Beberapa hari ini jagad Twitter sedang ramai perseturuan antara dua orang musisi, yaitu seorang penyanyi dangdut koplo Via Vallen dan seorang drummer band rock, Jerinx dari sebuah band yang berbasis di Bali.
Via Vallen pernah membawakan, bahkan tidak sekali, lagu yang ditulis oleh Jerinx yang berjudul “Sunset di Tanah Anarki” tanpa izin sang pencipta lagu. Dalam HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) ada dua hak yang dibahas, pertama hak ekonomi, kedua hak moral. Dari klaimnya, Jerinx tidak menuntut ganti rugi uang pada kejadian tersebut.
Namun Jerinx merasa kesal karena secara sembarangan Via Vallen meng-cover lagu tersebut sehingga roh yang ada pada lagu menjadi hilang. Saya pun sebenarnya kurang paham apa yang dimaksud “roh” tersebut. Apakah semangat? Ataukah nilai dan konsep? Karena menurut pandangan saya pribadi, saya tidak melihat ada yang berkurang dari aksi peng-coveran tersebut.
Dalam konsep estetika postmodern, dikenal dua idiom yang serupa tapi tak sama, yaitu pastiche dan parody. Keduanya bersifat simulasi dan imitasi, yang berarti mengulangi atau menciptakan kembali sesuatu yang sama. Namun pastiche dan parody memiliki maksud yang berlawanan.
Pastiche memiliki maksud yang bersifat memuji dan selebrasi, sementara parody bersifat merendahkan dan mengejek. Kita bisa melihat pastiche misalnya ketika Bruno Mars mengangkat kembali gaya-gaya tarian, fashion, sampai style lagu yang sebelumnya pernah diangkat oleh Michael Jackson. Sementara contoh dari parody, misalnya bagaimana Charlie Chaplin mengkarikaturkan Adolf Hitler, yang dipelesetkan sebagai Adenoid Hynkel, dalam sebuah film satir The Great Dictator (1940).
Lalu, coba kita kembali pada anggapan bahwa “rohnya akan hilang bila dicover secara sembarangan”. Tentu kita harus menghormati sang pencipta lagu karena itu merupakan hak moral yang dia punya.
Namun saya sendiri tidak melihat ada maksud buruk yang dilakukan oleh Via Vallen ketika meng-cover lagu tersebut. Dia tidak sedang mengejek atau mengkarikaturkan lagu tersebut dengan mem-parody-kannya. Melainkan dia sedang membuat sebuah selebrasi dan pujian berupa pastiche, walaupun dengan style yang sedikit berbeda. Bahkan saya pribadi tau lagu itu pertama kali dari Via Vallen ketika menonton videonya pentas dengan OM Sera.
Saya berasumsi, mungkin si pencipta lagu khawatir kalau lagunya tidak tepat pada sasarannya. Lagu “Sunset di Tanah Anarki“ menurutnya adalah cerita tentang perjuangan di sebuah negara yang sistemnya tidak lagi bisa dipercaya, hingga terasa bagai negara tanpa pemimpin. Namun dalam opini pribadi, saya berpendapat bahwa dengan masuk dalam komunitas yang berbeda, pesan yang akan disampaikan akan semakin menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas, terutama komunitas yang berada di akar rumput.
Dangdut mungkin bukanlah sebuah genre dari produk industri musik yang disukai semua orang. Ia bukanlah musik yang umum disukai oleh para urbanis-urbanis kelas menengah yang hidup di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bali, yang tentu punya akses lebih dekat dengan gaya industri musik global. Namun ia selalu ada dalam basis-basis grassroot yang masih kuat nyawa tradisinya.
Dangdut terbukti mampu hidup di terminal-terminal, pasar kaget, gerobak kaki lima, sampai pos-pos satpam. Musik ini punya akar tradisi yang kuat dari musik melayu, bahkan jejak ini masih dipelihara oleh grup-grup dangdut dengan menambahkan predikat OM (Orkes Melayu). Sebut saja OM Palapa, OM Sera, atau OM Lagista.
Dalam dunia musik timur, kesenian begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kebiasaan joged, yang kerap dianggap “kampungan”, adalah salah satunya. Awalnya musik ini merupakan musik yang kerap mengiringi para petani yang sedang menginjak gabah supaya kulitnya terkelupas lalu menjadi padi.
Iramanya yang mendayu-dayu selaras dengan gerakan mereka menginjak-injak gabah, tentu sambil menghibur mereka agar tidak larut dalam kebosanan. Di sisi lain, ciri khas dangdut jawa timuran atau koplo punya corak khusus seperti teriakan OAOEnya. Ini merupakan inkulturasi budaya antara melayu dan jawa. Teriakan OAOE itu adalah hal yang umum dalam seni pertunjukan Jawa. Dapat dijumpai pada tarian barongan misalnya, atau pada pertunjukkan wayang kulit ketika tokoh wayang-wayang tersebut sedang menari atau berkelahi.
Dilihat dari akar sejarah musik dangdut pun, bagi saya malah akan membuat lagu ini semakin dikenal di kalangan yang berbeda dari komunitas-komunitas musik rock yang lebih dekat dengan corak industri musik yang berasal dari dunia barat.
Saya masih ingat ketika OM Pengantar Minum Racun mulai kembali membangkitkan grupnya dengan membawakan lagu dari Seringai yang berjudul Mengadili Persepsi. Lagu yang awalnya bernuansa metal tersebut malah berubah total menjadi irama orkes melayu. Terlepas proses itu melalui perijinan dari sang pencipta lagu, dalam hal Sunset di Tanah Anarki, memang dari awal seharusnya Via Vallen meminta ijin, apalagi dalam konteks yang komersil.