Selasa, Oktober 15, 2024

Kini Pulang Kampung Jadi Persoalan

khairul Ikhwan Damanik
khairul Ikhwan Damanik
Peminat kajian kebudayaan, alumni Program Studi Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan.

Wabah ini sepertinya masih akan mengubah banyak tradisi kita. Termasuk kebiasaan pulang kampung. Bahaya pandemi dan sanksi yang disiapkan pemerintah untuk menghalau calon pemudik justru menghasilkan tradisi baru: pulang kampung yang dipercepat.

Ini semata cara bersiasat yang muncul karena nalar dipaksa berpikir mengatasi kebuntuan. Menebar rasa takut dengan ancaman bahaya penularan wabah itu sepertinya tak begitu berhasil. Tahun lalu, banyak yang nekat mudik dan masih hidup sampai hari ini. Memang ada sebagian calon pemudik yang takut. Cari aman dan mengurungkan niat pulang kampung. Nyatanya usai Lebaran masalah pandemi tak juga selesai. Padahal sudah menahan diri, terkungkung menjadi manusia kamar yang hanya berpindah-pindah dari teras ke dapur, lalu kebanyakan berbaring memandang langit-langit kamar.

Repotnya, kondisi Lebaran tahun lalu itu justru menelurkan regulasi yang lebih ketat. Memaksa masyarakat untuk tidak mudik dengan alasan serupa. Orang-orang harus menganulir rencana bertemu keluarga. Tetapi bukankah menebar ancaman berketerusan dengan cara yang itu-itu saja tidak akan menimbulkan efek takut yang selalu sama? Orang juga bosan untuk takut.

Bahkan aturan baru itu pun sepertinya tak akan cukup kuat menahan keinginan orang untuk mudik. Mungkin menunda, atau mempercepatnya. Di antara dua pilihan itu, viruslah yang berlebaran dan akan terus menyebar. Sedangkan vaksin tak semua bisa mendapatkannya dengan segera.

Siklus Orang Rantau

Ketika pemerintah menawarkan serentetan sanksi mulai dari denda hingga ancaman dipaksa putar balik, tentu alasan untuk menghempang niat orang untuk pulang kampung itu sudah dipikirkan. Termasuk mengantisipasi perlawanan. Lebaran tahun lalu itu menunjukkan bagaimana gigihnya usaha para pemudik. Lewat jalan tikus, naik mobil derek. Apa saja. Sebab bertemu keluarga adalah keinginan paling dasar sebagai makhluk sosial. Kebutuhan untuk berinteraksi dengan kerabat setalian darah pembentuk identitas diri. Mumpung sanak masih hidup, sebelum pandemi menelan semuanya.

Bagi sebagian besar perantau, terutama di Jawa, Lebaran adalah hari paling krusial dari semua siklus perantauan itu. Merantau itu selalu dimulai dengan ketidaknyamanan. Mungkin awalnya menumpang di rumah keluarga, kos, atau bahkan langsung praktik menggelandang. Genap setahun, mereka akan mudik untuk menunjukkan kemampuannya beradaptasi. Masih bertahan. Tahun kedua, akan lebih baik. Mungkin membawa uang atau setidaknya tidak minta ongkos pulang. Puncaknya adalah kisah sukses dan berujung pada naiknya status sosial di tengah keluarga besar.

Mereka yang selama ini bertahan dengan semua ketidaknyamanan itu, menjadikan Lebaran sebagai kesempatan untuk benar-benar merdeka. Memang sementara saja. Hanya beberapa hari, namun itulah yang terpenting. Dalam situasi sesulit apa pun Lebaran itu saatnya bergembira. Bertemu keluarga, berziarah ke makam leluhur, mengenang sejarah diri. Perantauan hanya tempat mencari nafkah sementara, dan kampung halaman selalu menjadi tujuan.

Merantau adalah keputusan yang diambil ketika tak banyak pilihan tersedia, dan kemiskinan selalu jadi alasan utama penyebab urbanisasi itu. Merantau jalan terbaik untuk memangkas antrean kemiskinan, dan sesekali untuk menjauhi konflik.

