Sabtu, Oktober 12, 2024

Kita Sudah Seharusnya Smart Goverment

Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq
Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat politik hukum

Dalam sejarah Peradaban Manusia, Alvin Toffler membagi tiga gelombang peradaban manusia. Pertama, masyarakat agraris. Kedua, masyarakat industri. Ketiga, masyarakat informasi. Dan gelombang ke tiga ini masih terus berlanjut hingga sekarang.

Sekarang dunia sedang menjalani gelombang ketiga ini. Berbagai inovasi teknologi informasi dibuat demi memudahkan aktivitas masyarakat. Salah satunya pemerintahan.

Sekarang dunia sedang dilanda pandemi virus corona atau Covid-19. Seluruh pola hidup manusia berubah seketika dituntut untuk lebih mengutamakan kesehatan. Tidak hanya manusianya, bahkan pemerintahan juga ditantang untuk tetap konsisten melayani di tengah pandemi.

Tanpa kita sadari, pemerintah indonesia sedang berada pada fase tantangan itu. Inovasi teknologi informasi sangat dibutuhkan demi mencapai pelayanan publik yang maksimal. Inovasi itu bernama smart goverment. Sebenarnya inovasi ini sudah lama digaung-gaungkan. Banyak artikel mengulas tentang inovasi ini. Tapi pada prakteknya, konsistensi masih berjalan landai. Banyak kendala yang harus dihadapi, salah satu masalahnya adalah pemerataan jaringan internet.

Term smart perlahan – lahan diperaktekkan di lingkungan pemerintah. Basis informasi digital sedang dalam proses dominasi. Melihat jauh sebelum pandemi, segala bentuk kegiatan berkumpul selalu dilakukan dengan tatap muka, rapat misalnya. Saat covid-19 meledak hingga ke Indonesia. Istilah smart mulai dilakukan.

Kini era new normal telah berhasil memaksa pemerintah berfikir lebih inovatif bagaimana memanfaatkan teknologi tanpa mengurangi efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.

Penerapan protokol kesehatan telah memperbaharui tatanan pengelolaan birokrasi. Demi maksimalnya pelayanan publik, saat ini informasi berbasis digital cukup massif  untuk urusan pemerintahan.

Dari basis virtual ini, beberapa layanan digital menjadi sarana paling utama untuk menyambungkan ratusan pengguna internet. Gaya pelayanan birokrasi ini mampu memberikan efisiensi dan efektivitas sebuah informasi. Jika e-goverment jauh sebelumnya sudah dilakukan, begitu juga e-kios, pengurusan perizinan berbasis digital, maka saat ini cakupannya makin meluas.

Kita bisa melakukan rapat atau mengikuti diskusi melalui virtual. Dalam keadaan tertentu, bagi seseorang yang tidak punya kesempatan keluar daerah, basis virtual sangat membantu.

Pada saat PSBB atau pembatasan sosial berskala besar, virtual sangat menentukan langkah strategis pemerintah dalam memaksimalkan pelayanan publik. Seperti diskusi dengan topik kebijakan, cukup membuka link atau aplikasi, langsung terhubung ke seluruh pengguna di seluruh Indonesia.

Kita memasuki era news normal. Ada harapan gaya layanan ini tidak turun kasta ke gaya tradisional. Perlu ada habituasi birokrasi baru yang mengedepankan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanannya. Paling tidak, ada efisiensi penggunaan anggaran.

Mengingat agenda konvensional bisa dialihkan secara virtual. Mekanisme kerja ini cukup membantu mengurangi beban biaya. Misalnya perjalanan dinas dan kegiatan tatap muka. Dengan begitu alokasi anggaran ini bisa dialihkan untuk sektor yang lebih produktif.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah fleksibilitas kerja pemerintahan. Pejabat daerah tidak perlu lagi membuang waktu pulang pergi dari Ibu Kota hanya untuk pertemuan beberapa jam saja. Kecuali untuk urusan lobi, tentu harus tatap muka.

