Ada banyak sekali film Indonesia yang berlatar kemerdekaan, baik itu yang diproduksi baru-baru ini, maupun yang memang sudah diproduksi lama. Salah satunya adalah film yang berjudul Kereta Api Terakhir. Film yang disutradarai oleh Mochtar Soemodimedjo ini dirilis pada tahun 1981. Film ini diantaranya dibintangi oleh: Gito Rollies, Pupung Harris, Dedy Sutomo, Marlia Hardi, dan sebagainya.
Film ini diadaptasi dari novel karya Pandir Kelana berjudul Kereta Api Terakhir ke Yogyakarta: Roman Revolusi ’45. Pandir Kelana merupakan nama pena dari Mayjen (Purn) RM Slamet Danusudirjo, seorang penulis novel yang mengkhususkan pada diri pada kisah Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Adegan film diawali dengan Letnan Firman bersama dengan 3 orang rekannya, dikejar Tentara Belanda, Prapto salah satu di antara mereka terluka parah dan meninggal. Dengan keberaniannya Firman menghabisi Tentara Belanda yang mengejarnya, hanya tersisa satu yang selamat.
Cerita berlanjut, Letnan Firman dan Letnan Sudadi dipanggil ke Markas Besar Tentara di Yogyakarta, mereka menghadap ke Mayjen Tjokronegoro yang merupakan wakil dari Letjen Oerip Soemohardjo. Di situ dijelaskan terkait situasi dan kondisi, bahwa Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati. Belanda pasti akan bergerak dari Cirebon ke Tegal, yang dari Semarang ke Selatan dan ke Timur. Tegal akan menjadi sasaran utama dari Bandung maupun Semarang.
Dijelaskan menurut rencana bersama Markas Besar Tentara dan Jawatan Kereta Api, semua peralatan kereta api yang bergerak akan ditarik dari Bandung, Pekalongan, Tegal, dan Tasikmalaya menuju Purwokerto. Nantinya kereta api tersebut akan diberangkatkan dari Purwokerto menuju Yogyakarta. Tugas Letnan Firman dan Letnan Sudadi ditugaskan untuk mengawasi perpindahan kereta api dari Purwokerto ke Yogyakarta.
Letnan Firman dan Letnan Sudadi ditemani oleh Sersan Tobing pengawal dari Tjokronegoro. Sesampainya di Stasiun Purwokerto, ternyata kepala stasiunnya adalah teman Letnan Sudadi bernama Kandar. Kemudian mereka bertiga diantarkan menghadap ke Panglima Divisi II Kolonel Gatot Soebroto oleh Gombloh tukang pijat Pak Gatot.
Pak Gatot memerintahkan Letnan Firman dan Letnan Sudadi untuk berdiskusi dengan Kapten Pujo terkait pemindahan kereta api. Setelah berdiskusi Mereka bertiga oleh Kapten Pujo diajak istirahat di rumahnya, di rumah itulah Firman bertemu Retno yang merupakan adik dari Kapten Pujo. Letnan Firman pun langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Letnan Sudadi mengawali kereta api pertama. Letnan Firman dan Sersan Tobing mengawal kereta api terakhir. Para pengungsi juga ikut turut serta dalam kereta untuk mengungsi ke Yogyakarta. Stasiun Purwokerto pun ramai berdesakan penuh sesak orang yang hendak mengungsi. Mereka termakan isu bahwa Tentara Belanda telah sampai Tegal.
Perjalanan kereta api terakhir penuh dengan tantangan dan rintangan, beberapa kali mereka dihujani peluru pesawat tempur cocor merah milik Belanda. Perjalanan beberapa kali terhambat sebab rel kereta api rusak. Di kereta api itu Letnan Firman bertemu dengan orang mirip dengan Retno. Firman bingung sebab Retno sudah berangkat terlebih dahulu menggunakan kereta api pertama. Di akhir film barulah tahu bahwa ternyata mereka berdua saudara kembar yang terpisah.
Banyak sekali kejadian di kereta yang menunjukkan bagaimana perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Semua elemen berkorban, dari mulai kepala stasiun yang dilalui oleh kereta api terakhir, petugas perbaikan rel, hingga kondektur kereta api. Korban dari rakyat juga berjatuhan. Kita diperlihatkan bagaimana heroismenya Kondektur Sastro , ia gugur setelah terowongan hijau, dan dimakamkan di bawah rel kereta api agar bisa terus melihat kereta api yang lewat.
Di kereta api terakhir itu pula Retno dan Letnan Firman membantu ibu-ibu yang hendak melahirkan, lahirlah anak perempuan. Ibu tersebut meminta Retno untuk memberikan nama, terus diberikan nama Retno Firmani.
Setelah perjalanan yang penuh dengan rintangan dan tantangan, sampailah di Stasiun Yogyakarta. Di stasiun itu pula terkuak fakta ternyata Retno kembar yang terpisah sejak lama, dan mereka berdua mencintai orang yang sama. Akhir cerita Letnan Firman berangkat ke front.
Adegan film digambarkan dengan sangat nyata sekali, bagaimana orang berdesakan di stasiun. Menurut informasi film tersebut melibatkan 15 ribu pemain dan kru. Pengambilan fokus juga terasa nyata, penumpang seakan di bawa masuk ke dalam peristiwa tersebut. Padahal film tersebut diproduksi tahun 1981, sehingga menurut saya film tersebut boleh dikatakan melampaui zamannya.
Kemudian pesawat cocor merah menghamburkan peluru, menjatuhkan bom terasa sangat nyata. Saya kira sampai sekarang belum ada film bertemakan kemerdekaan yang sinematiknya menyetarai bahkan melampaui film Kereta Api Terakhir.
Faktor bahwa cerita dalam film tersebut tersebut terasa nyata, menurut saya karena diadaptasi dari novel Kereta Api Terakhir karya Pandir Kelana, yang novel-novelnya berlatar belakang jalannya Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Tokoh dalam novelnya pun saling berkaitan satu sama lain. Cerita novel akan hidup tatkala penulisnya melihat atau mengalami kejadiannya langsung, dan Pandir Kelana melihat dan terlibat dalam jalannya Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Penggambaran karakter Jenderal Gatot Soebroto yang kala itu masih berpangkat Kolonel juga sesuai dengan aslinya Sebab menurut informasi yang saya baca dari berbagai sumber, ia memang buta huruf. Kemudian juga memanggil anak buahnya dengan kata monyet, dan anak buahnya menganggap bahwa itu panggilan kesayangan. Ia juga disegani anak buahnya. Dan film berhasil menggambarkan hal itu.
Film ini tentu sangat layak ditonton utamanya oleh generasi muda, agar semangat cinta tanah air tidak luntur. Selain itu, kalau mau belajar tentang perfilman Indonesia, maka wajib hukumnya menonton film tersebut.