Barangkali ini yang saya rasakan ketika menjajaki jalan-jalan di Bekasi. Hampir gak ada jalan yang gak rapuh, berlubang, dan bergelombang. Entah ini siasat untuk melatih skill berkendara para warganya, atau memang kurangnya anggaran dan kepekaan dari pemerintah setempat untuk mengatasi wilayahnya yang semrawut.
Saya dan kawan-kawan di Bekasi, tentu sudah begitu khatam dengan sebutan Dari Planet yang Lain, karena sebetulnya memang benar. Bagi kota besar sub metropolitan, agak nya lumayan jomplang dengan kota-kota tetangga. Coba bayangkan aja, motor Beat karbu sekecil itu harus berkelahi dengan truk container besar di jalan Kalimalang setiap hari. Maka kemudian timbul pertanyaan, apakah lubang di sepertiga kilometer jalan menuju Pondok Gede terlalu redup oleh UMR Bekasi yang tinggi?
Jalan Tengkorak Kalimalang
Kalimalang sepanjang 20 kilometer yang membentang dari Cawang sampai Bekasi ini bisa dibilang salah satu Kali yang cukup terkenal buat warga Jakarta-Bekasi, bahkan sampai luar kota. Terkenal di sini bukan karena keindahannya, tapi karena prihatinnya saya dan pengguna jalan lainnya dengan kondisinya yang gitu-gitu aja.
Buat yang belum tahu, jalan Kalimalang itu terbagi antara Jakarta dan Bekasi. Jadi, kalau mau ke Jakarta tanpa lewat toll, kita bisa tuh ikutin Kali ini dari ujung ke ujung. Makanya Iwan Fals sampai bikin lagu yang judulnya Ujung Aspal Pondok Gede, karena ya beneran kalau sampai ujung kita bakalan tiba di Jakarta. Cuma ya pasti berasa banget capeknya, soalnya harus beradu sama mobil-mobil besar dan jalan yang berlubang. Bukan cuma itu, proyek galian yang gak kelar-kelar di pinggir jalan juga sering banget bikin jalanan yang udah sempit makin nambah sempit.
Kalau kita start dari Cikarang buat ke Bekasi Timur, jalan ini faktanya cuma ada dua ruas lajur. Satu lajur arah Bekasi, satunya lagi arah Cikarang. Bekasi bahkan masih kalah jauh dari kondisi jalan rute Semarang-Solo, yang UMR nya bahkan cuma setengah lebih dikit dari UMR Bekasi. Tapi mereka bisa tuh punya 4 lajur, 2 arah Solo dan 2 arah Semarang, gak perlu takut nabrak dari lawan arah juga karena ada ada pembatasnya.
Padahal, setiap harinya orang-orang yang lewat di jalan Kalimalang ini gak cuma kendaraan pribadi aja, tapi juga puluhan truk container pabrik yang hilir mudik bareng sama pemotor, persis kaya jalan Semarang Ungaran.
Sebenernya, lajur Kalimalang Cikarang-Bekasi Timur punya sisi sebelahnya yang masih kosong, beberapa bahkan udah ada yang dicor buat dijadikan jalanan. Tapi yang saya bingung sampai sekarang, gak pernah sekalipun ada upaya serius buat bikin jalanan itu jadi bener-bener lebar dan ada pembatas di tengahnya. Jadi seolah pemerintah setempat ngecor sisi sebelahnya cuma buat tempat kita ngebalap container doang, gak sedikitpun diperpanjang proyeknya. Dan ngecornya pun tanggung banget, setengah-setengah, kaya cuma 500 meter, terus nanti ada lagi di 500 meter berikutnya.
Lubang Dimana-mana
Selain jalannya yang sempit dan butuh skill khusus, saya juga harus selalu waspada sama lubang-lubang yang mengintai di ruas-ruas jalan ini. Akibat jalanan yang sering dilewatin sama kawanan Optimus Prime, sebenarnya bukan gak heran kalau jalanan ini bisa sampai begitu berlubang.
