Dalam beberapa tahun terakhir, peran media sosial menjadi semakin dominan dalam membentuk dinamika kebijakan publik di Indonesia. Pasalnya, media sosial tidak hanya menjadi sebuah platform dalam menyuarakan opini, tetapi juga seakan menjadi penentu arah bagi pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan.
Fakta tersebut dapat ditemukan dalam berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia pada akhir-akhir ini. Sebagai contoh, pada awal Februari 2025, kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menginstruksikan agen Pertamina untuk tidak memperjualbelikan gas LPG 3 kg kepada para pengecer. Kebijakan ini memicu terjadinya kelangkaan gas LPG 3 kg di berbagai daerah di Indonesia (Tempo, 2025). Kejadian ini memicu amarah publik dan menjadi ramai diperbincangkan di berbagai media sosial. Usai menuai berbagai respons negatif, Presiden Prabowo Subianto akhirnya membatalkan kebijakan tersebut.
Isu lain yang turut menjadi sorotan publik pada akhir tahun 2024 adalah rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan diterapkan secara umum untuk semua Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP), sebagaimana telah dirancang dan disahkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan No. 7 Tahun 2021, dengan ketentuan bahwa penerapannya dilakukan paling lambat pada 1 Januari 2025.
Sebagai bentuk kritik terhadap rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen muncul tren frugal living atau gaya hidup hemat di kalangan masyarakat. Tren frugal living ini bukan sekadar gaya hidup hemat, melainkan sebagai bentuk protes sosial-ekonomi terhadap kebijakan pemerintah (Tempo, 2024). Kebijakan ini juga memicu gelombang demonstrasi dari berbagai daerah dan kalangan, terutama dari kalangan mahasiswa dan pelaku usaha kecil yang merasa terdampak langsung.
Di berbagai media sosial, respons publik semakin meluas dengan munculnya tagar #TolakPPN12Persen dan beredarnya peringatan lambang garuda biru yang sempat menjadi trending topik di media sosial, khususnya twitter atau X (CNBC, 2024). Setelah mendapat banyak kritik dari masyarakat, pemerintah akhirnya merevisi kebijakan kenaikan PPN. Melalui PMK Nomor 131 Tahun 2024, tarif PPN sebesar 12 persen hanya dikenakan untuk barang dan jasa mewah.
Salah satu contoh lain bagaimana peran media sosial berpengaruh dalam pembuatan kebijakan publik di Indonesia adalah viralnya kondisi jalan rusak di Provinsi Lampung pada April 2023. Kondisi ini viral melalui unggahan video tiktok yang berjudul “Alasan Kenapa Lampung Gak Maju-Maju” dalam akun tiktok @awbimax. Video ini diunggah sebagai bentuk kritik terhadap infrastruktur, pendidikan, dan tata kelola publik di Provinsi Lampung. Sebagai dampak dari viralnya video tersebut, Presiden Joko Widodo langsung memeriksa kondisi jalan rusak di Lampung (Kompas, 2024).
Fenomena diatas dikenal dengan istilah viral based policy. Dilansir dalam laman economica.id, viral based policy merupakan sebuah fenomena ketika kemarahan publik atau kampanye viral di media sosial menjadi faktor yang mendorong lahirnya suatu keputusan kebijakan publik.
Dalam dinamika komunikasi kebijakan publik saat ini, teori agenda setting yang diperkenalkan pertama kali oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw menjelaskan bagaimana media berperan besar dalam menentukan isu-isu mana yang menjadi fokus perhatian publik. Sejalan dengan Abdi et al. (2024) dalam artikelnya yang berjudul “The Impact of Viral Content On Public Policy: A Systematic Literature Review On Institutional Responses To Online Public Aspirations”, menyebutkan bahwa pemberitaan viral memiliki pengaruh besar terhadap jalannya proses peradilan karena mampu meningkatkan tekanan dari masyarakat dan membentuk persepsi terhadap isu yang kemudian memengaruhi respons lembaga terkait.
Fenomena viral based policy memang menunjukkan bahwa pemerintah cukup responsif terhadap suara masyarakat yang disuarakan lewat media sosial. Namun, respons ini juga memberikan kesan bahwa pada era digital saat ini, pemerintah sering kali baru bertindak setelah suatu isu menjadi viral tanpa adanya mekanisme policy planning yang matang dan berkelanjutan.
Saputra et al. (2025), dalam studinya yang berjudul “Dinamika Kebijakan Publik di Indonesia dalam Menghadapi Isu Viral: Antara Respons dan Tantangan Implementasi”, menyatakan bahwa tanpa perencanaan yang matang, kebijakan sering kali menghadapi hambatan pada proses implementasinya, mulai dari resistensi masyarakat, inkonsistensi regulasi, hingga potensi pelanggaran hukum yang lebih tinggi. Fenomena viral based policy di Indonesia menggambarkan adanya disfungsi dalam sistem pemerintahan yang seharusnya sesuai dengan nilai-nilai good governance, seperti akuntabilitas, transparansi, dan efektivitas kebijakan.
Sebagai bentuk upaya perbaikan, pemerintah perlu memperkuat mekanisme evidence based policy, yaitu kebijakan yang didasarkan pada riset, data, dan kebutuhan nyata masyarakat, bukan sekadar menanggapi isu yang tengah viral di kalangan masyarakat. Pemerintah perlu menunjukkan bahwa setiap kebijakan publik yang dibuat didasarkan pada perencanaan yang matang dan riset yang mendalam. Dengan demikian, kepercayaan publik dapat meningkat apabila pemerintah mencerminkan keseriusan dalam memahami persoalan secara utuh dan mencari solusi yang memiliki dampak nyata.