Jumhur Ulama sepakat bahwa suara perempuan bukan aurat, karena para sahabat perempuan dahulu sering kali mendengarkan suara istri-istri Nabi saw. ketika belajar hukum-hukum agama (Islam). Namun demikian, menurut Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû (1985, I: 595), perempuan haram memperdengarkan suaranya dengan didendangkan atau dilagukan karena takut akan timbul fitnah. Tentu pendapat ini lahir dari situasi dan kondisi masyarakat tertentu. Berbeda dengan kehidupan masyarakat Indonesia, di mana mereka sekarang sudah terbiasa dengan lantunan suara-suara perempuan yang sangat indah menawan, baik ketika membaca salawat, kasidah, mau pun membaca lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an. Selain itu, tidak sedikit perempuan yang memberikan suaranya secara langsung kepada khalayak ramai untuk mensosialisasikan ajaran agama, seperti para ustazah yang berdakwah. Bahkan beberapa bulan yang lalu terlaksana Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), di mana hal ini semakin menegaskan eksistensi dan keterlibatan perempuan dalam masalah sosial keagamaan. Sehingga seindah, semerdu, dan semenawan apa pun suara yang dilantunkan oleh perempuan ketika melantunkan salawat atau kasidah, seperti Mayada, Sulis, dan Wafiq, masyarakat menikmatinya sebagai sebuah keindahan, bukan sebagai suara perangsang yang mengundang birahi.
Dengan demikian, lalu apa masalahnya kalau perempuan mengumandangkan azan bagi khlayak ramai, sebagaimana biasa dilakukan oleh laki-laki? Barangkali akan muncul pernyataan, masalahnya karena perempuan dilarang mengumandangkan azan dalam ajaran Islam. Kalau begitu, pertanyaannya adalah, ajaran Islam yang dipahami oleh siapa dan kalangan mana dulu yang melarang perempuan mengumandangkan azan. Syi’ah-kah? Sunni-kah? Ahmadiyah-kah? Wahabi-kah? Kalau oleh kalangan Sunni, Ḥanafiyah-kah? Mâlikiyah-kah? Syâfi’iyah-kah? Ḥanabilah-kah? Sarekat Islam-kah? Muhammadiyah-kah? NU-kah? Persis-kah? MUI-kah? Al-Irsyad-kah? Nahdlatul Wathan-kah? LDII-kah? MTA-kah? JIL-kah? FPI-kah?
Begini, meski pun Wahbah az-Zuḥailî mengatakan bahwa perempuan tidak disyariatkan untuk mengumandangkan azan dan suaranya dapat menimbulkan fitnah—sehingga haram (tidak boleh) mengumandangkan azan (1985, I: 541), namun menurut Sayyid Sâbiq dalam Fiqh as-Sunnah (I: 84), dahulu siti ‘Âisyah ra. pernah mengumandangkan azan untuk kalangan perempuan, ikamah, dan kemudian mengimami salat. Dari kedua keterangan ini dapat dipahami bahwa praktik (pensyariatan) perempuan mengumandangkan azan untuk umum (laki-laki dan perempuan) belum pernah dilakukan pada zaman Nabi saw. Akan tetapi praktik (pensyariatan) perempuan mengumandangkan azan untuk kalangan perempuan sendiri sudah pernah dilakukan oleh siti ‘Âisyah ra. Berdasarkan hadis siti ‘Âisyah ra. ini, maka Imam asy-Syâfi’î dan Imam Isḥâq membolehkan perempuan mengumandangkan azan dan ikamah bagi kalangan (perempuan) sendiri. Begitu pula dengan Imam Ahmad yang menyatakan kebolehan perempuan mengerjakan hal itu (mengumandangkan azan bagi kalangan perempuan sendiri) dan juga boleh apabila ingin meninggalkan(tidak mengerjakan)nya. Sementara Imam Anas, Imam Ḥasan, Imam Ibn Sirrîn, Imam an-Nakh’î, Imam aś-Śaurî, Imam Mâlik, Imam Abû Śaur, dan kalangan ahl ar-ra’y seperti Imam Abû Ḥanîfah memberikan pendapat yang sama bahwa perempuan tidak usah mengumandangkan azan bagi kalangan perempuan sendiri (I: 83-84).
