Indonesia boleh saja merdeka dari belenggu para penjajah. Tapi negeri yang kita diami ini tidak boleh luput dari perjuangan pembebasan yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa. Kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketidak-adilan, korupsi dan diskriminasi masih menyandera negeri ini. Kemerdekaan minus pembebasan.
Kemerdekaan dan pembebasan mengandung makna yang berbeda. Keduanya tidak bisa diidentikan, meski sering dipertukarkan. Yang pertama bermaksud keluar dari tekanan pihak lain (kolonial), yang kedua lebih menonjolkan partisipasi bersama untuk tujuan bersama. Yang pertama ingin lepas dari cengkeraman asing, yang kedua berjuang melawan penjajahan yang dilakukan anak bangsa sendiri.
Kita masih terus berjuang meninggikan martabat negeri dari sekumpulan orang yang gemar melakukan “penghisapan” dan penyelewengan; atas tanah, air, udara, dan apa saja yang terdapat di atas, dan dalam perut bumi. Perampasan, perampokan, dan eksploitasi atas semua aset negeri, hingga kini, masih terjadi dan itu dilakukan elite berdasi dan cukong berduit.
Banyak orang berkata, kejahatan preman berpangkat jauh lebih berbahaya dan menyengsarakan rakyat. Faktanya memang begitu. Korupsi, eksploitasi dan bentuk penyalahan wewenang lainnya dipertontonkan secara telanjang di depan mata kita. Moralitas dihilangkan, tata nilai diabaikan. Yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.
Mereka itu, kata Bung Karno, adalah sebenar-benarnya penjajah. Hobinya menjarah kekayaan alam negerinya sendiri, demi, dan untuk tujuan pemenuhan syahwat duniawi. Nafsu berburu materi tak pernah padam meski harus “menumbalkan” hidup dan kehidupan wong cilik. Mereka tega memainkan perasaan rakyat dengan obral janji dan harapan palsu. Mereka adalah musuh dalam selimut yang sewaktu-waktu muncul menikam dari dalam. Tak mengenal ampun, tak mengerti belas-kasihan.
Penjajahan sendiri punya banyak wajah, dengan bentuk dan ragamnya yang berbeda-beda. Ada yang terlihat secara kasat mata, ada yang bersembunyi di balik kehalusan tatak rama. Penjajahan dalam wujudnya yang nyata bisa kita waspadai. Namun yang tersembunyi di balik topeng “pemikat” sulit diantisipasi. Seperti halnya duri dalam daging yang bila dibiarkan akan terasa sakit. Begitu juga dengan musuh yang datang dari dalam bila dibiarkan makin bebas menghisap kekayaan bangsa sendiri.
Penjajahan dalam bentuknya yang tersembunyi memang suka memerdaya kesadaran kita. Menutupi pikiran waras manusia. Kadang kita tertipu oleh tampilan yang memesona, atau oleh senyuman manis yang tersungging. Padahal di balik itu semua menyimpan perangkap yang siap menjerat masa depan bangsa.
Lihat saja bagaimana kelakuan para elite negeri ini. Mereka hidup penuh dengan sopan santun. Tapi semua kebohongan, kedengkian, dan kelicikan tersembunyi di balik tatak rama yang menawan. Ibarat lalat yang berebut kotoran, mereka (elite) berlomba berebut kepalsuan; busuk dan penuh tipu daya. Mereka tak ada yang mau mengalah. Tak ada yang ingin dikalahkan. Satu dengan yang lain menjadi musuh bagi yang lainnya.
Watak retak elite tak mudah diobati. Keputusan mereka sulit dipahami. Kata-katanya bercabang, susah dipercaya. Janji-janjinya membuai, lalu memuai mengikuti terpaan arah angin. Apa yang diucapkannya dalam sekejap waktu bisa berubah. Entah apa jadinya bila negeri ini diurus pemimpin seperti itu. Apalagi bila para elite dalam situasi saling curiga. Maka masyarakat jadi korban, hanya target obral janji murahan belaka. Tak ada keinginan untuk menyejahterakan, apalagi memberi keamanan dan kenyamanan pada rakyat.
77 tahun sudah kita merdeka. Lepas bebas dari invasi asing. Tiap tahun kita memperingati momen penting dalam sejarah bangsa ini. Semangat kemerdekaan diekspresikan dalam banyak perlombaan; mulai dari balap karung, tarik tambang, makan kerupuk, panjat pinang, hingga karnaval budaya. Upacara menaikan Bendera Merah Putih juga dilakukan di seluruh sekolah di pelosok Indonesia. Bahkan presiden dan bawahannya tak ketinggalan merayakannya. Itu semua dilakukan sebagai tanda syukur atas kemerdekaan yang sudah diraih bangsa ini.
Namun, hakikat kemerdekaan bukan sekedar seremonial dan upacara basi belaka. Hakikat kemerdekaan adalah bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketidak-adilan, korupsi, diskriminasi, eksploitasi, dan perilaku elite yang menjadi beban bagi masyarakat banyak. Selama semua itu masih terjadi di persada ibu pertiwi, maka peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) yang rutin dirayakan setiap 17 Agustus, hanyalah embel-embel belaka. Itulah Kemerdekaan Minus Pembebasan.
Selamat HUT RI ke 77. Betapapun negeri ini ditimpa cobaan berulang kali, kita bisa pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat. Merdeka.