Rabu, April 24, 2024

Kita Perlu Belajar dari Tragedi Bom Atom Hiroshima (Bagian 1)

Almer Sidqi
Almer Sidqi
Wartawan

John Hersey, seorang jurnalis asal Amerika Serikat, dikenal sebagai salah satu jurnalis yang turut membidani lahirnya jurnalisme sastrawi. Pada tahun 1946, tepat setelah Perang Dunia II berakhir, ia berangkat ke Jepang untuk melakukan reportase atas tragedi kemanusiaan paling tragis saat itu: bom atom. Setelah terbit di The New Yorker, hasil reportasenya kemudian dirilis dalam bentuk buku berjudul: Hiroshima.

Ada sebuah ironi yang diceritakan Hersey: seorang pendeta bernama Kiyoshi Tanimoto bersama seorang kawannya, Matsuo, tengah melakukan perjalanan mengangkut barang-barang yang dibawa dengan gerobak menuju sebuah distrik pemukiman bernama Koi, yang berjarak 3 km dari pusat kota. Itu adalah misi agar mereka bisa menjauh dari pusat keramaian.

Desas-desus beredar selama berminggu-minggu sebelumnya, bahwa Amerika telah siap menjatuhkan serangkaian bom ke kota tersebut. Sirene peringatan selalu berbunyi, tetapi bom tidak pernah benar-benar datang.

Tanimoto menunggu kedatangan pesawat tersebut—rakyat Jepang menyebutnya B-san alias Tuan B, merujuk Pesawat B-29—dengan sangat cemas. Ia sudah mendengar laporan rinci mengenai serangan besar-besaran terhadap kota Kure, Iwakuni, Tokuyama, dan kota-kota lain di sekitarnya, dan Tanimoto yakin giliran Hiroshima akan segera tiba.

Pada 6 Agustus 1945, beberapa menit setelah kedua orang itu berangkat, sirene peringatan kembali berbunyi; tanda bahwa ada sejumlah pesawat yang mendekati Hiroshima. Namun, karena sudah terbiasa dan hal tersebut sering terjadi setiap pagi, baik Tanimoto dan Matsuo, tidak merasa sirene tersebut merupakan peringatan datangnya bahaya; sama seperti hari-hari sebelumnya, ketika pesawat cuaca Amerika hanya terbang melintas.

Operator radar Jepang, tulis Hersey, memang mendeteksi adanya tiga pesawat Amerika yang mondar-mandir. Namun, mereka beranggapan kalau pesawat tersebut hanyalah pesawat pengintai dan bukan pengebom.

Kedua orang itu mulai memasuki daerah lembah dengan jalur mendaki, semakin menjauh dari pemukiman padat, sebelum akhirnya mencapai tempat tujuan. Mereka sedang beristirahat di beranda rumah ketika melihat kilatan cahaya di langit yang membuat mereka lari ketakutan.

Dan, benar saja: hari itu bom atom telah dijatuhkan; merenggut nyawa ratusan ribu orang dalam sekejap—dalam laporan Hersey: setelah evakuasi, penduduk Kota Hiroshima berkurang hingga 245.000 jiwa—dan Jepang menyerah dalam peperangan.

Tanimoto merupakan salah satu korban yang selamat dari bencana itu. Setelah ia melihat kilatan cahaya, ia langsung bergegas menuruti instingnya untuk menjatuhkan diri di antara dua buah batu besar yang berada di sebuah taman batu tepat di depan rumah. Setelah dirasa aman, Tanimoto mengangkat kepalanya, dan sangat terkejut mendapati fakta bahwa bom telah meluluhlantakkan seluruh kota.

Ironinya: kedua orang tersebut, dan mungkin kebanyakan warga Hiroshima pada waktu itu, tahu bahwa bom bisa datang kapan saja dan menghancurkan kota. Mereka mendengar sirene peringatan setiap hari, dan menanti kedatangan bencana itu dengan sikap waswas. Namun, setelah bom datang dan benar-benar menghancurkan kota, mereka mendapati diri mereka sendiri berada dalam keadaan terkejut dan terguncang secara traumatik hingga tahun-tahun kehidupan mereka mendatang.

Bukankah hal yang sama terjadi pada kita hari ini? Bermula dari Wuhan, pandemi virus corona kemudian menyebar ke seluruh dunia, para ahli kesehatan berkali-kali memberi peringatan tentang kedatangan bencana ini, dan ketika virus tersebut telah benar-benar datang, kita justru merasa terkejut, seolah-olah kenyataan seharusnya tidak seperti itu.

Kita seperti sedang menyimpulkan sebuah pernyataan paradoks: bahwa peringatan bukanlah bagian dari kenyataan sehingga kita tidak perlu khawatir terhadapnya.

Dengan cara yang sama, hal itu juga menimpa para penyelenggara negara; presiden dan jajaran kabinetnya. Di awal tahun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mewanti-wanti agar Indonesia segera bersiap dan memperketat lalu lintas orang dari luar negeri. Untuk itu langkah-langkah pencegahan awal sudah semestinya dijalankan dan terus dievaluasi.

Akan tetapi ketika pandemi COVID-19 telah betul-betul masuk ke Indonesia, yang mengalami ketidaksiapan karena memprioritaskan hal yang keliru, rasa kaget itu muncul, sama persis seperti saat Tanimoto melihat kilatan cahaya di langit.

Setelah kasus infeksi pertama pada 2 Maret, butuh waktu 14 hari bagi negara untuk menetapkan regulasi dalam merespons pandemi, yakni kebijakan bekerja di rumah pada 15 Maret. Selanjutnya, pada 10 April, setelah 40 hari sejak kasus pertama, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) baru ditetapkan.

Seharusnya kita bertanya: Bukankah pengambilan keputusan yang begitu lama dalam mitigasi penyebaran virus menunjukkan ketidaksiapan? Dan, bukankah ketidaksiapan negara dalam mengatasi pandemi menunjukkan bahwa mereka betul-betul terkejut atas apa yang terjadi?

Ini sama halnya seperti para penganut agama yang memercayai hari kiamat, dan tetap terkejut ketika benar-benar berhadapan dengan hari kiamat itu sendiri. Rasa terkejut itu mungkin muncul ketika mereka menyadari bahwa sepanjang hidupnya tidak ada persiapan untuk menghadapi hari kiamat, dan, karena mereka telah mengisi hari-hari dengan berbagai aktivitas dan pikiran yang menimbun dosa, neraka telah menanti mereka.

Sehingga, kita tidak perlu heran jika kebijakan “new normal” yang baru diterapkan merupakan pengambilan keputusan yang didasari ketidaksiapan atas keterkejutan itu sendiri. Lebih jauh lagi, kebijakan itu lahir akibat kekagetan atas fakta bahwa kebijakan yang coba ditempuh sebelumnya gagal.

Dan, pada tahap yang jauh lebih mendasar: kebijakan kenormalan baru adalah konsekuensi logis dari peringatan yang diabaikan. Dengan kata lain, negara menganggap peringatan atas pandemi, dan pada gilirannya, adalah pandemi itu sendiri, bukanlah realitas yang sesungguhnya.

Kemudian kita boleh mengajukan pertanyaan untuk sampai ke tahap berikutnya: jika peringatan tentang pandemi diabaikan, lalu realitas mana yang sesungguhnya menjadi sorotan bagi negara? Jawabannya: realitas pasar.

Bersambung: Kita Perlu Belajar dari Tragedi Bom Atom Hiroshima (Bagian 2)

Almer Sidqi
Almer Sidqi
Wartawan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.