Dengan meningkatnya perasaan nasionalis yang kuat di beberapa negara Asia, nasionalisme menjadi topik yang lebih menonjol dalam wacana politik dan sosial. Fenomena ini seringkali dipandang sebagai hambatan terhadap integrasi regional yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan global yang kompleks, mulai dari Tiongkok hingga India.
Artikel ini akan membahas bagaimana nasionalisme di Asia dapat menghadirkan peluang dan tantangan bagi integrasi regional. Meski nasionalisme sering dipandang negatif, penulis berpendapat bahwa kebijakan inklusif dapat mengurangi dampak negatifnya. Oleh karena itu, penulis akan memusatkan perhatian pada tiga pokok perdebatan: pertama, nasionalisme dapat menghambat kolaborasi ekonomi, kedua, nasionalisme dapat menimbulkan ketegangan politik, dan ketiga, nasionalisme dapat mendorong integrasi regional.
Pertama, negara-negara dengan tingkat nasionalisme yang tinggi sering kali mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kerja sama internasional. Misalnya, potensi perdagangan Indonesia dengan negara-negara tetangganya terpuruk ketika menerapkan strategi proteksionis untuk melindungi industri dalam negeri. Peraturan-peraturan ini dapat menghalangi investasi asing dan memperlambat kemajuan ekonomi regional dengan menciptakan lindung nilai, meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan perekonomian dalam negeri. Nasionalisme bertindak sebagai penghalang nyata untuk mencapai kesepakatan ekonomi yang menguntungkan dalam situasi ini.
Selain itu, nasionalisme seringkali menimbulkan kesulitan politik di antara negara-negara di kawasan tersebut. Sengketa Laut Cina Selatan memberikan gambaran nyata tentang bagaimana klaim teritorial yang dipicu oleh nasionalisme dapat menyebabkan perang yang lebih luas. Ketegangan meningkat dan bahaya yang dapat mempengaruhi stabilitas regional muncul ketika negara-negara seperti Tiongkok dan Filipina mengklaim wilayah yang sama. Perasaan nasionalis yang menekankan pada kebanggaan teritorial dapat membuat suatu negara menjadi lebih protektif, sehingga memfasilitasi interaksi internasional.
Namun penting untuk dipahami bahwa nasionalisme tidak selalu menjadi hambatan bagi integrasi regional. Jika ditangani dengan baik, nasionalisme terkadang dapat menjadi faktor pendorong kolaborasi internasional. Jepang dan Korea Selatan adalah contoh yang sangat baik tentang bagaimana menggunakan kebanggaan nasional untuk meningkatkan partisipasi dalam forum regional. Kedua negara ini mampu mempertahankan identitas mereka sekaligus mendukung inisiatif integrasi yang lebih besar dengan menempatkan prioritas tinggi pada identitas nasional dalam lingkungan kerja yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun nasionalisme mungkin memberikan hambatan, nasionalisme juga dapat menumbuhkan peluang kerja sama regional.
Konteks ASEAN memberikan pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara nasionalisme dan integrasi regional. Kelompok ini telah berupaya untuk melewati hambatan yang ditimbulkan oleh identitas nasional para anggotanya. Meskipun terdapat sentimen nasionalis yang kuat, ASEAN telah berhasil mempertahankan integrasi melalui saluran perbincangan yang efektif dan kebijakan yang inklusif. Prestasi ini menunjukkan bahwa, jika ada dedikasi untuk menumbuhkan suasana yang mendorong kolaborasi, integrasi regional dapat dilaksanakan dengan tetap menghormati keragaman identitas nasional.
Selain itu, penelitian mengungkapkan bahwa negara-negara yang menerapkan kebijakan inklusif sering kali mengalami laju ekspansi ekonomi yang lebih cepat. Contoh negara yang secara efektif menggunakan kebanggaan nasional dalam kerangka kerja sama regional untuk meningkatkan perdagangan dan kemajuan ekonomi adalah Singapura dan Malaysia. Kebijakan yang menjunjung tinggi identitas nasional dan menekankan kerja sama regional telah terbukti meningkatkan posisi negara-negara tersebut di mata internasional. Hal ini menunjukkan bahwa nasionalisme yang dikendalikan secara efektif dapat memberikan dampak positif yang besar terhadap integrasi regional.
Negara-negara Asia harus secara konstruktif mengatasi isu-isu yang diangkat oleh nasionalisme jika mereka ingin mencapai integrasi yang lebih besar. Wacana terbuka dan komunikasi antar bangsa merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan. Dengan menyediakan forum dialog yang produktif, negara-negara dapat mengatasi perbedaan mereka dan menghasilkan solusi yang saling menguntungkan. Menjaga stabilitas dan keamanan kawasan memerlukan kebijakan luar negeri yang menyeimbangkan antara tujuan bersama dan kepentingan nasional.
Strategi penting lainnya untuk mengatasi hambatan nasionalisme mungkin adalah strategi multilateral. Forum seperti APEC dan EAS memberikan kesempatan bagi negara-negara untuk bekerja sama dan membicarakan tantangan regional. Dalam situasi ini, ketegangan yang disebabkan oleh perasaan nasionalis yang kuat dapat dikurangi dengan dukungan dialog yang jujur dan inklusif. Negara-negara lebih cenderung untuk berpartisipasi aktif dalam proses integrasi ketika mereka yakin bahwa kepentingan mereka berada dalam kerangka kerja bersama.
Berdasarkan kesimpulan diskusi, nasionalisme di Asia memiliki dua sisi: di satu sisi, dapat menghambat integrasi regional dengan menimbulkan keresahan politik dan menghambat kerja sama ekonomi, sebaliknya jika dikelola dengan baik dapat menjadi alat untuk memperkokoh jati diri bangsa dan mendorong kerja sama. Negara-negara Asia harus membuat kebijakan inklusif yang mengakui keragaman identitas nasional namun tetap berkomitmen pada tujuan bersama. Nasionalisme tidak harus menjadi hambatan dengan strategi yang tepat, hal ini dapat menjadi kekuatan pendorong di balik integrasi regional yang lebih dalam dan bertahan lama.
Pada akhirnya, para pemimpin dan pembuat kebijakan di Asia perlu memerangi nasionalisme dengan strategi yang penuh perhitungan dan inklusif. Mereka harus memanfaatkan potensi konstruktif nasionalisme sebagai landasan untuk memupuk kolaborasi dan solidaritas internasional yang lebih besar. Nasionalisme dengan demikian dapat digunakan sebagai sarana untuk memajukan kepentingan nasional serta sarana untuk mencapai tujuan yang lebih umum, seperti stabilitas regional, kemakmuran, dan keamanan.
Referensi:
Waltz, K. (1979). Theory of International Politics. McGraw-Hill.
The Diplomat. (2022). “The Rise of Nationalism in Asia: Implications for Regional Integration.” Retrieved from The Diplomat
Journal of Southeast Asian Economies. (2021). Integrasi Regional ASEAN.
Asian Development Bank (ADB). (2023). Economic Integration and National Identity in Asia.
Brookings Institution. (2022). Inclusive Policies and Regional Stability.
Council on Foreign Relations (CFR). (2023). Multilateral Discussions and Regional Integration.