Kemudian, digitalisasi pelayanan publik mampu menumbuhkan inovasi dan kreatifitas bisnis. Para inovator menggagas layanan digital untuk membantu program pemerintah, sebagai gambaran program penunjang daya beli produk tani. Para petani tidak lagi susah payah berdagang di pasar. Memanfaatkan layanan digital, porsi kerja sedikit berkurang.

Inovasi lainnya, para pihak ketiga bisa diberdayakan untuk membuat satu sarana digital demi menunjang program kerja. Pada sektor wisata, pelibatan influencer cukup membantu mempromosikan segala potensi wisata. Selain itu, layanan aplikasi juga bisa membantu wisatawan menelusuri informasi tentang apa yang menarik di satu daerah.

Efektifitasdigitalisasi pelayanan juga berlaku untui memutus jalur birokrasi yang panjang dan rumit. Pada akhirnya, akan terbentuk segmen mana yang harus membutuhkan tatap muka dan cukup melalui online.

Sebenarnya Indonesia sudah cukup kuat untuk menerapkan inovasi ini. Hasil riset platform manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk “Global Digital Reports 2020”, hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet.

Riset itu menyebutkan jumlah penguna internet di Indonesia sudah mencapai 175,4 juta orang dari total jumlah penduduk Indonesia sekitar 272,1 juta. Bila dibanding tahun 2019 lalu, jumlahnya meningkat sekitar 17 persen atau 25 juta pengguna.

Masih dari riset yang sama, jumlah pengguna media sosial mencapai 160 juta. Ternyata ada peningkatan 8,1 persen atau 12 juta pengguna dibandingkan tahun 2019 lalu. Itu artinya penetrasi penggunaannya sudah mencapai 59 persen dari total jumlah penduduk.

Sedangkan untuk rata-rata penggunaan media sosial di Indonesia mencapai 3 jam 26 menit per hari. Angka itu juga di atas rata-rata global yang mencatat waktu 2 jam 24 menit per hari.

Uniknya, rata-rata penduduk Indonesia memilik sekitar 10 akun media sosial per orang, baik aktif maupun tidak aktif menggunakannya. Sementara 65 persen pengguna media sosial di Indonesia memanfaatkan platform tersebut untuk bekerja.

Jumlah pengguna internet Indonesia menurut riset ini memang sudah mencapai 175,4 juta pengguna. Namun faktanya, pengguna internet mobile jauh lebih banyak hampir 2 kali lipat. Saat ini, masyarakat Indonesia tercatat sebagai negara yang menggunakan koneksi internet di perangkat mobile, seperti smartphone atau tablet, mencapai 338,2 juta pengguna.

Setelah diteliti, ternyata angkanya naik 15 juta pengguna atau 4,6 persen ketimbang tahun 2019 lalu. Kalau dibandingkan dengan jumlah total penduduk Indonesia, angkanya mencapai 124 persen. Itu artinya banyak pengguna internet di Indonesia memiliki lebih dari satu perangkat mobile.

Di Indonesia, rata-rata kecepatan internet di Indonesia pada 2019 adalah 13,8 Mbps untuk mobile. Sementara rata-rata global mencapai 32,0 Mbps. Indonesia berada di peringkat 45 dari 46 negara yang diriset. Kemudian, kecepatan internet broadband Indonesia mencatat rata-rata 20,1 Mbps, sementara rata-rata global 73,6 Mbps dan berada di peringkat 43 dari 46 negara.

Setelah menyelami data itu, harus diakui Indonesia sudah siap menerapkan smart goverment sebagai pendukung terwujudnya inovasi smart city. Hanya saja, pertanyaannya apakah jaringan internet sudah meluas hingga ke daerah plosok? Angka 64 persen terhitung standar sebagai bangsa yang akan menuju smart city.

Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq
Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat politik hukum
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.