Terlepas jarak tempuh yang dianggap mendekati perjalanan antar planet, kota bekasi punya jurus pamungkas kalau berhadapan dengan Pemprov DKI. Jurus ini bernama jurus sampah. Pada periode sebelumnya, dengan jurus sampah, dana kompensasi sampah tidak lagi diberikan melalui pihak swasta, tetapi langsung ke APBD Kota Bekasi.
Walikota Bekasi meminta ke Gubernur DKI waktu itu untuk menaikkan kompensasi sampah dan meninjau kembali kebijakan tahun-tahun sebelumnya. Karena keampuhannya, jurus ini pun kembali dikeluarkan, setahun setelah Gubernur DKI berganti.
Argumentasi yang dibangun sebenarnya cukup relevan. Permasalahan sampah hanya satu dari banyak masalah sosial yang muncul di kota satelit seputaran ibukota. Kompleksitas masalah seperti kamacetan, kependudukan, perumahan, air bersih, sampai sampah yang menjadi problem kota metropolitan diadopsi kota-kota ini.
Sayangnya, kota seperti Bekasi, Bogor dan Tangerang tertatih-tatih mengantisipasi. Intinya tak jauh pada minimnya anggaran, seperti Gubernur Anies sampaikan. Bayangkan kota tingkat II dengan APBD seadanya menghadapi persoalan ibukota.
APBD Kota Bekasi tahun 2018 berjumlah 5,6 triliun, dengan jumlah penduduk 2,6 juta di wilayah sebesar 210 km2. Kalau kita bandingkan dengan Jakarta. APBD Jakarta tahun ini mencapai 80 T dengan luas wilayah 661 km2 dan jumlah penduduk 10,37 juta. Harusnya memang membandingkan Jakarta dengan Jawa Barat atau Banten sebagai provinsi. Namun, posisi Bekasi langsung bersebelahan dengan DKI.
Bahkan susah untuk memisahkan penduduk Bekasi dan penduduk Jakarta, karena pada siang hari aktifitas kehidupan terkonsentrasi di Jakarta. 90 persen wilayah kota bekasi diperuntukkan untuk perumahan, sisanya untuk jasa dan industri. (Kota dan Kabupaten Bekasi suka dikira satu, Kabupaten Bekasi memang daerah Industri). Dan hampir sepertiga APBD mereka dialokasikan untuk bidang transportasi.
Yang menarik sebenarnya adalah bagaimana walikota Bekasi mampu mengangkat isu ini menjadi konsumsi publik secara luas. Truk-truk sampah yang menuju bantar gebang, ditahan dan diperiksa kelengkapannya. Truk yang tidak memakai penutup kemudian tidak diperbolehkan melanjutkan perjalanan.
Seakan-akan mau bilang, kalau cuma lihat perjanjian kerjasamanya seperti yang dilakukan gubernur jakarta, banyak loh pelanggaran yang dilakukan oleh truk-truk sampah ini. Secara administratif, Seperti Anies katakan, harusnya Bekasi meminta tambahan APBD ke Jawa Barat. Karena kewajiban jakarta terhadap sampah sudah dipenuhi seperti yang disebutkan dalam perjanjian.
Tapi rupanya Pepen (nama panggilan walikota Bekasi), lebih suka ngeributin Jakarta. Ini bukan tanpa alasan, dan bukan soal Bantar Gebang an sich. Ada masalah apatisme, pasrah atau sikap tak mau tau dari penduduk kota Bekasi terhadap pemeritahannya. Gampangnya ini dapat terlihat dari rendahnya partisipasi politik dalam pilkada baru-baru ini. Pemilih di kota Bekasi harusnya mencapai 2 juta, sedangkan DPT ditetapkan sebanyak 1,4 juta. Dan yang menyalurkan suara hanya satu juta orang. Artinya ada separuh lebih penduduk Bekasi tidak mau tahu terhadap pemerintahan kotanya.
Rutinitas harian yang cukup tinggi penduduk bekasi mungkin menyebabkan partisipasi politik menjadi rendah. Hal lainnya adalah minimnya media mainstream yang mengcover isu-isu lokal yang muncul. Dan persoalannya lagi-lagi, isu lokal ini tenggelam oleh keriuhan isu nasional dan ibukota.
