Selasa, April 23, 2024

Mudik: Tradisi Nasional Indonesia

M. Dwi Sugiarto
M. Dwi Sugiarto
Pemerhati isu sosial, politik dan kebijakan publik. Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Anggota MD Kahmi Boyolali, Waketum Pemuda ICMI Jawa Tengah

Aktivitas masyarakat di Indonesia yang biasa dilakukan di bulan Ramadhan selain menjalankan puasa adalah melakukan perjalanan mudik dan kemudian berlebaran di kampung halaman. Puasa di bulan Ramadhan serta hari raya Idul Fitri memang hanya ada pada umat Islam, namun tidak dengan mudik menjelang lebaran yang juga dilakukan oleh banyak penduduk Indonesia termasuk umat agama lain.

Tradisi lebaran dalam konteks Indonesia bukan Idul Fitri dalam konteks umat Islam juga turut dirayakan oleh umat agama lain, seperti dengan juga melakukan open house atau berkunjung dan sungkem kepada kerabat yang dituakan. Di lingkup pergaulan masyarakat pasti banyak ditemukam seseorang yang bukan umat Islam tetapi juga antusias dengan perayaan lebaran dan tentunya turut merayakannya.

Mudik sudah sangat erat melekat dan menjadi momen yang ditunggu banyak orang diperantauan untuk pulang ke kampung menemui sanak keluarga. Kegiatan mudik adalah cermin kebudayaan khas Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya pada kelompok agama maupun suku tertentu.

Falsafah mudik bukan hanya sebatas mendatangi keluarga di kampung setelah sekian waktu merantau meninggalkan rumah, tetapi lebih dari itu. Mudik menyangkut tradisi turun temurun dan adat istiadat yang ada di wilayah masing-masing masyarakat disaat bulan Ramadhan dan lebaran Idul Fitri. Bila mudik hanya sebatas pulang kampung biasa, maka seharusnya bisa dilakukan di waktu-waktu lainnya.

Belum berakhirnya wabah covid-19 di Indonesia sampai hari ini membuat pemerintah akhirnya memutuskan untuk melarang mudik lebaran Idul Fitri 1442 H/2021 M. Sudah dua lebaran terakhir ini libur lebaran dipangkas oleh pemerintah sehingga bagi para pekerja di sektor publik tidak memungkinkan untuk melakukan mudik.

Ketetapan untuk memangkas libur (cuti bersama) temasuk libur lebaran 2021 diatur melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Ketanagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 281 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 642 Tahun 2020, Nomor 4 Tahun 2020, Nomor 4 tahun 2020 Tentang Hari libur Nasional dan Cuti Bersama tahun 2021.

Pengecualian larangan

Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. PM 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Masa Idul Fitri 1442 H menjadi dasar dari larangan mudik lebaran Idul Fitri 1442 H. Permenhub tersebut mengatur larangan bepergian mudik melalui semua moda transportasi baik darat, laut, udara, dan kereta api yang berlaku pada 6-17 Mei 2021. Namun dalam Permenhub tersebut terdapat pengecualian yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat di momen mudik lebaran yang tidak dilarang pada wilayah aglomerasi. Wilayah aglomerasi tersebut mencakup 37 daerah jalur darat yang tergabung dalam 8 wilayah aglomerasi.

Istilah wilayah aglomerasi ditujukan pada daerah yang memiliki satu kesatuan yang terdiri dari beberapa pusat kota dan kabupaten yang saling terhubung. Delapan wilayah aglomerasi tersebut terdiri dari, pertama, Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo. Kedua, Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Ketiga, Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat).

Keempat, Jogja Raya (Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul. Kelima, Solo Raya (Kota Solo, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Karanganyar, dan Sragen). Keenam, Kendal, Semarang, Demak, Ungaran dan Purwodadi. Ketujuh, Gerbangkertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan). Kedelapan, Makasar, Sungguminasa, Takalar, dam Maros.

