Jika Anda terlahirkan sebagai seorang perempuan maka Anda harus bersiap menerima kenyataan sebagai warga kelas dua yang ditakdirkan berada dibawah dominasi maskulinitas laki-laki. Dan ini tak hanya ditekankan oleh norma-norma sosial masyarakat kita yang menyedihkan melainkan juga oleh keadaan biologis dan dogmatis.
Perempuan dibandingkan lelaki menjadi yang paling lekat dengan stigmatisasi negatif. Perempuan acap kali dipandang sebagai mahkluk yang lemah dan senantiasa bergantung pada kekuatan fisik kaum lelaki. Kiprahnya dibatasi pada norma-norma tradisional yang mengkhususkan dan memainkan wanita hanya dalam perannya yang berkisar pada beranak dan mengurus rumah tangga sementara peran-peran lain yang menuntut tenaga maupun kecakapan lebih sebagian besar akan dijatuhkan pada kaum laki-laki sebagai pilihan utama sebab dianggap memiliki kecerdasan, dan kemampuan yang lebih di atas kaum perempuan.
Sejarah-sejarah masa lampau turut memainkan peran yang mendeskriditkan perempuan dan menjadikannya seolah layak sebagai kaum kelas dua. Ia dipandang hanya berdasarkan ciri fisik, kecantikan maupun kemolekan tubuh yang menjadi bahan seduktif guna menarik kaum laki-laki.
Perempuan telah lama dianggap sebagai kelemahan terbesar bagi kekuatan kaum lelaki. Maskulinitas yang berjaya atas feminitas namun disaat bersamaan tunduk atas sensualitas yang dihadirkan para perempuan.
Kecantikan sebagai ciri perempuan acap kali dijadikan sumber masalah atas konflik-konflik yang memicu perang maskulinitas antar kaum laki-laki.
Helen, Drupadi, Cleopatra, Ken Dedes adalah sederet perempuan yang menjadi korban atas ketidakadilan penggambaran kaum perempuan. Kecantikan mereka dipercaya sebagai kutukan sekaligus malapetaka yang menciptakan perang besar yang bahkan tak memberi mereka porsi lebih selain tokoh korban yang patut dipersalahkan atas kelangsungan konflik berdarah diantara dominasi kasar dunia para laki-laki.
Sementara para lelaki disorot atas pencapaian mereka yang luar biasa dalam perang yang berhasil membunuh ratusan nyawa, perempuan tak ubahnya sebagai penghias belaka. Tak diberi peran berarti selain ditekankan pada ciri fisik, alih-alih kecerdasan maupun keberanian. Dan konteks demikian terus dilanggengkan bahkan pada era modernisasi.
Perempuan dengan wajah dan tubuhnya masih menjadi daya tarik seksualitas yang begitu magis dan dengan mudah menyihir mata siapa saja, hingga tanpa sadar perempuan dan tubuhnya menjadi salah satu komoditas ‘dagang’ paling laku, paling dicari, paling diminati terutama dalam pasar kapitalis.
Namun anehnya sekalipun perempuan turut memberi sumbangsih diri dalam perjalanan dunia bisnis dan ekonomi, kenyataannya perempuan tak diberi peran lebih selain sebagai manekin yang tugasnya hanya berkutat untuk dipamerkan belaka.
Eksploitasi berlebih atas tubuh perempuan tak pernah dianggap sebagai sebuah persoalan nyata yang patut dikhawatirkan. Semua tak lain sebab pengaruh-pengaruh besar yang melingkupinya. Perempuan dalam perannya dilabeli hanya sekedar menjadi bahan komoditas yang memanjakan mata demi menghasilkan uang.
Iming-iming atas kekayaan, kepopuleran, dan kesuksesan memainkan peran aktif yang berhasil menutup fakta bahwa kaum perempuan menjadi objek yang diperdagangkan secara lumrah untuk menarik perhatian kaum lelaki juga menciptakan pasar yang menjadikan kaum perempuan lain sebagai subjek yang diharapkan membawa keuntungan materil tanpa peduli bahwa objek yang ditawarkan lebih menyerupai utopia yang menjadi racun bagi kaum perempuan lainnya.
Pasar yang berorientasi pada keuntungan dengan memperjual belikan kecantikan dan kemolekan tubuh perempuan tanpa sadar menciptakan standar untuk perempuan lainnya. Perempuan-perempuan yang dianggap tak berada pada standar yang sama dianggap tak mewakili perempuan yang layak dianggap cantik dan menawan.
Tubuh yang ramping, kulit yang putih, wajah yang cantik seolah dianggap representasi atas pelabelan dan pengakuan kecantikan bagi seorang perempuan. Sehingga perempuan-perempuan yang berada diluar daripada kriteria-kriteria tersebut tanpa sadar diposisikan sebagai korban yang dirangsang menjadi konsumen yang konsumtif untuk mengejar standar kecantikan yang semu, tak lain untuk memperkaya dan memperkuat cengkraman pasar atas fisik kaum perempuan yang hanya dipergunakan tak ubahnya sebagai sebuah bahan segar dengan masa kadaluarsa tertentu.
Apa yang menyedihkan dari segala fakta ini tak lain kenyataan bahwa kaum perempuan tak pernah menganggap serius atau bahkan tak pernah merasa menjadi korban maupun budak atas eksploitasi tubuh yang dilakukan demi tujuan ekonomis. Sebab apa yang diyakini hampir sebagian besar kalangan adalah eksploitasi tersebut tak lain sebagai sebuah bentuk penghormatan atas ekspresi diri perempuan dengan hadiah berupa eksklusivitas yang membuatnya berada di atas perempuan lainnya.
Kepercayaan ini kemudian makin mempermudah praktek yang sama terus berlangsung dalam waktu lama. Menjadikan perusahaan-perusahaan tak henti-hentinya mencari perempuan-perempuan lainnya untuk digunakan sebagai produk eksploitasi baru serta menyingkirkan perempuan yang dianggap tak lagi mewakili representasi atas nilai-nilai kecantikan yang sudah lebih dulu diciptakan pasar. Muda, segar, cantik, dan menawan.
Keengganan pengakuan atas adanya eksploitasi atas tubuh para perempuan pada akhirnya membuat perempuan dikenal hanya karena ia harus menjadi sosok yang cantik. Lebih daripada itu ia tak banyak diberi pengakuan maupun ruang berekspresi secara nyata, karena pada akhirnya semua orang hanya dibentuk oleh kemauan pasar atas kecantikan yang konon harus ada pada para perempuan.
Stigmatisasi negatif yang melekat pada diri perempuan atas peran maupun keahliannya terus berlanjut. Sementara kampanye-kampanye penyetaraan atas hak-hak perempuan tak pernah memberi hasil lebih. Tak ada terobosan baru sebab ada tembok besar yang diciptakan oleh serangkaian hukum-hukum yang tanpa sadar mengebiri kebebasan kaum perempuan sebenarnya dan pada akhirnya terus menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua.