Minggu, April 28, 2024

Kini, Tak Semua Simbol Berideologi

Agus Buchori
Agus Buchori
Saya seorang arsiparis juga pengajar yang menyukai dunia tulis menulis, berasal dari kampung nelayan di pesisir utara Kabupaten Lamongan tepatnya Desa Paciran

Simbol atau lambang bisa mengidentifikasikan sesuatu. Dan kita sebagai makhluk sosial tak bisa lepas dari stigma yang diakibatkan oleh benda yang melekat pada kita. Baju, rumah, dan asesoris lainnya menjadi sarana kita mengidentifikasi ataupun teridentifikasi oleh yang lain.

Manusia selalu butuh tanda untuk mengenali sesuatu di luar dirinya. Nama adalah pengenal sekaligus simbol seseorang untuk dikenal orang lain. Selain itu banyak pula tanda lainnya yang kita asosiasikan ke makna tertentu.

Setelah nama, ada benda-benda lainnyayang melekat pada dirinya. Meski ada yang sengaja maupun tak sengaja dipakai untuk membentuk tanda pengenal dirinya, namun orang lain sudah terpola untuk menjadikannya benda tersebut menjadi sarana identifikasi pada yang memakainya.

Manusia sebagai makhluk sosial memang tidak bisa lepas dari kelompoknya. Atas dasar kesamaan tanda-tanda itulah mereka mengelompokkan dirinya dengan yang lainnya. Tak jarang, ini juga menjadi sarana pemisah dengan lainnya.

Efek penandaan itulah yang akhirnya  melahirkan stereotip pada orang lain. Dalam teori komunikasi stereotip ini menjadi salah satu bias yang negatif. Apalagi jika pemaknaan simbol melibatkan kekuasaan tanpa adanya konfirmasi timbal balik dari yang memaknai dan yang dimaknai.

Kini kita tak bisa membedakan mana artis mana penggemar karena mereka berpakaian dengan model yang sama dan bertingkah dengan cara yang sama pula. Di bidang lain pun demikian, seseorang akan dipersepsikan sebagai  golongan tertentu hanya karena cara berpakaian yang sama. Padahal tak jarang karakternya berbeda sama sekali.

Mengidentifikasi fenomena sosial berbeda dengan mengidentifikasi nama benda-benda. Perlu dialog dan saling menghargai agar hegemoni pemaknaan tidak menjadi show of force dari kekuasaan. Proses pemaknaan ini menjadi berbahaya jika melibatkan kekuasaan di dalamnya.

Dalam kasus ini dialog dan komunikasi dua arah menjadi sarana kita untuk memperbaiki distorsi pemaknaan ini. Jangan sampai pesan dari tanda-tanda itu dibaca sedemikian tekstual tanpa konfirmasi kepada  pemakai tanda tersebut.

Apakah dengan memakai blangkon lantas seseorang menjadi Abangan, ah yang bergamis pun tak serta merta menjadi kaum asketis. Simbol kini tak lagi terikat secara organis dengan pemakainya karena kini adalah era pasar. Sesuatu yang ekonomis kadang menjadi tak bernilai karena semata mata untuk kepentingan material.

Di era yang mendewakan segala yang  profan dan material ini, Simbol hampir selalu berkaitan dengan segala yang ekonomis. Ada yang memakainya untuk mode, trend, dan ujung-ujungnya jualan kok. Apakah kini memakai baret lantas membuat seseorang menjadi revolusioner.

Gambar Che Guevara dengan baretnya telah membius jutaan anak muda untuk bergaya demikian meski diragukan apakah ia tahu sososk yang ia tiru tersebut. Bisa jadi mereka memakai hanya karena unsur kecocokan dengan mode dan trend yang ada.

Bukankah semua simbol yang ada itu merupakan produk pasar yang dijual di mana-mana tanpa ada ikatan jiwa dengan yang memakainya. Dan semua  hanya didasarkan pada  unsur kepantasan dan trend saja alasan memakainya.

Jika sudah demikian, di balik simbol tersebut akan muncul harga-harga dan keuntungan material dari sang penjual.

Yang lebih menakutkan lagi adalah jika pemaknaan symbol dalam berpakaian membuat seseorang diindetikkan dengan komunitas atau aliran tertentu. Jika kita mau melihat lebih dalam tentu kita bisa melihat mana yang benar-benar religious dan alim bukan hanya dengan melihat cara berpakaiannya.

Cara berpakaian dari daerah tertentu pun kini menjadi trend. Dan ini harus menjadi pertimbangan seseorang untuk menilai apakah itu sebuah trend ataukah memang menjadi bagian organis karakter orang tersebut dengan yang dipakainya. Dalam artian ada ikatan kejiwaan sebagaimana tentara saat memakai seragam.

Saat memakai atribut, simbol, atau tanda pengenal, seorang tentara melalui perjuangan berat untuk mendapatkannya. Tentunya ini tidak bisa kita samakan dengan orang yang menggunakan peci atau bersorban.

Ketidakjelian dalam memaknai simbol yang merupakan hasil transaksi pasar dengan simbol yang merupakan hasil perjuangan dan kerja keras berdarah darah dalam mendapakannya. Yang lebih membahayakan lagi jika simbol-simbol hasil produk budaya pasar tersebut diakui oleh si pemakai mempunya makna yang berlebihan.

Makna yang berlebihan ini misalnya menganggap apa yang menjadi tanda kelompoknya adalah sesuatu yang suci dan berhubungan dengan martabat kelompok. Proses benturan pemaknaan riskan terjadi dan pada akhirnya pun terjadi benturan fisik antar kelompok, walaupun kadan dimulai dari benturan antarpribadi.

Layakkah kita berkelahi dengan yang lain hanya karena simbol-simbol duniawi yang kosong dan sama sekali tak mempunyai ikatan jiwa dengan sesuatu yang lebih abadi. Semua hanyalah produk pasar yang bisa kita dapatkan di mana saja.

Ini asli produk dari sana, dan yang ini asli dari sini. Dan ujung-ujungnya, lagi-lagi simbol dipakai untuk menaikkan harga. Dan jika sudah begini adakah ideologi? saya rasa semua kejar materi. Dan kita terjebak pada stereotip kita sendiri.

Agus Buchori
Agus Buchori
Saya seorang arsiparis juga pengajar yang menyukai dunia tulis menulis, berasal dari kampung nelayan di pesisir utara Kabupaten Lamongan tepatnya Desa Paciran
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.