Karena kendaraan sebesar pengangkut trafo yang sempet viral tempo hari lalu, itu aja lewatnya Kalimalang. Kebayang kan semultifungsi apa jalanan ini, muat untuk semua kendaraan dari yang paling kecil sampai yang terbesar sekalipun. Ditambah lagi kalau kondisinya abis hujan di malam hari, penerangan yang minim dan jalanan yang licin bisa jadi combo yang aduhai buat uji nyali.
Kesenjangan Kabupaten dan Kota
Barangkali hal yang saya ceritakan di atas adalah bentuk kesenjangan antara pemerintah Kabupaten dan Kota Bekasi terhadap wilayahnya sendiri. Karena meskipun ruas jalanan di wilayah Kota Bekasi gak cukup baik, keprihatinan lajur Bekasi Timur-Cikarang memang valid dan semrawut adanya. Persoalan lajur yang saya sebutkan tadi juga agak sedikit berbeda ketika kita masuk ke wilayah Kota Bekasi. Di sana kendaraan seperti container dan truk-truk besar gak diperbolahkan melintas, yang mungkin karena di sana pusat bisnis dan pemerintahan jadi biar lebih tertib dan tertata pada umumnya.
Mesipun toll Becakayu sepanjang ruas Bekasi-Cawang gak sedikitpun estetik buat saya, kondisinya masih lebih mending kalau dibandingkan sama ruas Bekasi Timur-Cikarang tadi. Meskipun, kuantitas lubangnya hampir mirip, tapi kami para pengendara motor masih punya keleluasaan yang besar untuk menyalip.
Tapi hal ini tetap gak menutup fakta, kalau jalanan di Kota Bekasi tetaplah sempit dan semrawut. Seolah gak sekalipun pakar tata wilayah dan kota dilibatkan dalam setiap proyek-proyeknya. Alhasil, selain debu yang berhamburan melintasi setiap jengkal jalan-jalan itu, kebingungan juga turut memuncak ketika melihat lampu merah demi lampu merah yang ala kadarnya dan begitu aneh.
Siapa yang gak kesal sama lampu merah Bekasi Barat dan Bekasi Timur yang kontur jalannya tiba-tiba lebih tinggi di tengah-tengah perempatan? Atau kelola jembatan penyebrangan jalan yang kayanya bukan hal penting di Bekasi.
Berapa banyak JPO yang benar-benar berguna di Bekasi? Bahkan sekelas Stasiun Bekasi aja di depannya gak punya JPO, di jalan yang sekecil dengan orang yang membludak itu. Imbasnya, macet tiap jam berangkat dan pulang kerja cuma jadi umpatan dari hari ke hari. Karena kami sebagai pejalan kaki gak dikasih lahan untuk nyebrang ataupun berjalan kaki yang layak. Bisa aja ditabrak, juga bisa aja kami gak sengaja nabrak.
Isu ini juga lah yang bikin Bekasi gak pernah ramah soal para pejalan kaki. Trotoar cuma ada di tengah-tengah kota yang barangkali itu juga gak bagus-bagus amat.
Kekeliruan yang Masif dalam Membangun Kota
Kota numpang tidur, sepertinya kalimat paling pas yang bisa saya nobatkan untuk kami sebagai orang Bekasi. Masalahnya, para pemangku kebijakan juga sepertinya cuma numpang tidur dan membiarkan segala kerusakan seolah terjadi di berbagai lini. Pun, barangkali dari kami juga terlalu peduli dengan pelik terhadap segala rutinitas di Jakarta, dari isu kota dan pilkada. Sehingga kurang galak untuk mengkritik kota sendiri, untuk menilai dan mendesak para pemerintah berbenah.
Bagi saya, pemerintah Bekasi sudah cukup adil dan merata untuk menilai dan memandang segala persoalan yang ada bersama masyarakatnya. Adil dan merata untuk kami sama-sama dibiarkan berjuang di tengah kemacetan, di sempitnya jalanan, tanpa akses pejalan kaki dan transportasi yang memadai. Kami dibiarkan untuk memiliki semangat susah senang bersama untuk kesulitan yang merata.