Masyarakat kita sudah cukup familiar dengan psikologi. Ada selentingan dan kelakar di masyarakat bahwa psikologi merupakan ilmu perdukunan karena dianggap dapat menjelaskan dan memprediksi perilaku seseorang.
Persepsi itu tidak sepenuhnya salah karena psikologi sebagai ilmu memang memiliki fungsi untuk menjelaskan kenapa perilaku dapat terjadi, memprediksi perilaku, dan mengendalikan perilaku dengan berbagai bentuk intervensi psikologis. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental juga menjadi alasan ilmu ini semakin dikenal. Dengan berbagai macam pengertiannya, jelas manusia adalah pokok bahasannya. Namun dalam beberapa pembahasan, tampaknya tidak selalu seperti itu.
Terdapat banyak kajian dan penelitian psikologi yang menjadikan hewan sebagai pokok bahasannya. Beberapa hewan yang digunakan antara lain seperti tikus, anjing, dan monyet. Hal ini jelas mengundang tanda tanya. Padahal psikologi sendiri bila diterjemahkan memiliki arti ilmu kejiwaan. Apa hubungannya kejiwaan manusia dengan hewan?. Dan yang paling penting, kenapa hewan digunakan dalam penelitian psikologi?. Mari kita telusuri berama.
Penelitian Psikologi dan Perkembangannya
Psikologi pertama kali muncul sebagai sebagai ilmu pengetahuan ditandai dengan dibentuknya laboratorium eksperimental pertama yang dibuat oleh Wilhelm Wundt, yang dikenal sebagai “Bapak Psikologi Modern”. Pada masa itu, Wundt memfokuskan penelitiannya terhadap studi pengalaman manusia dalam bidang persepsi, sensasi, dan kesadaran. Eksperimennya melibatkan manusia dan ia banyak melakukan penelitian menggunakan metode introspeksi. Dimana subjek melaporkan pengalaman mereka terhadap rangsangan tertentu.
Dalam perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan, muncul banyak pendapat dari berbagai macam ahli di berbagai bidang tentang bagaimana psikologi seharusnya dipelajari. Perbedaan pendapat ini pada akhirnya melahirkan berbagai macam mazhab pemikiran (school of thoughts) dalam psikologi disertai dengan topik-topik kajian baru. Metode introspeksi dari Wundt dianggap tidak bisa meneliti berbagai macam topik-topik baru dalam kajian psikologi. Sehingga dengan lahirnya aliran pemikiran yang berbeda-beda, lahir pula berbagai metode dan pendekatan penelitian untuk mengakomodir hal tersebut.
Ketika penelitian psikologi berkembang pesat, para peneliti menemukan kendala. Diantara adalah beberapa eksperimen terlalu berbahaya dan beresiko melanggar etika bila dilakukan pada manusia. Seperti ketika ingin mempelajari lebih dalam mengenai kerja otak atau respon individu terhadap suatu stimulus ekstrem. Pada akhirnya, hewan dipilih untuk menghindari hal-hal tersebut. Namun bukan berarti eksperimen beresiko seperti itu tidak pernah dilakukan sama sekali.
Contohnya adalah Stanford Prison Experiment. Penelitian ini merupakan simulasi kondisi penjara yang meneliti variabel situasi lingkungan dan efeknya terhadap reaksi dan perilaku partisipan. Durasi eksperimen yang seharusnya berlangsung selama dua pekan harus diakhiri setelah hanya enam hari akibat desakan dari berbagai pihak dan kekejaman yang terjadi.
Penggunaan Hewan dalam Penelitian
Pada kajian neuropsikologi, pengetahuan kita sekarang banyak didapatkan dari penelitian menggunakan hewan. Contohnya adalah dasar-dasar teori seperti reinforcement hingga reward and punishment. Pengetahuan kita mengenai insting dasar manusia seperti rasa lapar dan dorongan seksual juga didapatkan dari eksperimen semacam ini.
Hasil-hasil eksperimen awal ini pada akhirnya dapat diaplikasikan dan diuji pada manusia karena terdapat beberapa kesamaan struktur dan bagian otak, terlepas dari kompleksitasnya, dengan beberapa hewan. Contohnya, bagian prefrontal cortex pada manusia juga ditemukan berkembang di beberapa hewan. Meskipun jauh lebih sederhana dari otak manusia, hal ini membuat beberapa eksperimen yang melibatkan bagian otak tersebut menjadi relevan dilakukan pada hewan.
Pada penelitian behavioristik awal, penelitian pada hewan digunakan untuk mendukung pendekatan yang mereka usung. Menurut aliran berpikir ini, semua perilaku manusia dapat dijelaskan melalui proses stimulus dan respon. Dengan kata lain, perilaku seseorang pasti didasari sesuatu yang tampak dan dapat diamati serta diulang untuk menghasilkan perilaku yang sama.
Mereka berusaha membuat psikologi menjadi ilmu yang objektif dan ilmiah. Proses mental dan kognitif diabaikan akibat tidak dapat diukur dan diamati secara langsung. Eksperimen pada hewan dilakukan karena hewan memiliki insting alamiah dasar yang dimiliki manusia. Keuntungannya, hewan tidak memiliki proses mental dan kognitif se kompleks manusia. Sehingga insting dasar tadi dapat diteliti tanpa gangguan variabel yang tidak diinginkan.
Penggunaan Hewan Pada Penelitian di Masa Depan
Meskipun dengan berkembangnya metode penelitian baru seperti penggunaan fMRI, EEG, dan TMS dapat memudahkan penelitian kerja otak dengan lebih mudah, peran hewan masih tetap dibutuhkan. Pencitraan otak yang dihasilkan metode-metode tersebut masih harus dibarengi dengan melihat secara langsung bagian otak yang diteliti dan melihat dimana proses hubungan-hubungan dalam otak terbentuk dengan tepat. Hal-hal ini tentu belum bisa dilakukan dengan maksimal pada manusia karena belum ada metode yang mudah untuk dilakukan dan tidak melanggar etika.
Kesimpulannya, pengetahuan kita sekarang tentang manusia banyak yang datang dari eksperimen pada hewan akibat beberapa keterbatasan terkait metode penelitian yang tersedia dan mendukung cara berpikir yang dipakai. Hasil yang didapatkan tidak lupa untuk diuji dan dicari tahu apakah hasil serupa juga muncul pada manusia. Hewan pada penelitian psikologi masih akan terus digunakan karena masih memiliki banyak manfaat bagi topik yang perlu diteliti.