Saya tercengang seperti reaksi dua musisi klasik ini waktu mendengarkan musik yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan. Ternyata musiknya cukup bagus dan tidak mudah dibedakan dari musik buatan manusia.
Video tersebut diawali dengan pembahasan karya musisi klasik yaitu Schubert Unfinished Symphony. Bagian yang mencengangkan adalah seorang komposer dari Amerika meneruskan karya Schubert dengan bantuan kecerdasan buatan yang dijalankan di smartphone. Aplikasi kecerdasan buatan membaca pola melodi yang dibuat oleh Schubert sehingga bisa membuat keputusan di mana notasi-notasi musik akan ditempatkan. Singkatnya, aplikasi itu akan berpikir layaknya Schubert dalam membuat karya musik.
Di Indonesia beberapa artikel telah membahas penggunaan kecerdasan buatan dalam dunia musik, misalnya dalam artikel yang menjabarkan riset kecerdasan buatan di suatu universitas di Inggris.
Para penelitinya meminta seorang musisi untuk menilai karya musik yang dihasilkan alat dengan kecerdasan buatan. Kesimpulannya, musik yang dihasilkan memang ada kekurangan di beberapa bagian seperti komposisi nada yang terlalu acak, sehingga tetap perlu sentuhan manusia.
Musisi tersebut mengungkapkan bahwa tidak takut dengan peran teknologi kecerdasan buatan dalam musik. Bahkan menurutnya, teknologi itu diharapkan bisa membantu musisi jika mendapat proyek dalam skala besar. Dalam bayangannya, dia berharap bisa mengisi beberapa parameter lewat komputer seperti mood, nama komposer favorit atau yang dijadikan rujukan. Berdasarkan parameter tersebut, nantinya kecerdasan buatan bisa memberi arahan struktur dasar nada-nadanya.
Dalam opini yang dimuat dalam situs Serunai.co, seorang etnomusikolog membahas prediksi perubahan tren musik dengan adanya kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan memang telah berperan dalam komposisi musik seperti yang telah dilakukan oleh Taryn Southern dalam lagu popnya.
Penulis mengutip prediksi dari penulis buku terkenal Yuval Noah Harari yang memperkirakan bahwa semua pekerjaan di pasar akan dimonopoli oleh kecerdasan buatan. Makanya penulis mewanti-wanti pada para musisi agar terus mengasah bakat, perspektif dan wawasan dalam bermusik untuk menghadapi kecerdasan buatan di masa depan.
Penulis masih optimis jika kecerdasan buatan tidak akan melampaui karya megah klasik dan musik tradisional seperti Bali. Namun dalam video YouTube di atas, kecerdasan buatan mulai membuat komposisi musik klasik. Dalam artikel sebelumnya, kecerdasan buatan mampu menirukan musik Celtic atau tradisional dari Irlandia & Scotlandia. Ini jadi bukti jika perkembangan kecerdasan buatan memang sudah cukup pesat.
Berbeda dengan artikel-artikel di atas, dalam video YouTube yang dibahas sebelumnya, ada perspektif berbeda yang disampaikan dua musisi itu.
“Can AI achieve heart & soul?” (mampukah kecerdasan buatan menyamai hati dan jiwa?)Pertanyaan tersebut memantik saya untuk berpikir esensi musik yang sebenarnya. Apakah dia hanya bunyi-bunyian tanpa makna atau bentuk ekspresi emosi manusia?
Douglas Hofstadter, seorang profesor ilmu kognitif dan ilmu komputer dari Amerika menaruh perhatian khusus terhadap musik dari kecerdasan buatan ini. Dia mengatakan bahwa musik adalah bahasa emosi, dan ke depan mungkin ada tiruan yang dangkal terhadap musik yang telah ada sebelumnya.
Bahkan menurutnya, jika ada produksi musik yang diprogram untuk meniru musisi klasik seperti Chopin atau Bach, seandainya mereka hidup lebih lama, maka itu cukup memalukan karena telah meremehkan kedalaman jiwa manusia. Dia menambahkan bahwa hingga pada titik di mana suatu program punya emosi yang kompleks seperti manusia, program itu tidak akan menemukan jalan untuk menulis musik yang indah.
Musik adalah representasi emosi manusia, jadi akan aneh rasanya ketika digantikan dengan barisan kode dan algoritma. Atribut manusia tidak bisa dianggap sepele dan dengan mudahnya didefinisikan oleh sekumpulan algoritma yang seolah-olah mampu mewakili jiwa manusia. Jika musik bisa diwakilkan oleh kecerdasan buatan, lalu apa maknanya membuat musik bagi manusia?
Perspektif dari dua musisi di video itu dan Hofstadter masih jarang dibahas dalam wacana penerapan kecerdasan buatan dalam dunia musik. Sebagian besar hanya menyorot tentang kecerdasan buatan yang akan menggantikan manusia dalam membuat musik. Tidak salah memang, namun ada pandangan lain yang juga esensial jika kita melihat dari aspek manusia sebagai makhluk yang punya emosi dan perasaan untuk diungkapkan.
Jika hal tersebut diabaikan, dikhawatirkan nasib musik ke depan hanya sebatas bunyi-bunyian yang tidak merepresentasikan emosi manusia, meskipun terdengar indah.Mungkin tidak hanya musik, pada bidang lain di mana emosi manusia diekspresikan, kita perlu mempertanyakan, sejauh mana kecerdasan buatan bisa berperan, kolaborasi dengan manusia atau menggantikan peran manusia?
Sumber gambar : Photo by Possessed Photography on Unsplash