Salah satu karakteristik dari masyarakat modern yang paling menonjol adalah keinginannya untuk memperoleh nilai prestise. Tentu saja, keinginan tersebut bukan hal yang berlebihan. Saat ini kita hidup di zaman yang masyarakatnya lebih menghargai orang ketika memiliki prestasi.
Oleh karenanya, tidak mengherankan ketika banyak orang berlomba-lomba menunjukkan bakatnya, agar dianggap sebagai orang yang berprestasi. Banyak cara yang bisa digunakan untuk menampilkan bakat yang ada dalam diri seseorang. Salah satunya dengan mengikuti ajang perlombaan.
Berbicara tentang ajang perlombaan, ada satu perlombaan yang seiring berjalannya waktu kian naik daun, yaitu ajang pemilihan duta. Penyebab dari naik daunnya ajang pemilihan duta bisa dilihat melalui dua aspek. Pertama, semakin banyak kategori lomba dalam pemilihan duta. Bahkan, kategori yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, kini dijadikan ajang pemilihan duta, misalnya saja adalah duta gemar makan ikan.
Kedua, antusias masyarakat untuk mengikuti ajang pemilihan duta kian meningkat. Meningkatnya antusias masyarakat untuk mengikuti ajang pemilihan duta cukup beralasan. Sebab, masyarakat yang awalnya memandang ajang pemilihan duta seperti ajang yang tidak berbobot, justru sekarang masyarakat memandang ajang pemilihan duta sebagai hal yang luar biasa.
Sebenarnya, saya tidak memahami secara pasti alasan masyarakat bisa berpikiran jika ajang pemilihan duta sebagai hal yang luar biasa. Akan tetapi, saya bisa memberikan alasan yang cukup logis, karena masyarakat berasumsi jika peserta yang berhasil menjadi duta akan memiliki jalan hidup yang lebih cerah ke depannya.
Dengan adanya asumsi semacam itu, tidak jarang membuat seseorang memberikan sugesti kepada orang terdekatnya agar mau mengikuti ajang pemilihan duta. Pemberian sugesti yang sering dipakai selalu berorientasi pada nilai positif yang akan diperoleh ketika berhasil menjadi seorang duta. Alhasil, orang yang terus-menerus diberikan sugesti, pada akhirnya akan mau untuk mengikuti ajang pemilihan duta.
Salah satunya adalah saya sendiri. Pada dasarnya, saya merupakan orang yang sangat anti untuk mengikuti ajang pemilihan duta. Lantaran, saya menilai ajang pemilihan duta hanya sekadar ajang untuk pamer penampilan fisik semata. Saya kerap melihat beberapa ajang pemilihan duta, orientasi orang yang selalu menjadi juara adalah mereka yang memiliki nilai fisik lebih, seperti wajah yang mulus, bentuk badan proporsional, dan memiliki kulit putih.
Namun, stigma saya terhadap pemilihan duta berubah seketika saat teman dekat saya selalu memaksa saya untuk mengikuti ajang pemilihan duta. Awalnya, saya tetap berpegang teguh pada pendirian sebelumnya. Sehingga, setiap kali teman dekat saya merayu saya agar mengikuti ajang pemilihan duta, tanpa basa-basi saya menjawab, “Tidak!”
Sayangnya, saya merupakan laki-laki yang lemah dalam berpendirian. Akhirnya, pendirian saya untuk tidak mau mengikuti ajang pemilihan duta runtuh, ketika saya terus-menerus dicekoki dengan berbagai macam sugesti. Ada yang mengatakan: “Kalau kamu juara bisa mendatangkan banyak uang,” atau “Sudah daftar saja, toh kalau menang nanti kamu bisa terkenal.”
Bayangkan saja, siapa yang tidak tergoyahkan hatinya mendengar sugesti semacam itu? Pikiran serasa dibawa melayang dengan keindahan duniawi. Tidak mau berlama-lama lagi dalam mengambil keputusan, akhirnya saya bertanya ke teman saya “Syaratnya ikut pemilihan duta apa saja?” Teman saya berkata, “Tinggi peserta pria minimal 165 cm, memiliki bakat, berpenampilan menarik, dan memiliki wawasan yang luas.”
Untung saja, saya memiliki teman dekat yang baik hati. Dengan begitu, semua urusan pendaftaran dibantu olehnya. Saya hanya menerima beresnya saja, sambil mempersiapkan diri.
Dua hari kemudian, ajang pemilihan duta yang saya ikuti sudah dimulai. Banyak rangkaian seleksi yang harus dilakukan, sebelum menuju puncak babak final. Dan saya bersyukur, karena bisa melewati beberapa tahap seleksi sampai bisa masuk babak final.
Di babak final, penderitaan belum usai. Banyak tahapan yang harus dilewati untuk bisa mendapatkan gelar seorang duta. Lagi-lagi saya bisa melewati tahapan pemilihan tersebut. Hingga akhirnya saya bisa menyandang gelar duta, meski bukan menjadi juara pertama.
Setelah berhasil mendapatkan gelar duta, semalam suntuk saya tidak bisa memejamkan mata. Perasaan saya campur aduk antara tidak percaya dan bahagia. Imajinasi saya terus membayangkan kehidupan yang akan menjadi indah setelah mendapatkan gelar duta, persis seperti sugesti yang pernah diucapkan oleh teman saya.
Hanya saja bayangan akan keindahan hidup saya setelah berhasil mendapatkan gelar duta, menjadi angan-angan. Saya kira menjadi duta akan dikenal banyak orang dan membuat uang terus mengalir ke dompet saya. Ternyata yang mengalir bukan uang, melainkan beban tanggung jawab yang harus dipikul.
Bagi saya, tanggung jawab menjadi seorang duta merupakan hal yang menyiksa. Saya dituntut untuk memberikan contoh yang baik kepada banyak orang, mulai dari perilaku, cara bertutur, sampai tata busana harus terlihat sempurna. Saya serasa dikurung tanpa kurungan besi.
Semacam eksistensi kehidupan saya direnggut secara halus. Tidak jarang pula saya harus berpura-pura berpenampilan baik kepada orang-orang yang menjadi peserta, panitia, dan juri di ajang pemilihan duta yang pernah saya ikuti. Saya harus berkelindan dengan dosa – yang semestinya bisa saya hindari jika tidak menyandang gelar duta.
Pada akhirnya, saya menjadi paham untuk mengikuti ajang pemilihan duta itu harus dipikirkan secara matang. Kalau tidak mau menjadi korban fatamorgana dari fantasi keindahan gelar duta dan kepalsuan realitas sosial.