Selain itu, Imam Al-Jazîrî menjelaskan dalam Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah (2011, I: 271), secara jelas tentang status hukum perempuan mengumandangkan azan bagi khalayak ramai (umum) dalam perspektif empat mazhab. Mazhab Mâlikî, Syâfi’î, dan Ḥanbalî sepakat bahwa perempuan tidak boleh (haram) mengumandangkan azan. Dalam hal ini mengumandangkan azan untuk kepentingan umum (laki-laki dan perempuan), sebagaimana biasa dilakukan oleh muazin laki-laki di masjid atau pun di langgar-langgar. Tidak lain dan tidak bukan karena salah satu syarat muazin adalah laki-laki, bukan perempuan. Sementara mazhab Ḥanafî (Ḥanafiyyah) menyatakan bahwa syarat laki-laki dalam mengumandangkan azan yang diberikan oleh jumhur tersebut bukan syarat sahnya azan. Oleh karena itu, azan yang dikumandangkan oleh perempuan, orang banci, orang kafir, orang gila, dan orang mabuk tetap sah. Dan ketika salah satu dari mereka mengumandangkan azan, maka gugurlah kewajiban orang-orang lain untuk mengumandangkan azan. Sehingga mereka tidak berdosa meski pun tidak ikut mengumandangkan azan. Namun demikian, tidak sah apabila bersandar kepada kabar atau berita yang diberikan oleh orang kafir, orang fasik, dan orang gila dalam menentukan waktu salat. Hal ini karena syarat utama yang diberikan untuk menentukan waktu salat adalah muazin Islam dan adil—walau pun dia seorang perempuan, serta juga harus berakal, tamyiz, dan tau (mengerti) terhadap jadwal waktu-waktu salat. Perempuan dilarang mengumandangkan azan apabila terdapat hal-hal yang dapat mengundang syahwat bagi orang-orang yang mendengarnya, di mana alasan ini bagi penulis sudah tidak relevan lagi untuk masa sekarang mengingat sudah begitu banyak perempuan-perempuan yang melantunkan salawat dan kasidah-kasidah begitu merdunya yang tersebar di khalayak ramai.
Dalam hal ini, penulis sendiri lebih setuju dengan pendapat kalangan Ḥanafiyyah yang menyatakan bahwa syarat muazin adalah muslim yang adil, baik laki-laki mau pun perempuan. Karena apabila melihat ketentuan teks hadis yang biasa dijadikan pijakan dalam menetapkan disyariatkannya azan dalam Islam (1985, I: 533-534), maka ia berlaku secara umum, yaitu bagi laki-laki dan perempuan, sebagaimana hadis “iżâ ḥaḍarat aṣ-Ṣalâh, fa al-yuażżin lakum aḥadukum, wa al-yaummakum akbarukum” (ketika waktu salat telah tiba, maka hendaklah azan salah satu dari kalian untuk kalian semua dan hendaklah yang menjadi imam adalah orang yang “tertua” di antara kalian), di mana kalimat aḥadukum (salah satu dari kalian) secara jelas menggunakan redaksi jamak, sehingga ia tidak hanya terbatas kepada laki-laki saja, namun juga berlaku kepada perempuan. Meski pun praktiknya dahulu ketika masa Nabi saw. banyak dilaksanakan oleh laki-laki, maka hal ini karena alasan situasi dan kondisi yang masih menghendaki demikian. Oleh karena itu, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan situasi dan kondisi masyarakat yang semakin “melek” pengetahuan, di mana antara laki-laki dan perempuan sama-sama diberikan peluang dalam ranah publik, maka sudah bukan hal yang tabu lagi—apalagi merupakan sebuah keburukan yang harus dilarang—apabila azan juga dikumandangkan oleh merdunya suara perempuan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perempuan sejatinya memiliki hak untuk mengumandangkan azan. Apalagi dalam konteks Indonesia, suara perempuan sudah tidak menjadi masalah lagi dan keempat mazhab fikih (Ḥanafî, Mâlikî, asy-Syâfi’î, dan Ḥanbalî) sama-sama diakui oleh Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi terbesar di Indonesia, di mana ke empat mazhab itu menurut Imam asy-Sya’râni dalam al-Mizân al-Kubrâ, sama-sama bertemu pada titik (kebenaran) yang satu, yaitu syariat Islam yang bersumber dari Allah. Sehingga siapa pun yang mengikuti salah satu di antara mereka akan sampai jua kepada surga. Wa Allâh A’lam wa A’lâ wa Aḥkam…