Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) serempak di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia secara signifikan telah menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir.
Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia per maret 2024 sebesar 25,22 juta orang dan apabila masyarakat Indonesia khususnya masyarakat golongan menengah ke bawah dihadapi juga dengan kenyataan bahwa semakin mahalnya biaya pendidikan, tentu akan semakin menyengsarakan mereka dan dampak keberlanjutan yang tak terhindarkan yakni semakin membludaknya angka kemiskinan yang ada di Indonesia.
Kebijakan terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) ini menuai pro dan kontra di masyarakat sebab satu sisi menilai kebijakan ini memiliki kebermanfaatan baik bagi pihak kampus, pemerintah, maupun mahasiswa, namun di sisi lain menilai bahwa kebijakan ini sangat merugikan atau memberatkan sebagian masyarakat sebab menciptakan ketidakadilan yang mencolok, mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu semakin termarjinalisasikan dalam mengakses pendidikan tinggi.
Selain itu, kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) perguruan tinggi ini tidak mampu diimbangi dengan peningkatan gaji masyarakat serta pemerataan pendistribusian penghasilan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua keluarga dapat menuntaskan kuliah anaknya hingga lulus meski sudah menyiapkan dana pendidikan sejak dini. Kenyataan ini tentunya menjadi hantaman keras bagi keluarga yang kurang mampu untuk mengakses pendidikan yang berkualitas karena terhalang biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang melambung tinggi.
Banyak mahasiswa yang terpaksa putus kuliah karena orang tuanya yang tak lagi mampu menanggung beban finansial dari besaran nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang ditetapkan oleh perguruan tinggi. Bahkan banyak calon mahasiswa baru di beberapa perguruan tinggi yang mengundurkan diri karena pihak keluarga yang tak sanggup membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Seperti yang dialami oleh Naffa Zahra Muthmainnah, calon mahasiswa baru di Universitas Sumatera Utara (USU) yang mengundurkan diri karena tak mampu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan terpaksa sementara mengubur mimpinya berkuliah di jurusan yang ia damba-damba dengan bekerja dan mengumpulkan uang untuk biaya kuliahnya di tahun depan.
Merespon banyaknya bertebaran keberdampakan serta maraknya demonstrasi terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada saat itu, Nadiem Makarim selaku menteri pendidikan mengatakan akan membatalkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dianggap tidak masuk akal tersebut.
Namun hingga kini belum ada kepastian lebih lanjut terkait pembatalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dari Nadiem Makarim yang terkesan hanya sebatas kalimat penenang dan omong kosong belaka.
Kekecewaan mendalam dirasakan oleh penulis melihat bagaimana cara pemerintah menyikapi permasalahan ini, seolah pemerintah tak begitu peduli dengan rakyat kecil sehingga ia hanya sekedar menebar janji palsu belaka dan tak benar-benar mau menindak lanjut penuntasan permasalahan ini.
Pemerintah seharusnya tanggap atas permasalahan yang tengah dialami oleh masyarakatnya dan cepat mengambil langkah tegas atas permasalahan yang ada, apalagi ini menyangkut kesejahteraan bangsa dan pemenuhan hak seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
Pemerintah harus lebih dekat dengan masyarakat dan memahami apa yang mereka butuhkan dengan menjalin hubungan yang baik sehingga dengan demikian, pemerintah mengetahui relevansi kebijakan dengan kondisi masyarakat serta masyarakat dapat meningkatkan rasa percaya kepada pemimpinnya agar tercapainya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dengan segala perbedaan latar belakang yang ada tanpa terkecuali.