Rabu, April 24, 2024

KKB di Papua Suarakan Referendum

Adit Cahaya
Adit Cahaya
Mahasiswa ( 17 tahun) Semester 2 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Hukum Tata Negara

KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) merupakan kelompok separatis yang berdiri untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketidakpuasan mereka terhadap perlakuan pemerintah pusat mendorong mereka untuk pergi. Maka dari itu, semakin hari perlakuan KKB semakin ganas. Mereka tidak hanya menyerang aparat keamanan seperti TNI dan Polri, tetapi masyarakat umum, tenaga medis turut menjadi imbasnya. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk membakar fasilitas seperti gedung sekolah.

Baru ini terjadi bahwa KKB telah menyerang karyawan PT Palapa Timur Telematika yang tengah mengerjakan tower di distrik Mulia, Puncak Jaya, Papua. Sebanyak 15 anggota KKB datang ke tenda pekerja dengan membawa senjata tajam dan senjata api. Mereka melakukan penyerangan dengan delapan pekerja tewas dan satu pekerja yang berhasil selamat. Penyerangan ini terjadi pada Rabu (02/03) siang hari pukul 13.00 WIT.

Kelompok KKB ini menolak instruksi yang diberikan oleh pemerintah untuk menyerah. Bahkan, kelompok tersebut menyuarakan referendum guna menanyakan langsung kepada masyarakat mengenai setuju atau tidaknya dengan keinginan MPR yang mengubah UUD 1945. Karena dengan adanya referendum maka hal tersebut dapat menentukan masa depan Papua.

KKB Papua didirikan guna mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang pada saat ini berada dibawah yurisdiksi pemerintahan Indonesia. Selama beberapa dekade, ada beberapa kelompok dari kedua provinsi tersebut ingin memisahkan diri. Kelompok KKB percaya bahwa penyatuan wilayah Papua ke dalam NKRI merupakan hasil kesepakatan antara rakyat Indonesia dan Belanda. Di mana, Belanda menyerahkan wilayah jajahannya kemudian disepakati melalui perjanjian New York yang isinya mengenai penyerahan Papua Barat. Kesepakatan itu diberikan Belanda melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) kepada rakyat Indonesia.

Presiden Soekarno mengeluarkan perintah Tiga Komando (TRIKORA) pada tahun 1961 untuk membebaskan Papua dan menjadikannya bagian dari Indonesia. Sayangnya, perintah Soekarno tersebut tidak disambut dengan baik oleh masyarakat Papua. Menghadapi tersebut maka berdiri Korps Sukarela Papua (KSP) sebuah unit bersenjata untuk mempertahankan Papua dari TNI. Sementara KSP menentang TNI, pemerintah Indonesia dan Belanda terus berunding. Papua pada akhirnya diserahkan kepada pemerintah Indonesia tahun 1962 melalui perjanjian New York tanpa persetujuan mayoritas orang Papua.

Sejak tahun 1962, mereka dipaksa untuk bergabung dan menjadi bagian dari Indonesia hingga sekarang. Masih ada beberapa kelompok orang Papua yang menginginkan kemerdekaan dan terus berkonflik dengan pemerintah. Menurut penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akar masalah konflik yang terjadi adalah ekonomi.

Otto Ondawame sebagai seorang akademisi dan aktivis gerakan Papua Barat, mengakui bahwa pemerintah Indonesia telah melanggar hak ekonomi. Hal tersebut terlihat eksploitasi sumber daya alam hanya menguntungkan segelintir orang dan meninggalkan pemilik aslinya. Maka dari itu, tidak heran jika kelompok KKB ingin menyuarakan referendum agar Papua bisa lepas dari Indonesia.

KKB di Papua bukan satu-satunya yang menunjukan ketidakpuasan terhadap pemerintah Indonesia. Tetapi, di Aceh mempunyai kelompok bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka bersembunyi di hutan dengan peralatan tempur dengan sederhana. Mereka juga menyuarakan referendum agar mendapatkan kebebasan untuk Aceh.

Sejumlah alasan mengapa Papua tidak bisa menggelar referendum dikarenakan adanya Uti Possidetis Juris atau asas hukum internasional. Di mana di dalamnya mengandung prinsip yang isinya, “batas wilayah suatu negara yang berdaulat setelah penjajahan mengikuti batas wilayah koloni dan negara penjajahnya”. Prinsip ini juga sudah menjadi dasar argumen sejak para founding fathers mempersiapkan kemerdekaan. Papua yang pernah menjadi wilayah jajahan Belanda (dan menjadi wilayah Hindia-Belanda), maka dari itu sudah sepantasnya Papua menjadi bagian dari Indonesia saat memproklamasikan kemerdekaan.

Tahun 1949 pada saat Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), mereka menunda penyerahan Papua Barat dikarenakan perbedaan etnis. Belanda mempercayai bahwa Papua harus dipisahkan sebagai negara merdeka, bukan menjadi bagian dari NKRI.

Sementara itu, Indonesia memiliki pendapat bahwa Papua menjadi bagian wilayah Hindia-Belanda. Perbedaan pendapat tersebut berujung pada KMB yang berakhir tanpa adanya keputusan mengenai Papua. Kemudian, hal tersebut dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menangani Rancangan Undang-Undang (RUU). Hal tersebut mengakibatkan Papua Barat bergabung dengan NKRI melalui musyawarah.

Memasuki era Presiden Joko Widodo, hal tersebut ditekan pada pembenahan infrastruktur yang ada di pelosok Papua agar akses menuju jalan daerah tersebut mudah dilalui. Tetapi, hal tersebut dikatakan sebagai publisitas semata, kemudian hal itu menjadi suatu kegagalan dalam memenangkan hati para anggota KKB. Kesenjangan kepentingan masyarakat Papua membuat pendekatan ini sulit digunakan sebagai sebuah solusi untuk mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik.

Bahkan untuk menuju sepemahaman ini akan membutuhkan sebuah proses yang cukup panjang agar konflik dapat selesai. Saat ini KKB di Papua memiliki seorang pemimpin salah satunya bernama Egianus Kogoya. Ia merupakan anak dari seorang remaja yang merupakan mantan tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM). “Dia tampak seperti orang terpelajar”, tutur Victor Mambor seorang jurnalis Papua yang berhasil mewawancarai Kogoya. Adanya Egianus Kogoya membuat Papua menjadi damai dan banyak anggota KKB lainnya gabung bersama NKRI.

Saya secara pribadi berharap bahwa konflik yang ada di Papua ini, bisa diselesaikan melalui mediasi antara kedua belah pihak dan bisa menciptakan papua damai, lalu alangkah lebih baiknya pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat Papua dan anggota KKB. Dengan begitu masyarakat dapat percaya dengan pemerintah dan juga tidak adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Setelah itu akan menjadikan Papua sebagai wilayah yang maju, sejahtera, dan aman. Selain itu juga, lebih baik melakukan perundingan antara keduanya hingga dapat memajukan ekonomi kedua belah pihak.

Adit Cahaya
Adit Cahaya
Mahasiswa ( 17 tahun) Semester 2 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Hukum Tata Negara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.