Rabu, April 24, 2024

Musik, Konser Amal, dan Polemiknya

Aris
Aris
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Di tengah pandemi, musisi bergerak menghimpun donasi. Musik tidak saja menjadi katalisator pemenuhan kebutuhan estetis, namun juga bermisi kemanusiaan. Tanggal 11 April 2020, Didi Kempot melakukan konser amal dari rumahnya di Solo. Disiarkan salah satu televisi nasional dan mendapatkan donasi sebesar 7,6 miliar rupiah.

Disusul kemudian konser bertajuk “Solidaritas Papan Atas” pada 10 Mei 2020, melibatkan kurang lebih 300 musisi (beberapa di antaranya; Iwan Flas, Agnez Mo, Via Vallen) dan meraup 12 miliar rupiah. Tanggal 16 Mei 2020, konser bertajuk “Solidaritas Jaga Indonesia” berhasil menghimpun 5 miliar rupiah.

Terbaru, konser yang diiniasi oleh Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) bekerjasama dengan MPR-RI dan Gugus Tugas Covid-19 dengan tajuk “Bersatu Lawan Corona” pada 17 Mei 2020 berhasil mengumpulkan 4 miliar. Rentetan itu belum termasuk konser-konser mandiri yang dibuat musisi di rumahnya masing-masing dengan tujuan yang sama.

Tidak semua konser tersebut mendapatkan apresiasi positif dari pubik. Konser “Bersatu Melawan Korona” misalnya, kala itu dianggap menyinggung umat Islam yang sedang khusyuk menghadapi sepuluh hari terakhir ramadhan. Bahkan, pandangan demikian dengan segera dijadikan komoditas politik oleh sebagian politisi yang beramai-ramai mengutuk konser amal tersebut.

Pada konteks inilah kita melupakan bahwa, konser musik tersebut berlangsung secara “daring”, alias tidak sungguh-sungguh nyata ada di depan kita, tetapi lewat gawai di genggaman, laptop ataupun layar televisi di rumah. Peristiwa yang demikian menuntut pembacaan sekaligus pemaknaan lebih jauh tentang arti penting kata “hadir” bagi penonton di konser musik virtual itu.

Kuasa Penonton

Apa yang membedakan konser amal itu dengan sajian serupa di kanal-kanal media sosial semacam youtube, facebook, instagram muapun podcast? Tidak lain karena konser itu dilakukan secara langsung (live), sehingga memungkinkan penonton dapat menikmati detik itu juga.

Tetapi bukankah segera konser live itu juga menjadi sebentuk “rekaman” atau dokumentasi, yang kapanpun bisa kita nikmati ulang dengan sekali klik? Konser musik dalam situasi pandemi menihilkan peran pentonton secara langsung di panggung. Tubuh penonton itu direduksi menjadi angka-angka yang dapat kita baca di kanal youtube misalnya dengan nama “dilihat berapa kali” serta berapa yang suka (gambar jempol ke atas), berapa yang tidak suka (gambar jempol ke bawah), serta berapa yang berlangganan (subscribe). Kehadiran tubuh penonton mengecil, terwakili lewat satu sentuhan jari.

Ketidaknyataan konser di depan mata, dan tidak hadirnya tubuh penonton secara langsung, memungkinkankan konser tidak harus ditonton secara serius dan utuh dari awal hingga akhir. Dalam menikmati konser, publik tentu masih bisa memasak, menyapu, mengepel, mencuci dan makan es buah atau bahkan melihat sekilas untuk kemudian diganti aktivitas lain seperti membaca misalnya.

Sama seperti menyaksikan sinetron di televisi, kita bisa mengubah saluran kapanpun ataubahkan mematikannya. Sayangnya, tidak sedikit publik yang cenderung menganggap konser daring itu sebagai sebuah pertunjukan musik pada umumnya, di mana penonton seolah secara sadar hadir tepat di depan panggung, membeli tiket, ikut menyanyi dan bergoyang, sehingga waktu sepenuhnya tercurahkan untuk konser itu. Padahal realitasnya tidaklah demikian. Oleh karena itu, konser musik virtual yang dianggap menganggu kenyamanan sejatinya tidal lagi relevan.

Pemegang Kuasa

Penonton koser virtual adalah pemegang kuasa dan kontrol atas dirinya, terkait apa-apa yang boleh atau harus dilihat dan didengar. Kuasa itu berupa kemampuan dan kemauan untuk sekadar mematikan dan menghidupkan layar televisi dan gawai. Dan itu bukanlah sesuatu yang sulit.

Di satu sisi, konser musik virtual meringkas berbagai hal menjadi lebih efesien (walau belum tentu efektif) seperti tata panggung, lampu dan pengeras suara. Tetapi pada saat yang bersamaan menghilangkan kesan “performance scape” atau suasanya pertunjukan yang senyatanya.

Oleh karena itu, seringkali muncul pertanyaan, kenapa kita rela menonton pertunjukan musik Didi Kempot secara langsung kendatipun lagu-lagunya dengan mudah dapat kita temukan dan dengarkan di youtube misalnya. Hal itu tidak lain dikarenakan, bahwa kita tidak mau kehilangan suasana pertunjukan, ambiance atau getaran-getaran musikal seketika yang tidak dapat kita jumpai dalam konser daring.

Penikatan yang demikian membutuhkan konsentrasi penuh, yang terfokus pada apa yang dilihat dan didengarnya, tidak di luar itu. Sebaliknya, konser daring mendekonstruksi semua itu, penonton rentan dengan jemu dan kebosanan karena monoton berhadapan dengan layar yang tunggal. Dengan kata lain tidak memiliki kontrol atau kebabasan dalam daya penikmatan.

Panggung pertunjukan itu semacam ruang yang mempertemukan tubuh-tubuh penonton dalam hajat yang sama. Kebersamaan itu yang dirindukan, sebagaimana berjoget dan bernyanyi serempak. Kondisi pandemi, menjadikan penonton sebagai pemilik kuasa atas pertunjukan yang hendak dinikmatinya, dan hal ini tentu akan mengubah gaya pementasan musik ke depan.

Konser musik virtual yang bertujuan menggalang dana untuk kemanusiaan di hari ini, kendatipun menyisahkan banyak celah (baca estetis), sudah selayaknya dibaca dalam episentrum kultural, sebagai sebuah sikap kegotong-royongan membantu sesama yang sedang kesusahan. Tidak selayaknya pula harus dibenturkan dengan persoalan lain yang justru seringkali tak memiliki hubungan atau konteks keterkaitan secara langsung, apalagi untuk urusan yang cenderung politis.

Aris
Aris
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.