Nelayan kecil atau nelayan tradisional merupakan salah satu klasifikasi jenis nelayan di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan, pasal 1 angka 11 menyebutkan:
“Nelayan kecil merupakan orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) grosston (GT)”.
Nelayan tradisional dalam melakukan operasi tangkapan ikan ke laut dengan segala keterbatasan, mulai dari kapal kecil, Anak Buah Kapal (ABK) sendirian atau maksimal 3 nelayan, serta peralatan tangkap terbatas sampai jangkauan wilayah tangkapan yang terbatas.
Dengan tekat yang bulat, nelayan tradisonal siap menanggung segala resiko setiap hari berangkat untuk mengarungi lautan tanpa dilengkapi peralatan keamanan diri sesuai dengan standar K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Walaupun demikian, nelayan tetap bekerja melaut untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Nelayan tradisonal bekerja melaut sepanjang tahun kecuali akhir bulan Desember, Januari, dan Februari karena di tiga bulan tersebut terjadi musim barat (baratan). Musim barat terjadi setiap tahun selama kurang lebih tiga bulan, dalam kurun tiga bulan nelayan tradisional praktis libur melalut.
Musim barat di pantai utara pulau Jawa biasanya ditandai dengan angin kencang dari arah barat, gelombang besar bergulung-gulung, serta awan hitam pekat disertai dengan hujan sepanjang hari dan malam.
Selama tiga bulan nelayan tradisional tidak melaut, maka di musim barat nelayan tradisonal bisa disebut dengan miskin temporal. Dari mana mereka memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya selama musim barat berlangsung?
Maka ketahanan pangan nelayan tradisional benar-benar diuji di musim barat, sampai di mana kekuatan dan ketahanan pangan nelayan tradisional, apalagi saat ini bersamaan dengan pandemi Covid-19 gelombang ketiga ditandai dengan menyebarnya varian baru Omicron?
Solusi Ketahanan Pangan Nelayan Tradisional
Konsep Ketahanan Pangan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang didefinisikan sebagai berikut:
“Ketahanan Pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.
Sejalan dengan difinisi di atas, WHO lebih rinci menjelaskan tiga komponen utama dalam ketahanan pangan. Pertama, ketersediaan pangan merupakan kemampuan untuk memiliki sejumlah pangan yang cukup sebagai kebutuhan dasar.
Kedua, akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Ketiga, pemanfaatan pangan merupakan kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional (https://id.wikipedia.org).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 dan komponen yang dipaparkan oleh WHO tentang ketahanan pangan nelayan tradisional tidak masalah, tetapi saat musim barat tiba mereka tidak bisa melaut karena terhalang oleh cuaca ekstrim yang berdampak pada penghasilan berhenti total menjadi masalah.
Ketersediaan pangan dan kemampuan memiliki sumber daya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai negara maritim sangat cukup, kendala yang dihadapi oleh nelayan pada umumnya adalah pergantian musim tangkap menjadi musim ekstrim. Nelayan tradisonal Pantura Jawa menyebut dengan musim barat.
Selain kendala musim barat, nelayan tradisional juga terkendala oleh armada dan peralatan tangkap yang dimiliki. Perahu nelayan tradisional tergolong sangat kecil yang cukup dengan satu sampai tiga ABK sehingga tidak mampu untuk melawan ganasnya musing barat dengan gelombang besar dan angin yang sangat kencang.
Peralatan tangkap yang dimiliki nelayan tradisional juga sangat terbatas, tidak seperti sebelum tahun 1990-an yang memili alat tangkap beragam. Saat ini nelayan tradisional hanya mengandalkan alat tangkap wuwu (bubu), salah satu jenis alat tangkap perangkap rajungan. Praktis nelayan tradisional hanya mengadalkan musim panen rajungan.
Pemerintah Daerah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan bersama dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Rukun Nelayan (RN), organisasi nelayan, dan tokoh masyarakat telah berupaya mencarikan bantuan sembako yang diperuntukan nelayan tradisional ketika musim barat tiba.
Usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan organisasi nelayan merupakan solusi yang baik, tetapi sifatnya hanya sesaat. Jadi subtansinya bukan bantuan sembako yang hanya bertahan beberapa beberapa hari, karena bantuan tersebut tidak cukup untuk menopang kebutuhan keluarga dalam jangka waktu tiga bulan.
Tugas pendampingan yang intensif kepada nelayan tradisional menjadi sangat urgen, terutama pola hidup di kalangan nelayan umumnya konsumerisme. Siapapun mengetahui bahwa nelayan memiliki kebiasaan boros (Jawa: ora eman), nelayan tradisional mempunyai keyakinan besuk rezeki pasti akan mendapatkan kembali.
Maka salah satu solusi baik yang perlu diberikan kepada nelayan adalah pendidikan menabung dengan sistem yang sederhana dan tidak sulit urusannya. Karena umumnya nelayan tradisional tidak suka dengan urusan yang berbelit-belit. Kalau perlu dengan sistem jemput bola, petugas mengambil dari rumah ke rumah.
Saat ini di beberapa daerah sudah ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam jasa keuangan seperti Baitul Mal wa-Tamwil (BMT). Program BMT telah melakukan pendampingan dalam simpan dan pinjam dengan sistem bagi hasil, namun demikian belum semua keluarga nelayan ikut menabung di BMT.
Padahal petugas BMT rela mengetuk pintu untuk menjemput penabung dengan jumlah puluhan ribu dari nasabah ibu-ibu nelayan setiap hari. Kesadaran petugas BMT luar biasa, gebrakan yang tidak pernah dilakukan oleh bank-bank konvensional.
Sudah waktunya pemerintah, staekholder, LSM, organisasi sosial keagmaan, dantokoh masyarakat bergerak bersama untuk memberikan pendampingan dan pendidikan, serta membangun kesadaran nelayan tradisional tentang urgensi gerakan menabung untuk bekal masa depan keluarganya.
Kesadaran melakukan gerakan menabung bagi masyarakat nelayan tradisional setidaknya sebagai salah satu solusi untuk menguatkan ketahanan pangan di kalangan nelayan tradisional. Dengan demikian nelayan tradisional akan mampu mencukupi kebutuhan hidupnya selama musim barat yang terjadi sepanjang tahun.
Nelayan tradisional menunggu campur tangan dan tanggungjawab pemerintah, staekholder, LSM, organisasi sosial keagmaan, dan tokoh masyarakat dalam melaksanakan misi yang baik di atas. Tujuannya untuk membangun ketahanan pangan sehingga terwujud masyarakat nelayan yang mandiri dan bermartabat. (*)
Daftar Referensi
- https://id.wikipedia.org
- Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan
- Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan