Belakangan ini, hampir setiap hari pemerintah melalui pers mengirim berita buruk ke masyarakat yang di komsumsi sebahagian besar melalui media sosial. Berita-berita yang muncul kerap menunjukkan kontestasi permasalahan, tantangan, atau situasi rumit yang dihadapi negara. Kondisi ini menciptakan arus informasi yang penuh dengan isu-isu kontroversial, kebijakan yang diperdebatkan, serta berbagai peristiwa yang memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang komunikasi dan interaksi yang sehat, justru dipenuhi dengan narasi yang membangun kecemasan dan ketidakpastian.
Menurut laporan yang dirilis oleh We Are Social, jumlah pengguna media sosial di Indonesia pada tahun 2024 mencapai sekitar 139 juta orang. Angka ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari total populasi Indonesia, tepatnya 49,9%, telah bergumul dengan berbagai platform media sosial. Kelompok usia yang paling dominan dalam penggunaan media sosial berkisar antara 16 hingga 64 tahun, hal ini mengindikasikan bahwa media sosial telah menjadi kampung digital sebagaimana yang dicetuskan oleh McLuhan.
Sementara itu, data terbaru dari DataReportal yang dirilis pada Januari 2025 menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengguna media sosial di Indonesia, yang kini mencapai 143 juta orang. Dengan angka tersebut, proporsi penduduk Indonesia yang aktif menggunakan media sosial naik menjadi 50,2%. Hal ini menunjukkan tren pertumbuhan yang terus berlanjut dalam adopsi media sosial di berbagai lapisan masyarakat. Dari jumlah pengguna tersebut, sekitar 126 juta orang berusia 18 tahun ke atas, yaitu sekitar 62,7% dari total populasi orang dewasa di Indonesia.
Peningkatan jumlah pengguna media sosial ini menunjukkan betapa media sosial agaknya telah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Ada banyak faktor mengapa orang cenderung berselancar di media sosial, hal itu didorong; Pertama, penjualan perangkat seluler yang semakin massif dengan harga yang cukup affordable.
Kedua, harga paket data yang cukup terjangkau, banyak ruang publik yang menyediakan wifi, dan menjamurnya café-café sebagai ruang interaksi kekinian. Terakhir, selain perkembangan fitur-fitur yang semakin beragam, media sosial juga memanjakan penggunanya untuk terus eksis, kecenderungan inilah yang kadang menjadikan individu penggunanya terjebak pada aku upload story maka aku ada.
Meminjam istilah Jean Baudrillard, tentang hiperrealitas, di mana batas antara realitas dan representasi menjadi kabur. Dalam konteks media sosial, seseorang bisa membangun citra yang berbeda dari kehidupan nyatanya, mencreate versi terbaik dari dirinya untuk mendapatkan pengakuan. Fenomena ini sering kali memicu tekanan sosial, di mana para individu merasa harus terus mempertahankan eksistensinya di media sosial mereka agar tetap relevan di mata orang lain.
Sementara itu, Erich Fromm dalam bukunya To Have or To Be ? mengkritisi bagaimana manusia modern lebih fokus pada kepemilikan dan pengakuan daripada ke-otentikannya. Dalam konteks media sosial, seseorang kerap lebih caring for pada jumlah pengikut dan interaksi daripada makna dari eksistensi mereka sendiri. Ini menunjukkan bagaimana media sosial telah menggeser fokus manusia dari “menjadi” ke “memiliki”, memiliki validasi, pengakuan, dan eksistensi digital yang terus candu.
Perdebatan teoritis di atas menegaskan bahwa di era digital ini, manusia semakin dihujani oleh arus doktrin eksistensialisme. Bahkan, media sosial kini dituding sebagai kekuatan yang mereduksi nilai-nilai sakralitas, menggeser makna ritual dari ranah spiritual yang khusyuk menuju ruang virtual yang penuh eksposur.
Ibadah, yang sejatinya merupakan manifestasi hubungan transendental antara manusia dan Tuhan, perlahan bergeser menjadi tontonan publik. Dalam lanskap digital yang semakin hegemonik, fenomena siaran langsung salat tarawih melalui TikTok menciptakan satu tren kontroversial. Para imam tarawih yang menampilkan diri mereka dalam ruang digital menimbulkan polemik di ruang publik, apakah ini merupakan inovasi dalam dakwah digital untuk memperluas jangkauan syiar Islam, atau justru bentuk banalitas religius yang menunjukkan adanya nawaitu (baca:niat) mengkomersialisasi ibadah atau satu bentuk degradasi kekhusyukan dalam menjalankan ritual keagamaan ?
Konsep puasa dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan menahan lapar dan haus semata, tetapi juga menahan hawa nafsu, termasuk dalam hal mencari validasi sosial. Puasa media sosial kini dapat menjadi diskursus populer di tengah gelagak virus live tik-tok yang mewabah saat beribadah, agar menjadi ruang reflektif bagi individu untuk membatasi atau bahkan berhenti menggunakan media sosial sementara waktu agar menghindari distraksi dan lebih fokus pada ibadah serta refleksi diri.
Puasa media sosial, dalam kaitannya dengan fenomena live shalat tarawih, bisa menjadi solusi bagi mereka yang ingin kembali kepada esensi ibadah yang lebih khusyuk. Bukan berarti menolak media sosial sepenuhnya, tetapi lebih kepada bagaimana menggunakannya dengan bijak dan proporsional. Jika media sosial memang harus digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai keagamaan, maka harus dilakukan dengan cara yang tetap menjaga kesakralan ibadah, tanpa mengubahnya menjadi sekadar tontonan digital.
Pada akhirnya, puasa media sosial selama Ramadan bisa menjadi latihan spiritual yang tidak hanya menahan diri dari konsumsi konten berlebihan, tetapi juga dari hasrat eksistensial yang sering kali membuat manusia lebih peduli pada citra digital dibandingkan makna hakiki dari ibadah. Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk kembali kepada refleksi diri, bukan sekadar ajang berbagi pengalaman spiritual yang dikonsumsi oleh algoritma media sosial.