Dengan adanya pengecualian tersebut menimbulkan kesan kurang kuatnya komitmen pemerintah dalam memberlakukan pelarangan. Padahal penularan virus covid-19 tentu tidak mengenal batasan wilayah aglomerasi, dan juga daerah kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya dengan pergerakan masyarakat yang keluar masuk daerah tersebut selama ini besar potensinya menyebarkan virus.

Pelarangan mudik kali ini membuat masyarakat berpolemik diantaranya dengan danya pengecualian pada wilayah aglomerasi dan ketentuan waktu pelarangan mudik atau waktu penyekatan dilakukan. Awalnya aparat tidak melarang atau menghalangi mudik yang dilakukan sebelum atau sesudah tanggal 6-17 Mei 2021, namun kini sikap tersebut telah berubah. Pemerintah tetap tidak merekomendasikan untuk mudik walaupun dilakukan diluar tanggal tersebut.

Dengan adanya ketentuan larangan pada batas waktu tertentu, artinya diluar waktu tersebut tidak menjadi larangan atau diperbolehkan. Maka bila memang tidak boleh melakukan perjalanan mudik cukuplah pemerintah melarang aktivitas mudik pada lebaran tahun ini dan tidak perlu diberikan batas waktu pelarangan karena hal ini justru membuat masyarakat akan mudik sebelum tanggal pelarangan.

Masalah larangan mudik

Menjelang lebaran tahun ini terkait larangan mudik oleh pemerintah menimbulkan perbedaan interpretasi di masyarakat. Pertama, waktu penyekatan 6-17 Mei 2021 yang dilakukan seharusnya membuat masyarakat boleh pulang kampung (bukan mudik) sebelum dan kembali setelah tanggal tersebut.

Kedua, batas area larangan mudik dapat menimbulkan perselisihan di masyarakan terkait pengecualian untuk wilayah aglomerasi. Akan menimbulkan kecemburuan misalnya seseorang dari Grobogan akan ke Solo yang tidak dalam satu wilayah aglomerasi dilarang, kemudian yang dari Boyolali akan ke Wonogiri diperbolehkan karena dalam wilayah aglomerasi.

Ketiga, teknis pencegatan yang dilakukan petugas terhadap pemudik dengan kendaraan pribadi bila menggunakan pedoman plat kendaraan bermotor dapat saja terkecoh oleh pemudik mengingat kendaraan yang dimiliki seseorang seringkali tidak sesuai dengan namanya sendiri atau dengan plat dari daerah lain. Pemudik juga memungkinkan untuk menggunakan jasa rental mobil atau motor yang sesuai dengan area tujuan bahwa bila terjadi pencegatan petugas dapat mengaku bahwa ia bukanlah pemudik, tetapi pelaku perjalanan biasa yang rutin setiap saat bepergian pada jarak yang ditempuh.

Kesigapan dan kesiapan petugas dalam menghalau pemudik harus dibekali dengan ketentuan standar operasional prosedur yang baku, mengingat kebijakan ini adalah kebijakan pusat jangan sampai antar daerah terdapat perbedaan teknis pelaksanaannya. Selain titik penyegatan yang banyak dibuat pemerintah, pemudik juga tidak kurang cara dalam menyiasati perjalanan seperti melakukan perjalanan secara estafet maupun memilih waktu malam hari.

Kebijakan larangan mudik juga berdampak serius pada aspek perekonomian. Tidak dipungkiri bahwa mudik membawa berkah bagi banyak pelaku usaha, baik usaha skala besar maupun kecil. Sepanjang jalur mudik banyak usaha yang kerap meraup untung berlimpah pada momen mudik seperti rumah makan, transportasi, kuliner oleh-oleh, penjaja asongan, dan lain sebagainya. Bahkan peredaran uang di daerah/kampung juga akan meningkat dibanding biasanya yang terkonsentrasi di kota.

M. Dwi Sugiarto
M. Dwi Sugiarto
Pemerhati isu sosial, politik dan kebijakan publik. Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Anggota MD Kahmi Boyolali, Waketum Pemuda ICMI Jawa Tengah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.