Jumat, Maret 29, 2024

Kemerdekaan Indonesia: Perspektif Historis versi Belanda

yusuf mukib
yusuf mukib
Mahasiswa STKIP PGRI Pacitan.

Hampir seluruh masyarakat Indonesia tentunya mengamini bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hari kemerdekaan Indonesia. Guru-guru sejarah di sekolah mengajarkan hal demikian, pengetahuan sejarah akan hal itu sudah dipakemkan dan sangat langka sekali peringatan hari kemerdekaan diselenggarakan bukan atas dasar pengetahuan sejarah tersebut. Dengan demikian tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia adalah fakta sejarah yang sudah final, titik.

Argumen di atas adalah konsumsi umum masyarakat tentang kebenaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku dalam penalaran sejarah yang berupaya merekonstruksi peristiwa sejarah. Sejarah sebagi ilmu harus terus berupaya mempertanyakan dan merevisi kebenaran sejarah dengan melihat berbagai perspektif.

Kepastian tentang tanggal kemerdekaan Indonesia merupakan tema yang menarik untuk diulik. Terdapat tafsiran berbeda tentang tanggal kemerdekaan Indonesia yang didasarkan perbedaan kepentingan politik antara kedua belah pihak yakni Belanda dan Indonesia. Tulisan ini akan menengok sejarah kemerdekaan Indonesia menggunakan perspektif Belanda.

Bagi Belanda, kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidaklah sah, tidak lain adalah pembelotan kepada pemerintahan.  Belanda menganggap Indonesia baru merdeka pada 27 Desember 1949, yakni ketika penyerahan kedaulatan hitam diatas putih  dalam Konferensi Meja Bundar di Istana Dam, Amsterdam.

Hal tersebut didukung dengan beberapa alasan yakni Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak memenuhi syarat dalam mendirikan sebuah bangsa. Berdasarkan hukum Internasional, sebuah negara bisa dikatakan merdeka jika sudah memenuhi syarat-syarat diantaranya (1) Rakyat (2) Pengakuan negara lain (3) Wilayah (4) Pemerintah yang berdaulat.

Dari segi masyarakat, Proklamasi 17 Agustus tidak menghasilkan dukungan penuh dari masyarakat Indonesia khususnya di pedesaan, mantan pegawai Belanda, dan mereka yang berasal dari kelas bangsawan. Terkadang, para pejuang juga menangkap hingga menculik mereka yang kedapatan memiliki pendapat positif akan Belanda atau sekedar menggunakan mata uang Belanda (Litelnoli, 2019).

Apalagi pengakuan dari negara lain atas kemerdekaan Indonesia baru datang pada tahun 22 Maret 1946 dari Mesir sebagai negara pertama yang secara resmi mengakui kedualatan Indonesia. Disusul Lebanon dan Arab Saudi pada tahun1947 serta negara liga Arab lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari pandangan politik global yang mencurigai campur tangan Jepang dalam kemerdekaan Indonesia. Jepang, si negara fasis yang saat itu adalah biang keladi perang dunia ke dua menjadi ancaman dunia. Sehingga patut bila Indonesia tertuduh sebagai negara bentukan fasisme.

Sementara itu mengenai wilayah, perundingan mengenai wilayah Indonesia baru diselenggarakan satu tahun kemudian dalam Perundingan Linggarjati 1946. Perundingan yang diwakili  oleh  Perdana Menteri Sutan Syahrir memutuskan bahwa Belanda akan mengakui Indonesia sebagai Persemakmuran Belanda dengan bentuk Negara Republik Serikat serta wilayah yang hanya mencakup Jawa, Madura, dan Sumatera. Lalu, Indonesia dengan cakupan wilayah mana yang di proklamasikan oleh Bung Karno?

Hal tersebut berhubungan dengan peristiwa agresi militer yang telah menewaskan ribuan rakyat Indonesia. Perspektif Belanda, serangan pasukan militer tersebut bukanlah upaya penajajahan kembali melainkan dapat dibenarkan sebagai aksi polisionil untuk menjaga stabilitas Negara Hindia Belanda yang sedang chaos akibat ulah ekstrimisme yang bersumbunyi dalam baju nasionalisme. Belanda menilai proklamasi dan usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan adalah sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.

Bila dikaji secara cermat, apa dasarnya kita mengakatakan bahwa Belanda menjajah Indonesia? Kedatangan Belanda dan negara-negara barat lainnya ke wilayah Nusantara jauh lebih dulu daripada lahirnya bangsa Indonesia. Dengan berbagai upaya politis, mereka berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia, hitam diatas kertas. Mereka memerintah disebuah tanah kosong tak dimiliki negara manapun. Wajar saja bila Belanda ogah mengakui kemerdekaan Indonesia. Usaha-usaha kemerdekaan Indonesia ibarat seperti bocah kemarin yang berteriak minta dibelikan rumah mewah untuk ditinggali sendiri.

Bahkan bisa dikatakan kelahiran Indonesia disebabkan oleh keberadaan Belanda itu sendiri yang kita anggap penjajah. Jika tanpa ada Belanda dan negara barat yang datang ke wilayah yang ditempati negara Indonesia sekarang ini, sulit rasanya kerajaan-kerajaan dan daerah yang terpisah pada waktu itu bersatu membentuk kekuatan nasional. Maka bisa dibayangkan dalam wilayah Nusantara terdapat banyak negara atau kerajaan yang berdaulat masing-masing hingga sekararang tanpa adanya Indonesia.

Bukan bermaksud mengikis nasionalisme anak-anak muda, penulis hanya berupaya meluaskan penafsiran sejarah yang selama ini kita hanya diajarkan menggunakan kacamata kuda. Satu hal yang perlu diingat mempelajari sejarah bukan hanya perkara menumbuhkan benih-benih nasionalisme. Melainkan juga berfungsi dalam memelihara akal sehat agar terhindar dari jebakan hitam-putih sejarah.

Sejarah tidak seperti drama sinetron yang berkisah antara peran antagonis dan protagonis, tidak sesederhana itu. Belanda bukanlah penjahat dan Indonesia sebaliknya. Sejarah terlalu rumit untuk disederhanakan dengan cara pandang false dichotomy (hitam-putih). Setiap penafsiran sejarah tidak terlepas dari bias politik dan berbagai kepentingan tertentu.

Setiap penafsiran tersebut yang harus kita pahami secara arif. Artinya bahwa melihat sejarah harus secara utuh, tidak setengah-setengah, harus ada upaya melepaskan diri dari penafsiran yang tertutup dan terlepas dari cara berpikir terkotak-kotakan. Jika sejarah adalah milik penguasa maka kebenaran sejarah adalah milik mereka yang berpikir.

DAFTAR PUSTAKA

Litelnoli, K. (2019, Oktober). Kapankah Indonesia Merdeka, Diakses dari https://medium.com/hipotesa-indonesia/kapankah-indonesia-merdkaRiyanto, G. (2016). Bukan Merdeka 17 Agustus? | DW | 15.08.2016. Retrieved 17 October 2019, Diakses dari https://www.dw.com/id/bukan-merdeka-17-agustus/a-19462673

yusuf mukib
yusuf mukib
Mahasiswa STKIP PGRI Pacitan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.