Media lokal tidak terbaca karena masyarakatnya juga mengkonsumsi media nasional. Ada jarak antara masyarakatnya dengan pemerintahan. Dan media yang menjembatani juga sangat terbatas. Akan susah mencari penduduk Bekasi yang hafal siapa nama ketua DPRD atau nama kepala-kepala dinas.
Bahkan walikota bekasi tidak akan pernah kelihatan dihadapan publik kalau tidak berdampingan dengan gubernur jakarta, seperti yang baru-baru ini kita saksikan. Mengangkat isu sampah menjadi isu nasional adalah tujuan penting dari komunikasi walikota Bekasi. Selain masalah bantar gebang itu sendiri. Paling tidak masyarakat Bekasi bisa menilai bahwa pemerintahan kotanya berjalan sebagaimana mestinya.
Apatisme dalam kebijakan publik hadir ketika kebijakan lahir dari elit dan jauh dari ruang diskusi masyarakat. Kebijakan publik dalam model elite adalah preferensi dari nilai-nilai elite yang berkuasa. Teori model elite mensyaratkan bahwa rakyat dalam hubungannya dengan kebijakan publik hendaknya dibuat apatis atau miskin informasi.
Dalam hal kota bekasi, hal ini terjadi secara natural seperti yang kita sebutkan tadi bahwa karena kondisi geografis yang dekat ke ibukota, maka isu lokal tenggelam dengan sendirinya. Sehingga perubahan kebijakan publik dimungkinkan sebagai suatu hasil dari merumuskan nilai-nilai elite tersebut yang dilakukan oleh elite itu sendiri.
Ada beberapa isu terkait ibukota yang lahir yang sepertinya hanya berasal dari elit, misalnya lahirnya menteri khusus yang menangani kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur. Atau isu penggabungan wilayah-wilayah tersebut menjadi satu kesatuan wilayah untuk memudahkan pemerintahan.
Dan yang terakhir, yang sering timbul tenggelam adalah isu mengenai pemindahan ibukota. Isu-isu ini seperti menjadi permainan kata yang jauh dari realita. Muncul disaat-saat dibutuhkan. Masalah sampah muncul kalau sudah mendekati akhir tahun, Masalah tata ruang dan vila tanpa izin diomongin kalo jakarta lagi banjir. Kebijakan lalu lintas dan transportasi masal juga pada teriak kalo kemacetan sudah dirasa sesak.
Pepesan-pepesan kosong politisi inilah yang kemudian melahirkan sikap apatisme warga. Tahun 2013, menurut survey indikator politik, ada 58 persen warga yang tak lagi percaya terhadap lembaga politik. Jika lihat partisipasi warga pada pilkada, hal ini terlihat jelas, terutama di daerah daerah penyangga ibukota.
Di Banten misalnya, perolehan suara Gubernur Wahidin-Andika kalah oleh warga yang tidak memberikan hak pilihnya yang mencapai 37 persen. Demikian pun di Kota dan Kabupaten Bogor, maupun Bekasi. Di Kabupaten Bekasi lebih parah, ada 60 persen hak suara yang tidak disalurkan. Bupati Bekasi Neneng Hasanah terpilih dengan suara 471 ribu orang dan yang tidak memilih mencapai 700 ribuan orang.
Jakarta dan daerah penyangga ibukota harusnya bisa segera mendapat solusi yang komprehensif. Bukan setengah-setengah. Aturan ganjil genap terbukti mengurangi kepadatan. Sudah waktunya memberikan kebijakan-kebijakan publik yang melibatkan publik sekaligus aplikatif.
Demikian juga di daerah seputaran Jakarta. Memberikan dana hibah ke Bekasi memang tidak serta merta menyelesaikan masalah. Perlu juga dilihat secara rinci buat apa dana tersebut digunakan. Agak aneh misalnya kalau dana tersebut dibuat untuk pembuatan Gapura selamat datang dan sebagainya yang secara langsung tidak berhubungan dengan masalah metropolitan.
Kalau kita lihat di Bekasi Timur, Gapura Selamat datang kota Bekasi besarnya gak ketulungan. Anehnya di tempat yang sama, sepanjang jalan Joyomartono kemacetan semakin panjang karena Pemda Bekasi mengijinkan PO bus AKAP membuat terminal bayangan. Masalah pun tak ada habisnya.