Jumat, Maret 29, 2024

Keruh dan Kisruh Menuju Pemilu

Muhammad Sabilul Aslam
Muhammad Sabilul Aslam
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta - Santri Denanyar - Kader PMII Ciputat

Negara Indonesia merupakan Negara yang menganut paham demokrasi. Sistem politik multipartai tentu menjadi sesuatu yang berbeda jika dibandingkan negara yang berfaham sama dimanapun. Dalam proses menjaga demokrasi sebuah negara salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah pesta demokrasi atau yang biasa kita sebut Pemilu (Pemilihan Umum). Tentu, Pemilu menjadi sebuah primadona bagi beberapa kalangan.

Bagi sebagian orang (read;politisi) pemilu tidak hanya memuat persoalan demokrasi saja. Pemilu juga menjadi sebuah ajang untuk melanggengkan kekuasaan dan menggulingkan kekuasaan melalui proses yang sah dan konstitusional. Tak sedikit masyarakat yang menanti ajang pemilu entah dengan antusias maupun dengan melihat pemilu sebagai “pesta bualan politisi belaka”.

Salah satu entitas yang terlibat dalam pemilu adalah partai politik. Semua partai politik pasti mempunyai strategi dan skema pemenangan masing masing, baik untuk kontestasi pilpres, pileg hingga pilkada. Namun yang agak disayangkan adalah merebaknya politik identitas sejak pilpres 2014. Hal ini menyebabkan polarisasi  berkembang pesat di lingkungan masyarakat.

Menurut pengamat politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam, penggunaan politik identitas masih akan terjadi pada pemilu 2024. Pemanfaatan politik identitas masih sangat terbuka lebar jika kelompok konservatif menemukan momentum untuk menabuh gongnya. Lantas apa itu politik identitas? Dimanakah peran partai politik untuk mencegah hal ini? Apa solusinya?

Mengenal Politik Identitas 

Ciri utama dari pemilu adalah adanya partisipasi politik dari warga dalam kehidupannya. Partisipasi dapat beraneka ragam bentuknya, mulai dari yang resmi yaitu mengikuti jalur yang ditetapkan oleh pemerintah sampai kepada bentuk yang tidak resmi. Partisipasi politik memiliki pengertian yang beragam. Partisipasi politik merupakan keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya

Partisipasi politik yang merupakan wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat adalah suatu hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi. Setiap warga dan kelompok masyarakat dalam proses demokrasi memperoleh ruang untuk turut berpartisipasi politik.

Akan tetapi, medium tersebut dipolitisasi oleh kelompok-kelompok atas dasar identitas dalam masyarakat. Kita semua memafhumi bahwa dua kali perhelatan pemilu, politik identitas turut mewarnai dinamika kehidupan masyarakat

Politisasi agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan/kepercayaan dengan menggunakan cara propaganda, indoktrinasi, kampanye, desebarluaskan, sosialisasi dalam wilayah publik dilaporkan atau diinterprestasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan, kemudian dilakukan tekanan untuk mempengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukkan kepentingan sesuatu kedalam sebuah agenda politik pemanipulasian masyarakat atau kebijakan publik.

Agama merupakan sesuatau yang dominan di kalangan masyarakat Indonesia dan mempunyai andil besar terhadap pemahaman masyarakatnya. Dogma agama yang melekat membuat masyarakat tidak bisa lepas darinya, baik itu pendidikan, sosial, pekerjaan, bahkan suksesi kepemimpinan.

Dalam konteks kepemiluan, hal tersebut semakin terasa ketika melihat berbagai media yang menayangkan iklan dari sosok yang dipromosikan oleh partai politik. Tak ketinggalan para Calon Wakil Rakyat maupun Calon Kepala Daerah yang mencoba meraih simpati dengan cara “tebar pesona” yang ujungujungnya tidak lain adalah agar dipilih oleh masyarakat.

Intrik Politik Identitas

Politisasi identitas pasti ada dan terjadi di setiap negara dunia. Di Indonesia, praktik terkati persoalan etnisitas, agama, ideologi, golongan dan kepentingan lokal umumnya diwakili oleh para elit berdasarkan kepentingannya sendiri. Fenomena terjadinya politisasi identitas berbasis agama Kubu-kubu pendukung kandidat saling membentuk poros untuk melawan satu sama lain melalui identitas yang melekat pada karakter personal kandidat yang kemudian diteruskan pada komponen-komponen pendukungnya.

Seperti kasus pilpres 2019 lalu, polarisasi antara kubu Jokowi dan Prabowo itu nyata adanya. Polarisasi antar kubu ini menyiratkan kalangan yang dapat dikategorikan berdasarkan identitas agama. Partai-partai berbasis Islam banyak yang mendukung pendukung Prabowo, seperti PKS dan PAN. Sementara partai berbasis Islam pendukung Jokowi hanya PKB dan PPP. PDIP sebagai partai pendukung utama Jokowi merepresentasikan nasionalis sekuler kiri memberikan warna tersendiri atas kontestasi pemilu dengan nuansa aliran.

Nuasa identitas aliran nasionalis sekuler berhadapan dengan aliran islam memenuhi diskursus rivalitas politik terutama di media sosial. Sepanjang kampanye Pilpres 2019, berbagai kampanye hitam yang memojokkan lawan politik seringkali menyinggung karakteristik agama dan etnis. Misalnya, tuduhan bahwa Jokowi adalah seorang yang lahir dari simpatisan PKI dan keturunan China yang antiIslam. Sementara Prabowo diidentikkan dengan sosok militer diktator dan didukung oleh kelompok Islam radikal serta intoleran. Politisasi identitas mendapatkan momentum pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017.

Pertarungan memperebutkan kursi DKI 1 kemudian dipenuhi oleh sentimen agama semenjak Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, dituduh melakukan penistaan terhadap Islam ketika melakukan pidato kedinasan di Kepulauan Seribu pada September 2016. Setelah potongan video pidato tersebut tersebar luas di media sosial, berbagai kelompok Islam melakukan aksi unjuk rasa baik di Jakarta maupun di daerah-daerah.

Moderasi dan Pendidikan Pemilih Menjadi Solusi

Meski pada pemilu esok diprediksi masih akan diperkeruh dengan praktik kotor politik identitas, namun secara kultur partisipasi pemilih yang akan terlibat dalam pemilu juga berubah. Menurut bebearapa lembaga survey, generasi Z akan mendudukin posisi teratas jumlah pemilu 2024. Karakteristik Gen Z yang kritis dan faham terkait kejelasan informasi memungkinkan untuk mengikis adanya politik Identitas.

Hal yang wajib menjadi pekerjaan rumah bagi semua entitas baik penyelenggara, masyarakat, pemerintah khususnya kandidat dan parpol pada pemilu esok  ialah memahamkan terhadap pemilih bahwa politik identitas itu tak baik dan salah. Pemahaman ini juga terkait dengan moderasi beragama yang dibingkai dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan azas Bhinneka Tunggal Ika. Entitas tersebut mempunyai tanggung jawab lebih terkait hal ini.

Moderasi merupakan hal yang penting di kalangan masyarakat multi kultur seperti Indonesia.  Selain itu pendidikan pemilih tentang wawasan kebangsaan juga tak luput dari perhatian semua entitas. NU, sebagai ormas Islam terbesar yang berwawasan islam damai, harus menjadi pelopor kepada pemilih yang didominasi anak muda agar terbebas dari segala bentuk praktik politik identitas.

Muhammad Sabilul Aslam
Muhammad Sabilul Aslam
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta - Santri Denanyar - Kader PMII Ciputat
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.