sendiri tidak terlepas dari ancaman potensial terhadap keamanan nasional mulai dari terorisme hingga Covid 19.

Rencana pembentukan Komcad sendiri telah resmi setelah presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2021 tentang pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara. Agenda pembukaan Komcad sendiri direncanakan dimulai sejak tanggal 21 Juni 2021 dengan menargetkan 2.500 orang.

Ide pembentukan Komcad di sisi lain mendapatkan kritik dari beberapa LSM seperti Imparsial, Kontras, LBH Pers, SETARA Institute, ELSAM, HRWG. Menurut direktur Imparsial, Komcad berpotensi menimbulkan konflik horizontal antar masyarakat sipil dan dilaksanakan tanpa menggunakan hukum humaniter internasional. Hal ini menandakan Komcad nantinya akan menjadi kelompok vigilante untuk menyerang sesama rakyat sipil yang dianggap mengancam keamanan negara/pro-government militias.

Sejarah Kelam pro-government militias 

Keberadaan kelompok pro government militias seperti Komcad yang baru-baru ini dibentuk bukan hal baru di Indonesia. Di masa orde baru penerapan dwifungsi Abri mengakibatkan militer termasuk pro-government militias yang kala itu ditugaskan dalam mengawasi stabilitas rezim dari kelompok oposisi. Tidak jarang militer maupun pro government militias melakukan berbagai tindak kekerasan  terhadap masyarakat sipil termasuk kelompok perempuan.

Selama konflik, perempuan telah menjadi kelompok rentan. Dalam sejarah konflik internal yang pernah melanda Indonesia menunjukan kelompok-kelompok milisi bertanggung jawab atas serangkaian kekerasan seksual terhadap perempuan. Misalnya dalam Laporan Akhir Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor Timur para penyintas kekerasan seksual menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh milisi, seperti pemerkosaan beramai-ramai, penculikan dan perbudakan seksual.

Sekelompok ibu-ibu yang diduga simpatisan pro-kemerdekaan Timor-timur sering menjadi korban pemerkosaan oleh militer dan anggota milisi. Kejadian ini dialami oleh seorang aktivis pro-kemerdekaan dari Desa Lauala. Ia  dibawa ke pos Darah Integrasi dan kemudian diletakan di sebuah rumah kemudian diduga diperkosa oleh seorang komandan milisi Naga Merah.

Urgensi reformasi sektor keamanan bagi perempuan

Pembentukan Komcad oleh pemerintah merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai reformasi. Agenda reformasi di sektor keamanan (Security Sector Reform/SSR) sendiri telah dicanangkan sejak tahun 2001 menegaskan perlunya redefinisi hubungan antara sipil dan militer di Indonesia. Reformasi sektor keamanan lahir sebagai sebuah respon terhadap struktur masyarakat yang memiliki aparat keamanan (security forces) yang sangat otonom dan tidak transparan akibat penerapan dwifungsi ABRI.

Dwifungsi ABRI dilandaskan pada ‘Sistem Pertahanan Rakyat Semesta’ yang menekankan ‘mobilisasi massa untuk membela negara dari ancaman eksternal dan internal’. Pembentukan Komcad sendiri tidak terlepas dari doktrin militer yang sampai sekarang dianut oleh Indonesia “Pertahanan rakyat semesta.” Konsep “pertahanan rakyat semesta” mengakibatkan tiap warga negara berkewajiban dan berhak untuk ikut serta menjadi sumber komponen pertahanan negara.

Dalam laporan Komnas Perempuan Prinsip “pertahanan rakyat semesta” telah memberikan pembenaran dalam melakukan eksploitasi seksual. Perempuan seringkali digunakan sebagai umpan atau alat untuk mengintimidasi/memancing para suami keluar dari persembunyian. Ketika istri dianggap memiliki suami yang bergabung dengan kelompok separatis atau teroris, mereka mendapatkan berbagai bentuk pelecehan, penelanjangan paksa. Strategi pelecehan terhadap perempuan yang dianggap memiliki hubungan dekat dengan musuh negara dianggap efektif dalam memberikan tekanan.

Bertahannya penerapan prinsip pertahanan rakyat semesta hingga masa reformasi berimplikasi pada intervensi yang berlebihan dari militer ketika situasi konflik. Dalam kasus konflik Poso dan Ambon menunjukan kesamaan bahwa, kebijakan penempatan pos keamanan di tengah-tengah masyarakat yang tadinya bertujuan untuk mengantisipasi kerusuhan antar masyarakat di Poso justru mengarah pada praktik kekerasan seksual yang dilakukan oleh militer maupun pro-government militias.

Hadirnya aparat keamanan (baik militer atau pro government militias) dan penetapan status darurat di wilayah Ambon dan Poso, justru menimbulkan praktik eksploitasi seksual terhadap perempuan pengungsi. Laporan Komnas perempuan juga menunjukan warga sipil kala itu memiliki pengharapan yang besar atas kehadiran aparat keamanan di tempat tinggalnya. Kehadiran aparat keamanan juga awalnya disambut baik terutama bagi perempuan karena terdapat kebanggaan tersendiri ketika mereka memiliki pasangan (pacar) dari kalangan tentara.

Berbagai bukti yang menunjukan kerentanan perempuan dalam hubungannya dengan militer dan situasi konflik menandakan urgensinya implementasi reformasi sektor keamanan. Reformasi sektor keamanan harus berlandaskan pada UU no.7 tahun 1984 mengenai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Alih-alih membentuk Komcad yang nantinya berpotensi mengulang pengalaman buruk dari pro-government militias pemerintah seharusnya konsisten dalam melakukan reformasi sektor keamanan dengan menanamkan perspektif gender.

Fauzan Dewanda
Fauzan Dewanda
Mahasiswa Kriminologi UI 2019
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.