Jumat, Maret 29, 2024

Kerentanan Wacana dan Urgensi Pendidikan Politik Dini

Mohammad Khairul Huda
Mohammad Khairul Huda
Wakil Bendahara Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Brondong Lamongan

“Bapak, sampeyan milih Jokowi apa Prabowo?”, Tanya anakku yang baru kelas enam Madrasah Ibtidaiyah tiba-tiba di sela kami nonton berita tentang hiruk pikuk politik pencapresan, di suatu siang awal bulan Agustus.

“Milihnya masih tanggal 17 April 2019, masih lama”, Aku jawab singkat sambil sejenak mencerna apa maksud pertanyaan anak yang baru sekolah dasar merasa penting menanyakan pilihan politik bapaknya.

Entah kenapa ada rasa khawatir menggelayut hati dan sedikit curiga atas rasa ingin tahu anak. Satu sisi, mungkin saja pertanyaan itu menunjukkan dia punya perhatian terhadap proses politik sebagai akibat gencarnya pemberitaan.

Namun ada kekhawatiran bahwa dia mulai mengonsumsi wacana terkait politik nasional, berikut dengan segala bentuk framing kepentingan, bumbu like/dislike, pembentukan dan penggiringan opini, bahkan propaganda yang menyertainya tanpa filter. Sebuah konsumsi pengetahuan yang menurut saya belum waktunya dia kunyah dan telan.

Tentu sebagai orang tua harus menjawab pertanyaan ini dengan banyak pertimbangan. Terutama, pertimbangan pendidikan politik dini yang berkeadilan dan berkeadaban. Jangan pernah membunuh rasa ingin tahu anak dengan menjawab sekenanya, namun tetap pelihara rasa ingin tahu itu. Karena ini adalah sumber etos keilmuan, sembari memberikan pemahaman dasar tentang proses politik yang sedang berlangsung secara objektif, berimbang, dan beradab.

Konsumsi informasi anak-anak terhadap wacana dan berita politik yang bersumber dari media-media mainstream mungkin masih bisa dijaga dan diimbangi oleh orang tua, karena pada saat yang sama orang tua juga bisa mengaksesnya.

Namun konsumsi informasi politik yang berasal dari sebaran di media sosial, baik jaringan pertemanan maupun pemutar video online, sulit tersaring dan terkontrol oleh orang tua. Belum lagi jika sebaran itu juga direproduksi oleh komunitas bermainnya, lingkungan sekolah maupun tempat mengaji (bisa jadi dari obrolan antar wali murid). Maka bisa dibayangkan bahwa sejak dini anak sudah dikelilingi wacana dan informasi politik yang itu belum tentu valid, dan dia belum mampu menyaringnya.

Cherian George (2018) dalam penelitiannya, di tiga Negara demokrasi terbesar di dunia; Amerika, India, dan Indonesia, menemukan fakta-fakta kuat bahwa fenomena menguatnya pelintiran kebencian sebagai salah satu senjata ampuh kepentingan politik.

Ujaran kebencian dan rekayasa ketersinggungan berbasis SARA terbukti sangat kuat dijalankan sebagai bagian strategi mengakumulasi dukungan maupun melemahkan lawan politik.

Bahkan di Negara dengan demokrasi tertua dan paling rasional pemilihnya seperti Amerika, pelintiran kebencian berbasis agama mampu mengantarkan Donald Trump terpilih jadi Presiden. Fenomena ini, bagi George, merupakan dilema demokrasi yang niscaya beriring dengan kebebasan mengutarakan pendapat di muka umum dan mudahnya akses tiap warga Negara atas berbagai informasi dari media yang bervariasi.

Dan tak jauh beda dengan demokrasi di negeri kita. Awam dimengerti bahwa dalam sebaran informasi maupun wacana perpolitikan negeri ini yang beredar di media sosial jauh dari kata steril. Rentan sekali dibumbui dengan ujaran kebencian berbasis SARA, rekayasa ketersinggungan dengan basis yang sama, hoaks, pelintiran kebencian, propaganda kepentingan pihak tertentu, penggiringan opini, rekayasa untuk pengalihan isu, dan lain sebagainya.

Kerentanan wacana inilah yang menjadikan keniscayaan akan pendidikan politik dini bagi anak. Pendidikan politik yang menempatkan rasionalitas dan kritisisme di halaman depan proses penerimaan informasi dan wacana. Sehingga anak tidak mudah percaya dengan sebaran informasi yang bisa saja dia dapatkan dan mendatanginya setiap saat dan di manapun.

Jawaban saya pada anak, mungkin, bukan yang dia harapkan berdasar arah pertanyaannya. Yang dia maksud mungkin adalah “bapak mendukung siapa”, walaupun secara redaksi diksi yang dia ucapkan adalah “bapak memilih siapa”. Dalam hal ini saya lebih menekankan pada proses “Memilih” yang lebih berdimensi rasional dari pada terminologi “Mendukung” yang dimensinya lebih banyak soal emosional.

Dengan demikian, sangat penting memberi pemahaman bahwa “milih presiden” itu memang pada saat Pemilu, tepatnya tanggal 17 April 2019. Jawaban ini juga berupaya menggiring pemahaman bahwa proses menentukan pilihan itu harus berlangsung rahasia, jujur, dan adil. Tidak perlu terburu-buru menentukan pilihan terhadap calon.  Lagi pula sebagai pemilih kita punya hak untuk selektif secara rasional terhadap calon.

Dengan menempatkan rasionalitas dan sikap kritis terhadap proses politik di latar depan sikap dan penentuan pilihan, maka pemilih tidak akan mudah terseret dalam posisi dukung-mendukung yang bersifat emosional. Walaupun mendukung salah satu calon setelah melalui fase rasional-kritis-berimbang, seorang pemilih penting untuk tidak menetapkan “harga mati” atas pilihan itu.

Tentu ini penting agar seorang pemilih tidak terjebak dalam pengkultusan terhadap si calon dengan menganggap apa yang keluar dari mulutnya dan tindak tanduknya sebagai benar dan baik. Sehingga saat calon yang dia dukung kemudian hari memenangkan kontestasi dan memimpin, dia tetap mampu melakukan kritik secara objektif atas kebijakan dan sikap pemimpin pilihannya.

Maka, mari didik anak-anak kita untuk memahami proses politik dengan mengedepankan rasionalitas dan sikap kritis.

Mohammad Khairul Huda
Mohammad Khairul Huda
Wakil Bendahara Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Brondong Lamongan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.