Bagi mahasiswa baru, Pers Mahasiswa atau biasa disebut dengan persma, nampaknya masih menjadi sesuatu yang tabu di telinga. Padahal, persma sendiri berperan sebagai roda penggerak dan menjadi ‘anjing penjaga’ bagi birokrasi kampus maupun negara.
Sejarah persma mungkin telah lenyap di kalangan mahasiswa baru. Mereka lupa bahwa, persma mempunyai sejarah panjang dalam melawan cengkeraman kolonialisme bangsa Indonesia kala itu.
Bila ditelisik lebih dalam mengenai sejarahnya, persma sudah lahir puluhan tahun sebelum universitas-universitas formal di Indonesia berdiri. Hal ini dikarenakan hingga tahun 1920-an, belum ada perguruan tinggi yang didirikan oleh rezim kolonialisme Hindia Belanda.
Akibat dari politik etis yang melanda Indonesia kala itu maka, sebagian kalangan pribumi yang bergelimang harta kemudian mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di Negeri Belanda.
Melihat bangsanya menderita, sekelompok pemuda tadi berusaha melawan dengan membentuk organisasi bernama Indische Vereniging yang, kemudian bertransformasi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI).
Nahas, kekuatan organisasi Perhimponean Indonesia itu perlahan melemah. Perlawanan menggunakan kekuatan jurnalistik harus berakhir di tangan Belanda. Namun, sisa-sisa darah pejuang itu masih terus mengalir.
Mereka yang tersisa, terus bergerilya menyebarkan selebaran gelap untuk mempertahankan kemerdekaan. Melalui kerja jurnalistik, mereka melakukan propaganda kepada masyarakat untuk melawan penindasan dan penjajahan. Hingga akhirnya, persma kembali tumbuh dan berkembang pasca kemerdekaan.
Akan tetapi, kondisi persma hari ini sedang sakit. Gairah persma yang sempat dieluh-eluhkan mulai meredup. Hingga akhirnya, banyak aktivis persma yang berbagi keluh kesah soal rendahnya minat mahasiswa terhadap persma.
Di UIN Walisongo Semarang sendiri, minat mahasiswa baru terhadap persma mulai menurun. Persma masih kalah saing dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) lain. Hal ini terjadi karena mahasiswa sekarang lebih memilih sesuatu yang praktis daripada harus berbelit-belit.
Padahal, mahasiswa dikenal sebagai makhluk yang kritis dan idealis oleh masyarakat. Dengan entitas spirit yang mengedepankan intelektualitas dan dialektika, mahasiswa diharapkan mampu menjadi sosok yang berperan penting dalam percaturan sejarah sebuah bangsa.
Namun, jika persma tidak lagi diminati mahasiswa, bagaimana nasibnya di tahun mendatang?
Perlu inovasi
Saat ini, persma sedang bertarung dengan dirinya sendiri dalam menghadapi tantangan zaman. Di era kemajuan teknologi, persma harus mulai berbenah jika tidak ingin kehilangan peminat. Mereka harus berani meninggalkan cara-cara kolonial demi menarik perhatian milenial. Tentu, dengan tidak menghilangkan identitas dari jurnalisme itu sendiri.
Jurnalisme persma pun harus berani mencoba dan keluar dari zona nyaman mereka. Selain itu, persma juga perlu mengantisipasi perkembangan media yang begitu cepat. Adanya kemajuan teknologi, bisa menjadi peluang sekaligus bumerang bagi persma sendiri. Jika persma tidak siap, bisa jadi ia akan mati di era revolusi industri hari ini.
Dengan begitu, persma akan mampu menjadi pelayan bagi mahasiswa dalam menyalurkan aspirasinya. Secara tidak langsung pun, persma tidak lagi dipandang sebagai macan ompong yang hanya bisa mengaum di dalam kandang.
Kesadaran menulis
Bisa dibilang, kesadaran mahasiswa dalam bidang penulisan cukup rendah termasuk anggota persma sendiri. Mereka masih menganggap dogma jurnalistik sebagai sesuatu yang menyeramkan. Yang terjadi selanjutnya, kegiatan tulis-menulis, perlahan namun pasti, dihindari.
Kesadaran sebagai persma yang notabene menjadi bagian daripada jurnalisme, umumnya belum sepenuhnya disadari. Mereka lupa bahwa, kesadaran menulis tidak bisa tumbuh begitu saja. Menulis bukan sekedar untuk mengisi rubrikasi yang masih kosong, namun juga diniatkan untuk melawan kedunguan dan kedangkalan berpikir. Menulis juga tidak perlu muluk-muluk untuk mendapat riuhan tepuk tangan dan imbalan.
Permasalahan itu pun semakin rumit manakala, kesadaran menulis dipahami hanya sebagai penggugur kewajiban semata. Tanpa sadar bahwa dirinya sedang berproses untuk menjadi seorang penulis. Sebaliknya, kesadaran menulis juga harus diolah sejak dini untuk mengasah sensivitas indrawi.
sumber foto: angkringanwarta.blogspot.com