Sabtu, April 20, 2024

Ketika PMI Ilegal Mengadu Nasib

Mustika Prabaningrum
Mustika Prabaningrum
Dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Selain menjadi seorang dosen, juga beraktivitas sebagai seorang advokat di bawah naungan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH FH UII)

Istilah pahlawan devisa negara melekat erat pada diri Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dahulu dikenal dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Perubahan penggunaan istilah ini bukan tanpa alasan meskipun hingga saat ini TKI masih lebih dikenal dibandingkan dengan PMI. Besarnya remitansi yang dihasilkan oleh pekerja migran kita nyatanya mampu memberikan pemasukan pada negara dengan nominal yang tidak main-main besarnya.

Pahlawan menurut pengertian KBBI adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani. Jika merujuk pada definisi ini memang tepat jika Pekerja migran Indonesia (PMI) disebut sebagai seorang pahlawan.

Namun, sosok pahlawan yang di benak kita kemudian ia berjasa, sayangnya atas jasanya tersebut ia masih harus berjuang untuk memperjuangkan nasibnya sendiri. Dewasa ini muncul kembali berita-berita yang dialami oleh pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Berbagai penyiksaan dari skala ringan, sedang hingga berat mewarnai kondisi riil mereka di luar negeri sana. Fakta yang ada di lapangan ini berbanding terbalik dengan tingginya status penyematan sebutan pahlawan devisa negara bagi para pekerja migran Indonesia.

Negara melalui Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 memberikan jaminan akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warga negaranya di mana sebagai tindak lanjutnya warga negara diberikan kebebasan untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan tersebut baik di dalam maupun di luar negeri tanpa terkecuali.

Warga negara dipersilakan berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan atau dibutuhkannya tersebut baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak ada Batasan atau larangan sepanjang pekerjaan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Berbicara mengenai sosok Pekerja Migran Indonesia (PMI) di masyarakat sendiri mengenal istilah legal dan illegal. Pekerja Migran Indonesia (PMI) legal adalah mereka yang telah memenuhi segala persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sedangkan Pekerja Migran Indonesia (PMI) illegal adalah mereka yang tidak memenuhi persyaratan.

Bagi yang legal sudah ada jaminan akan perlindungannya baik sebelum bekerja, selama bekerja bahkan setelah bekerja dan mayoritas praktiknya tidak mengalami kendala yang berarti. Hal ini berbeda dengan yang berstatus illegal. Mengapa? Karena dari sejak sebelum diberangkatkan pun dokumen yang dimiliki bahkan tidak sesuai dengan kondisi riil yang ada.

Pekerja migran illegal sangat rawan dan rentan terhadap ancaman perdagangan orang ataupun eksploitasi. Calo-calo predator yang sudah fasih dan paham terhadap kondisi calon korban akan berusaha memberikan iming-iming persyaratan yang begitu mudahnya, tidak mempersoalkan umur, menjanjikan pekerjaan yang mapan serta upah yang sangat tinggi akan membuat calon pekerja migran akan mudah tergiur dan masuk dalam jebakan ini sehingga terjebak menjadi korban perdagangan orang dari calo-calo yang pergerakannya sudah terstruktur ini.

Pertanyaan besar pun muncul. Apakah segala persyaratan yang bersifat teknis maupun non teknis di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) serta PP Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dirasa oleh Sebagian masyarakat terlalu berbelit-belit dan sulit dijangkau. Ataukah budaya kita sebagai orang Indonesia yang cenderung malas berurusan dengan hal-hal demikian sehingga menyebabkan untuk lebih memilih jalur cepat tanpa susah payah berproses sesuai dengan prosedur yang ada.

Bagaimana tidak, budaya malas dengan urusan yang bersifat administratif masih sangat mendominasi kehidupan sehari-hari. Kita cenderung lebih memilih jalur instan karena dirasa lebih cepat dan tidak praktis. Terlebih persyaratan serta alur yang harus dilewati calon pekerja migran ada tahapan-tahapannya. Sehingga tidak heran kemudian pekerja migran illegal banyak yang menjadi korban baik korban perdagangan orang ataupun eksploitasi.

Keberadaan pekerja migran illegal ini menjadi polemik tersendiri. Hal ini disebabkan keberadaannya yang tidak dapat dikontrol secara baik oleh negara, kecuali jika mereka kemudian melapor ke kedutaan tempat mereka bekerja jika dikemudian hari mereka mengalami masalah. Kerentanan teman-teman pekerja migran illegal sangat besar sekali. Majikan merasa memiliki secara utuh pekerjanya ini. Terlebih jika majikan mengetahui bahwa si pekerjanya merupakan pekerja illegal.

Maraknya pemberitaan penyiksaan baik fisik maupun psikis mewarnai timeline media massa. Namun jika ditelisik lebih lanjut nyatanya masih banyak kasus-kasus yang dialami oleh pekerja migran illegal yang luput dari pemberitaan. Belum lama ini Menteri Luar Negeri menyatakan bahwa jumlah pekerja migran illegal kita mengalami peningkatan yang cukup drastis di mana pada tahun 2021 jumlahnya 119 orang sedangkan di tahun 2022 berjalan ini sudah menyentuh angka 446. Kondisi ini semakin diperparah dengan kenyataan bahwa proses perekrutan dan pemberangkatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara illegal masih terus berjalan hingga saat ini.

Niatan awal yang mulia bekerja di negara lain untuk mendapatkan upah yang kemudian dipergunakan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri maupun keluarganya di Indonesia justru beresiko tinggi. Sejak awal keberangkatan tidak dibekali dokumen resmi, tiba di negara tujuan dipekerjakan pada lingkungan yang bertendesi hingga menjadi korban perdagangan orang. Hendak mengadu ke pemerintah pun awalnya malu karena sadar akan statusnya yang illegal, namun bertahan sendiri pun dirasa tidak mungkin karena sadar dirinya sangat membutuhkan bantuan atau peran dari negara.

Sungguh mulianya penyematan istilah pahlawan pada mereka yang memilih untuk menjadi pekerja migran. Atas sumbangsih yang teramat luar biasa dari mereka kepada negara, sudah selayaknya diimbangi dengan giatnya negara untuk tidak letih memberikan sosialisasi serta membangun kesadaran bagi masyarakat bahwa menjadi seorang pekerja migran haruslah melalui prosedur yang ada, jangan lagi menguji nyali untuk nekat berangkat menjadi pekerja migran illegal. Banyak resiko besar yang menghadang di depan mata sehingga niatan ini harus dikubur dalam-dalam.

Mustika Prabaningrum
Mustika Prabaningrum
Dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Selain menjadi seorang dosen, juga beraktivitas sebagai seorang advokat di bawah naungan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH FH UII)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.