Dalam budaya beberapa suku bangsa, merantau itu memang keharusan. Merasakan hujan batu di negeri orang. Para perantau ini berpeluh keringat di seluruh sektor, termasuk sektor yang tak masuk dalam kategorisasi pekerjaan dalam sensus ekonomi. Mereka umumnya tanpa keahlian, namun bisa mandiri dan memperoleh penghasilan dengan melakukan berbagai hal.

Saban tahun, mereka inilah yang pulang sesuai dengan hari besar agamanya masing-masing, semisal Lebaran dan Tahun Baru. Momen-momen menjelang hari besar itu pun nyatanya kerap dijadikan pemerintah kesempatan untuk menuntaskan perbaikan jalan, jembatan, sarana penyeberangan kapal, maupun ruas tol baru. Supaya pemudik bisa merasakan pembangunan itu.

Lebaran Sebelum Pandemi

Sebelum pandemi ini mudik adalah cerita tentang perjuangan. Orang-orang berjubel di stasiun berebut membeli tiket kereta api, berhimpitan di terminal dan berdesakan di dalam bus. Tradisi mudik kita diramaikan dengan angka-angka jumlah kendaraan masuk tol, kecelakaan dan kematian yang mengikutinya.

Kini iramanya bergeser. Tahun lalu aparat keamanan sibuk berkejaran dengan mereka yang nekat pulang kampung. Pemudik yang kandas di pos pencegatan polisi, terpaksa putar balik. Sementara mereka yang semula lolos ke kampung, terhambat saat akan kembali ke kota. Disuruh pulang kampung lagi dengan membawa surat bebas corona.

Mengapa harus pulang saat Lebaran? Ya karena saat itulah waktu libur tersedia dengan lapang. Libur resminya dua hari dan ada tambahan cuti bersama. Dan pada momen Lebaran para pekerja menerima gaji tambahan. Punya uang ekstra untuk ongkos pulang kampung plus membawa sedikit oleh-oleh.

Para pemudik ini mendorong perputaran uang hingga triliunan rupiah. Selama beberapa hari di tanggal merah itu siklus ekonomi pun berdenyut di sudut-sudut negeri. Ekonomi menggeliat karena jutaan orang kota tinggal di kampung, yang berimbas pada meningkatnya belanja bahan pangan di pasar, pembayaran zakat, dan semua transaksi yang berlangsung hingga tiba masanya kembali ke kota.

Ya, tentu ada alternatif. Sudah tahu pandemi bahaya begini, mengapa harus memaksakan pulang kampung? Kan bisa pakai video call. Memang alat-alat komunikasi makin canggih, namun silaturrahim tak melulu bisa diwakili layar handphone itu. Ada nuansa yang hilang, entah makanannya, entah suasana desanya, entah pula karena semangat untuk berliburnya. Setelah sebelas bulan berinteraksi dengan kemacetan, maka memandang pohon kelapa di kampung adalah liburan yang menyenangkan. Lagi pula tempat wisata yang pasti akan dijubeli manusia saja akan dibuka, masak pulang kampung dihambat?

Banyak Jalan ke Kampung

Mencegah pulang kampung secara masif dengan serangkai aturan yang membenturkan pemudik dengan hukum itu, mungkin iya berhasil untuk sementara, tetapi tradisi itu tak bisa dihempang. Saat ini pun sebenarnya orang-orang sudah merencanakan mudik lebih awal, sebelum teng ruas-ruas jalan disekat polisi. Lebaran sebelum Lebaran.

Jika masalah wabah ini tak kunjung selesai, Lebaran tahun depan mungkin akan ada aturan baru lagi. Aturan yang lebih menakutkan. Mungkin pula aturan yang lebih unik, yang membatasi orang merantau. Merantau tanpa izin didenda, kedapatan berangkat merantau dihalau balik. Jika perantau berkurang, maka pemudik juga hilang, sehingga energi pemerintah bisa difokuskan untuk mencari solusi yang lebih baik guna mengatasi pandemi ini, tak sibuk menghalau orang mudik.

khairul Ikhwan Damanik
khairul Ikhwan Damanik
Peminat kajian kebudayaan, alumni Program Studi Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.