Rabu, April 24, 2024

Keterasingan Kepala Sekolah dalam Ruang Politik

Akbar Mawlana
Akbar Mawlana
Mahasiswa Sosiologi dan founder Arena Sosial.

Pendidikan telah kehilangan nilai luhurnya. Menurut Faqih (2011) keberadaan pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan kepentingan politik. Pendidikan bukan lagi  digunakan sebagai arena untuk mendewasakan manusia. Saat ini, pendidikan berubah menjadi alat yang berkelindan sebagai politik praktis. Kondisi tersebut telah terjadi di Indonesia sejak masa orde baru, di bawah kepemimpinan Soeharto yang dikenal otoriter dan gila kekuasaan.

Selama pemilu masa Orde Baru, Soeharto di bawah naungan Partai Golkar dengan begitu mudahnya memenangkan kontestasi politik. Kemudahan Soeharto dalam meraih kemenangan politik tidak bisa dilepaskan dengan cara liciknya untuk mendapatkan suara. Cara yang digunakan dengan memobilisasi suara dari tingkat mikro melalui bantuan dari guru.

Pada masa Orde Baru, guru mengalami represi agar mau menggunakan modal simboliknya untuk memobilisasi massa sebanyak-banyaknya (Wanandi, 2014). Gaya politik Orde Baru masih mengalami reproduksi hingga sekarang. Sehingga tidak mengherankan, apabila guru masih menanggung peran ganda, yakni sebagai pengajar dan alat untuk memenangkan calon kandidat dalam kontestasi politik.

Permasalahan guru yang turut ambil dalam perpolitikan, menjadi cukup pelik jika ditinjau secara struktural. Apabila ditilik dari struktural, ada posisi yang lebih tertindas daripada posisi seorang guru. Yaitu, posisi kepala sekolah yang harus menanggung beban keterasingan.

Berdasarkan informasi dari hasil diskusi sederhana dengan seseorang yang tidak bisa saya sebutkan namanya. Beliau menguraikan jika tidak jarang kepala sekolah ditekan agar mau menggunakan jabatan strukturalnya. Tujuannya adalah untuk mendorong guru agar mau mendukung calon kandidat, terutama di tingkat pemilihan bupati.

Biasanya calon kandidat petahana yang acap kali melakukan manuver kepada kepala sekolah. Cara yang digunakan cenderung mengarah kepada tindakan represif.  Salah satunya adalah  melalui ancaman yang berkaitan dengan pemindahan tempat kerja ke daerah terpencil.

Konstelasi tersebut akan membawa posisi kepala sekolah pada ruang keterasingan. Dapat dianalogikan, posisinya seperti domba yang mau digiring begitu saja oleh pemiliknya. Namun, posisinya juga seperti serigala yang akan membunuh mangsanya (Fromm, 2020a).

Analogi tersebut menggambarkan telah terjadi proses pembentukan sadomasokis dalam jati diri kepala sekolah. Sadomasokis merupakan gabungan antara sikap sadis dan masokis. Secara sederhana, karakter sadomasokis akan membentuk dua tindakan. Tindakan pertama adalah menindas orang lain.  Tindakan kedua adalah menyerahkan dirinya kepada orang lain (baca: penguasa).

Tindakan sadisme terlihat jelas ketika kepala sekolah yang telah dikekang oleh calon kandidat melakukan proses penundukan kepada guru. Proses penundukan dilakukan melalui imaterial dengan menggunakan modal simbolik yang dimiliki oleh kepala sekolah. Melalui modal simbolik yang dimiliki oleh kepala sekolah, akan menciptakan kondisi penundukan secara adaptif dan konsensus. Oleh karenanya, secara perlahan guru akan menjadi patuh  kepada instruksi yang diberikan oleh kepala sekolah.

Berbeda dengan tindakan masokis yang ditunjukkan oleh kepala sekolah. Kepala sekolah akan menjadi patuh kepada penguasa (calon kandidat). Terjadinya  kepatuhan lebih berorientasi pada keinginannya untuk tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

Sebenarnya, bentuk kepatuhan tersebut merupakan perwujudan dari kepatuhan heteronom. Sebuah bentuk kepatuhan yang terjadi ketika seseorang melepaskan otonomi dirinya kepada orang lain. Dampak dari pelepasan otonomi diri kepada orang lain, akan membuat seseorang menjadi takut untuk berkata “tidak”, terhadap apa yang tidak diinginkannya.

Secara kritis, seorang kepala sekolah bisa saja menolak ajakan dari calon kandidat untuk membantu memobilisasi suara dalam pertarungan politik. Mengingat, seorang Pegawai Negeri Sipil,  memiliki perlindungan berupa undang-undang yang bisa dipakai ketika ada intervensi politik kepada dirinya. Hanya saja, kepala sekolah lebih memilih diam. Sebab, posisinya telah terpenjara dalam ketidakberdayaan dan rasa khawatir.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika lembaga sekolah telah kehilangan wujud kesakralannya (Rasuanto, 2014). Hubungan struktural yang terjadi di sekolah bukan lagi didasari pada tindakan yang berlandaskan atas nilai cinta. Melainkan, telah terjadi penghilangan nilai kemanusiaan yang tercipta dari hubungan untuk saling memperalat.

Guru dan kepala sekolah telah disekat dari nilai progresivitas. Guru dan kepala sekolah dipaksa berdiam diri untuk menjadi pelayan. Bukan sekadar pelayan untuk menyalurkan ideologi kapitalistik. Tetapi, juga menjadi pelayan dalam ruang politik.

Pertanyaan dilematiknya adalah apakah kepala sekolah mampu keluar dari posisi keterasingannya di ruang politik? Entah,  yang pasti kesadaran kritis kepala sekolah telah mengalami pemberangusan oleh aktor politik yang telah kehilangan nalar kemanusiaannya.

Akbar Mawlana
Akbar Mawlana
Mahasiswa Sosiologi dan founder Arena Sosial.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.