Barack Hussein Obama merupakan presiden Amerika Serikat ke-44 yang sangat fenomenal di era pencalonannya sebagai capres pada saat itu. Sebelum mencalonkan diri sebagai presiden hingga akhirnya menduduki jabatan orang nomor satu di negeri paman Sam, beliau sebelumnya berkarier sebagai dosen Universitas Chicago, senator di Negara Bagian Illinois dan presiden jurnal bergengsi Harvard Law Review. Kharisma dan kisah suksesnya membuat terpesona warga Amerika kebanyakan apalagi oleh anak mudah berkulit hitam yang tak suka mengeluh dan menyalahkan keadaan sektarnya.
Pencalonan Obama sebagai presiden Amerika serikat pada saat itu benar-benar menjadi taruhan pencaturan politiknya. Bagaimana tidak, beliau adalah antitesa dari Presiden Bush mengenai Kebijakan perang di Irak dan tanggapan mengenai dunia Islam dan Timur Tengah. Ditambah lagi Obama dan teka-teki keislamannya sempat menjadi buah bibir dikalangan warga Amerika dan menjadi alat serang kampanye lawan politiknya.
Islam menjadi isu politik yang sangat penting dalam kampanye Obama setelah seorang kordinator tim sukses Hillary Clinton mengirim email berantai yang menyebut Obama adalah seorang muslim yang ingin menghancurkan Amerika Serikat. Obama sendiri dengan tegas menyatakan bahwa dirinya adalah seorang kristen dan tidak pernah menjadi muslim. Barack Obama adalah anggota United Church Of Christ, sebuah gereja Protestan yang dikenal sangat liberal. Obama juga menyatakan bahwa dia disumpah dibawah Injil ketika menjadi senator untuk mewakili daerah pemilihan Illonis.
Daniel Pipes, seorang direktur Forum Kajian Timur Tengah, dalam sebuah artikel bertajuk “Obama dan Islam” mengatakan dalam analisinya bahwa seorang anak dengan basis nama Arab seperti Barack Hussein Obama diasumsikan sebagai seorang muslim dan bagian akhirnya Pipes menyatakan bahwa Obama pernah menjadi muslim dan pindah agama menjadi Kristen. Implikasinya, Obama dapat disebut murtad dan tuduhan ini menjadi sasaran tembak bagi lawan-lawan politiknya diera itu (www.DanielPipes.org).
Disela-sela bagian pidato politiknya, Obama sempat menerjemahkan kata Barack yang menjadi nama depannya sebagai blessed, seseorang yang diberkati. Secara etimologis ini jelas berasal dari kata Arab, barkah, sedangkan untuk hussein berarti indah. ‘Karena tak ada yang salah dengan konsep berkah dari Tuhan dan keindahan mahluknya, maka tak ada masalah dengan nama saya” kata Obama.
Obama bagikan kuda penjaja air menurut syair Maulana Jalaluddin. Khazanah gagasan pemikirannya mengenai masa depan kehidupan Amerika Serikat dan kehadirannya diyakini sebagai representasi kepentingan dan bahkan jati diri warga Amerika. Dalam pentas panggung persaingan politik, Obama hanyalah seorang aktor dan menempatkan khalayak Amerika sebagai sutradaranya.
Baginya, Amerika adalah rumah bagi semua orang yang beragama Kristen, Yahudi, Islam, Buddha maupun yang tak beragama. Ia brharap, dengan demokrasi dan kedigdayan Amerika, sudah seyogyanya lah Amerika tumbuh dan berkembang dengan semua orang dan semuga bangsa khusunya bagi kalangan minoritas di Amerika Serikat.
Muslim Amerika pada saat itu mendukung Obama dalam pencalonnya sebagai presiden. Hal ini datang bukan dari kerelaan dan embel-embel nama Arab Obama, tetapi adanya harapan mengenai kebijakan Timur Tengah Amerika serikat yang kala itu telah menumpahan kesedihan yang teramat dalam dan kerugian yang begitu besar.
Obama dan warisan islam yang ia dapat dari Ayah kandungnya yang seorang Afrika Kenya dan ayah tirinya Lolo Soetoro yang berasal dari Indonesia disebut-sebut sebagai sebuah dasar perkenalan pemikiran Islamnya hingga saat ini. Aura keislaman dalam pikiran Obama tumbuh ketika ia besar di Hawai dengan ibu, nenek dan kakeknya. Obama diajarkan mengenai nilai-nilai humanisme kala itu.
Saat melanjutkan pendidikan di Universitas Columbia dan Harvard yang merupakan kampus dengan populasi muslim terbesar pemikiran obama tentang Islam terus berkembang secara dinamis. Dalam pemikirannya orang-orang Islam tidak semestinya dilihat sebagai sesuatu yang aneh dan orang islam tak kurang eksotis jika dibandingkan dengan orang Mormon, Yahudi atau saksi Yehova.
Khazanah pemikiran Islamnya sempat menjadi bahan pertanyaan mengenai kebijakan Timur Tengah-nya jika terpilih sebagai Presiden ke-44 Amerika Serikat. Dalam setiap pidato dan orasi politiknya, isu mengenai posisi Amerika ketika ia terpilih adalah jelas, menarik sedikit demi sedikit pasukan perang Amerika dari Irak dan menghentikan perang disana. Bagi sebagian kalangan, kebijakan ini dianggap sebagi angin segar khusunya bagi masyarakat Amerika yang kelurganya ditugaskan berperang di Timur Tengah.
Hingga delapan tahun memimpin Amerika Serikat, proses berpikir dan dasar kebijakan Obama sesungguhnya telah menuai banyak kontraversi, misalnya seorang anggota senior lembaga kajian AEI (American Enterprise Institute) yang berbasis di Washington DC, Peter J. Wallison mengatakan, “Di awal pemerintahannya, Obama gagal memberi dukungan terhadap revolusi rakyat Iran dalam menentang kediktatoran pemerintah (https://www.kiblat.net/2016/12/01/8-tahun-obama-berkuasa-iran-semakin-kuat-di-timur-tengah. Obama sesungguhnya telah kebal dengan kritik bukan hanya setelah memimpin Amerika Serikat, namun juga sebelum ia mencalonkan diri sebagai presiden pada saat itu.
Dalam buku yang berjudul “Obama Tentang Israel, Islam dan Amerika” kekayaan gagasan Obama dalam mendukung kemajuan perkembangan di Timur Tengah sejatinya telah nampak hingga sekarang. Namun nyatanya, disana sini masih banyak kekuarangan. Usaha Obama dalam memajukan peradaban manusia tanpa perang kotor perlu untuk terus didukung. Dunia sedang menantikan khazanah pemikiran Islam Obama dalam rangka pengambilan keputusannya di Timur Tengah. Tongkat estafet itu kini telah jatuh kepada seorang Trump yang dituding sangat anti-islam dengan melarang paspord visa bagi beberapa negara Islam Timur Tengah. Kini mampukah khazana Islam itu meramba ke-setiap warga Amerika demi mewujudkan Amerika satu tanpa diskriminasi.
Daftar Pustaka
Tim Hikmah, 2008, “Obama Tentang Israel, Islam dan Amerika”. Hikmah (PT. Mizan Publika)